Rabu, 25 Februari 2015

Diam Itu Emas

Risalah sederhana berikut berisi penjelasan mengenai bahaya lisan. Sehingga berhati-hatilah dengan lisan, jangan sampai digunakan untuk mencemooh, mengejek orang lain, apalagi ditujukan pada seorang muslim yang ingin menjalankan ajaran Islam. Jadi satu kondisi, diam itu emas jika diamnya adalah dari membicarakan orang lain, atau diamnya dari berbicara yang sia-sia atau berbau maksiat.

Perhatikanlah, sesungguhnya karena lisan seseorang bisa terjerumus dalam jurang kebinasaan. Lihatlah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ketika berbicara dengan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu,
أَلاَ أُخْبِرُكَ بِمَلاَكِ ذَلِكَ كُلِّهِ. قُلْتُ بَلَى يَا نَبِىَّ اللَّهِ قَالَ فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ قَالَ  كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا. فَقُلْتُ يَا نَبِىَّ اللَّهِ وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ فَقَالَ  ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِى النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ.
“Maukah kuberitahukan kepadamu tentang kunci semua perkara itu?” Jawabku: “Iya, wahai Rasulullah.” Maka beliau memegang lidahnya dan bersabda, “Jagalah ini”. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami dituntut (disiksa) karena apa yang kami katakan?” Maka beliau bersabda, “Celaka engkau. Adakah yang menjadikan orang menyungkurkan mukanya (atau ada yang meriwayatkan batang hidungnya) di dalam neraka selain ucapan lisan mereka?” (HR. Tirmidzi no. 2616. Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shohih)

Hendaklah seseorang berpikir dulu sebelum berbicara. Siapa tahu karena lisannya, dia akan dilempar ke neraka. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ لاَ يَرَى بِهَا بَأْسًا يَهْوِى بِهَا سَبْعِينَ خَرِيفًا فِى النَّارِ
“Sesungguhnya seseorang berbicara dengan suatu kalimat yang dia anggap itu tidaklah mengapa, padahal dia akan dilemparkan di neraka sejauh 70 tahun perjalanan karenanya.”
(HR. Tirmidzi no. 2314. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً ، يَرْفَعُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فِى جَهَنَّمَ
“Sesungguhnya ada seorang hamba berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dia pikirkan lalu Allah mengangkat derajatnya disebabkan perkataannya itu. Dan ada juga seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang membuat Allah murka dan tidak pernah dipikirkan bahayanya lalu dia dilemparkan ke dalam jahannam.” (HR. Bukhari no. 6478)

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيهَا يَهْوِى بِهَا فِى النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
“Sesungguhnya ada seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dipikirkan bahayanya terlebih dahulu, sehingga membuatnya dilempar ke neraka dengan jarak yang lebih jauh dari pada jarak antara timur dan barat.” (HR. Muslim no. 2988)

Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim (18/117) tatkala menjelaskan hadits ini mengatakan, “Ini semua merupakan dalil yang mendorong setiap orang agar selalu menjaga lisannya sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا، أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik dan jika tidak maka diamlah.” (HR. Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 47). 
Oleh karena itu, selayaknya setiap orang yang berbicara dengan suatu perkataan atau kalimat, merenungkan apa yang akan ia ucap. Jika memang ada manfaatnya, barulah ia berbicara. Jika tidak, hendaklah dia menahan lisannya.”

Dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab rahimahullah berkata,
“Tidak ada perkataan yang bersifat pertengahan antara bicara dan diam. Yang ada, suatu ucapan boleh jadi adalah kebaikan sehingga kita pun diperintahkan untuk mengatakannya. Boleh jadi suatu ucapan mengandung kejelekan sehingga kita diperintahkan untuk diam.”

Ibnu Mas’ud pernah berkata,
“Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang benar selain Dia. Tidak ada di muka bumi yang lebih berhak untuk dipenjara dalam waktu yang lama daripada lisan.” (Dinukil dari Jami’ul ‘Ulum wal Hikam)

Ibnul Mubarok ditanya mengenai nasehat Luqman pada anaknya, lantas beliau berkata,
Jika berkata (dalam kebaikan) adalah perak, maka diam (dari berkata yang mengandung maksiat) adalah emas.” (Dinukil dari Jami’ul ‘Ulum wal Hikam)

Diam itu lebih baik daripada berbicara sia-sia bahkan mencela atau mencemooh yang mengandung maksiat.
Itulah manusia, ia menganggap perkataannya tidak berdampak apa-apa, namun di sisi Allah bisa jadi perkara besar. Allah Ta’ala berfirman,
وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ
“Kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.” (QS. An Nur: 15). 

Dalam Tafsir Al Jalalain dikatakan bahwa orang-orang biasa menganggap perkara ini ringan. Namun, di sisi Allah perkara ini dosanya amatlah besar.

11 Adab Menuju Masjid

Adab Menuju Masjid yang Perlu Kita Ketahui


Dalam rangka memotivasi kaum muslimin untuk memakmurkan masjid, Allah memberikan banyak janji dan keutamaan bagi orang yang menghadiri shalat jamaah. Di antaranya:

Hadis dari Ibnu Mas’ud, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وما من رجل يتطهر فيحسن الطهور ثم يعمد إلى مسجد من هذه المساجد إلا كتب الله له بكل خطوة يخطوها حسنة،ويرفعه بها درجة،ويحطّ عنه بها سيئة

Jika seseorang wudhu dengan sempurna, kemudian menuju masjid, maka Allah akan mencatat setiap langkahnya sebagai pahala untuknya, mengangkat derajatnya, dan menghapuskan dosanya…” (HR. Muslim)

Hadis dari Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من توضأ للصلاة فأسبغ الوضوء ثم مشى إلى الصلاة المكتوبة فصلاها مع الناس، أو مع الجماعة، أو في المسجد غفر الله له ذنوبه

Siapa yang berwudhu untuk shalat dan dia sempurnakan wudhunya, kemudian dia menuju masjid untuk shalat fardhu. Lalu dia ikut shalat berjamaah atau shalat di masjid maka Allah mengampuni dosa-dosanya.” (HR. Muslim)

Untuk menyempurnakan pahala Anda ketika menuju masjid, berikut beberapa adab yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berangkat ke masjid:

Pertama, berwudhulah dari rumah dan bukan di masjid
Terdapat banyak dalil yang menunjukkan bahwa keadaan yang sesuai sunah adalah berwudhu di rumah dan bukan di masjid. Di antaranya adalah hadis Utsman di atas, “Siapa yang berwudhu untuk shalat dan dia sempurnakan wudhunya, kemudian dia menuju masjid untuk shalat fardhu.”

Zhahir hadis ini, wudhu tersebut dilakukan sebelum berangkat menuju masjid. Itu artinya, wudhu tersebut dilakukan di rumah.

Disamping itu, terdapat dalil tegas yang menunjukkan hal ini. Hadis dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من تطهّر في بيته ثم مشى إلى بيت من بيوت الله، ليقضي فريضة من فرائض الله

Siapa yang berwudhu di rumahnya kemudian berjalan menuju salah satu rumah Allah, untuk menunaikan shalat wajib…” (HR. Muslim)

Kedua, gunakan pakaian yang sopan nan suci
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا

Wahai bani Adam, gunakanlah perhiasan kalian setiap kali menuju masjid, makan dan minumlah kalian…” (QS. Al-A’raf: 31)

Sebagai orang yang beriman, seharusnya kita merasa malu ketika mengenakan kaos atau pakaian tidak sopan ketika menuju masjid. Sementara kita sadar bahwa kita hendak menghadap Allah.

Ketiga, bacalah doa ketika keluar rumah
Di antara doa yang disyariatkan adalah

بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ

Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah.

Membaca doa ini ketika keluar rumah memiliki keutamaan besar, sebagaimana disebutkan dalam hadis Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Apabila ada orang yang keluar dari rumahnya, kemudian dia membaca doa di atas, dikatakan kepadanya:

هُدِيتَ، وَكُفِيتَ، وَوُقِيتَ

‘Kamu diberi petunjuk, kamu dicukupi, dan kamu dilindungi’

maka setan-setan pun berteriak. Kemudian ada salah satu setan yang berkata kepada lainnya: ‘Bagaimana mungkin kalian bisa menggoda orang yang sudah diberi petunjuk, dicukupi, dan dilindungi.” (HR. Abu Daud, Turmudzi dan dishahihkan Al-Albani)

Keterangan:
- Doa ini sangat ringkas, mudah dibaca, namun keutamannya besar.
- Tidak dijumpai riwayat yang menganjurkan mengangkat tangan ketika membaca doa ini.

Keempat, gunakanlah sandal atau alas kaki lainnya dengan mendahulukan kaki kanan
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau mengatakan,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ، فِي تَنَعُّلِهِ، وَتَرَجُّلِهِ، وَطُهُورِهِ، وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suka mendahulukan yang kanan, ketika memakai sandal, menyisir rambut, bersuci, dan yang lainnya.” (HR. Bukhari, Ahmad dan yang lainnya)

Kelima, berjalanlah menuju masjid dengan tenang
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا سمعتم الإقامة فامشوا إلى الصلاة وعليكم السكينة والوقار، ولا تُسرعوا

“Apabila kalian mendengar iqamah, berjalanlah menuju shalat dan kalian harus tenang, dan jangan buru-buru.. (HR. Bukhari dan Muslim)

Di samping itu, dengan berjalan tenang kita akan mendapatkan banyak pahala. Karena setiap langkah kaki kita dicatat sebagai pahala dan menghapus dosa.

Di antara hikmah larangan terburu-buru ketika shalat, agar kita tidak ‘ngos-ngosan’ ketika melaksanakan shalat. Nafas tersengal-sengal ketika shalat, bisa menyebabkan shalat kita menjadi sangat terganggu.

Keenam, membaca doa ketika menuju masjid
Doa yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menuju masjid sangat bervariasi. Ada yang panjang dan ada yang pendek. Sebagian ulama menganjurkan agar dibaca semuanya. Sehingga kita mendapatkan semua keutamaan dalam doa tersebut. Tapi, bagi yang kesulitan menghafalkan semua, bisa menghafalkan yang pendek, dan dibaca berulang-ulang.

Di antara doa yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah

اللّهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِيْ نُوْراً، وَفِي لِسَانِي نُوْراً، وَفِي سَمْعِي نُوْراً، وَفِي بَصَرِي نُوْراً، وَمِنْ فَوْقِي نُوْراً، وَمِنْ تَحْتِي نُوْراً، وَعَنْ يَمِيْنِي نُوْراً، وَعَنْ شِمَالِي نُوْراً، وَمِنْ أَمَامِي نُوْراً، وَمِنْ خَلْفِي نُوْراً، وَاجْعَلْ فِي نَفْسِي نُوْراً، وَأَعْظِمْ لِي نُوْراً، وَعَظِّم لِي نُوْراً، وَاجْعَلْ لِي نُوْراً، وَاجْعَلْنِي نُوْراً، اللّهُمَّ أَعْطِنِي نُوْراً، وَاجْعَلْ فِي عَصَبِي نُوْراً، وَفِي لَحْمِي نُوْراً، وَفِي دَمِي نُوْراً، وَفِي شَعْرِيْ نُوْراً، وَفِي بَشَرِيْ نُوْراً

Ya Allah, jadikanlah cahaya di hatiku, cahaya di lisanku, cahaya bagi pendengaranku, cahaya di penglihatanku, cahaya di atasku, cahaya di bawahku, cahaya di sebelah kananku, cahaya di sebelah kiriku, cahaya di depanku, cahaya di belakangku, cahaya di jiwaku, perbesarlah cahayaku, jadikanlah untukku cahaya, jadikanlah aku penuh cahaya, ya Allah berikanlah aku cahaya, jadikanlah cahaya di ruas badanku, cahaya di dagingku, cahaya di darahku, cahaya di rambutku, dan cahaya di kulitku.

اللّهُمَّ اجْعَلْ لِيْ نُوْرًا فِي قَبْرِيْ . . وَنُوْرًا فِي عَظَامِي

Ya Allah, jadikanlah cahaya untukku di kuburku… cahaya di tulangku.

وَزِدْنِي نُوْرًا , وَزِدْنِي نُوْرًا , وَزِدْنِي نُوْرًا

Tambahkanlah cahaya untukku, tambahkanlah cahaya untukku, tambahkanlah cahaya untukku..

وَهَبْ لِيْ نُوْرًا عَلَى نُوْر

Berikanlah aku cahaya di atas cahaya

Semua doa di atas berdasarkan riwayat yang shahih, sebagaimana disebutkan dalam buku Hisnul Muslim, karya Dr. Said bin Wahf Al-Qahthani

Ketujuh, sesampainya di masjid, lepas sandal dengan mendahulukan kaki kiri.
Sunah ini dinyatakan dalam hadis dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا انْتَعَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِالْيُمْنَى، وَإِذَا خَلَعَ فَلْيَبْدَأْ بِالْيُسْرَى

Apabila kalian memakai sandal, mulailah dengan kaki kanan, dan jika melepas, mulailah dengan kaki kiri.” (HR. Ibn Majah dan dishahihkan Al-Albani)

Agar Anda tetap bisa masuk masjid dengan kaki kanan, setelah melepas sandal, kaki jangan langsung diinjakkan ke lantai masjid, tapi diinjakkan dulu ke tanah atau ke sandal kiri yang sudah dilepas. Kemudian naiklah ke lantai masjid dengan kaki kanan.

Kedelapan, masuk masjid dengan mendahulukan kaki kanan
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau mengatakan,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ، فِي تَنَعُّلِهِ، وَتَرَجُّلِهِ، وَطُهُورِهِ، وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suka mendahulukan yang kanan, ketika memakai sandal, menyisir rambut, bersuci, dan yang lainnya.” (HR. Bukhari, Ahmad dan yang lainnya)

Para ulama mengatakan, semua kegiatan yang baik, dianjurkan mendahulukan bagian tubuh yang kanan. Termasuk dalam hal ini adalah mendahulukan kaki kanan ketika masuk masjid.

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, mengatakan,

من السنة إذا دخلت المسجد أن تبدأ برجلك اليمنى، وإذا خرجت أن تبدأ برجلك اليسرى

“Termasuk ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika Anda masuk masjid, Anda mendahulukan kaki kanan dan ketika keluar Anda mendahulukan kaki kiri.” (HR. Hakim, beliau shahihkan dan disetujui Ad-Dzahabi)

Kesembilan, berdoalah ketika masuk masjid
Ada banyak doa yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sekali lagi, sikap yang tepat adalah diamalkan semuanya. Berikut beberapa doa ketika masuk masjid,

بِسْمِ اللهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُولِ اللهِ

Bismillah, shalawat dan salam untuk Rasulillah. (HR. Ibnu Sunni, Abu Daud, dan dishahihkan Al-Albani)

اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ

Ya Allah, buka-kanlah pintu rahmatmu untukku. (HR. Muslim)

أَعُوذُ بِاللَّهِ الْعَظِيمِ، وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيمِ، وَسُلْطَانِهِ الْقَدِيمِ، مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

Aku berlindung kepada Allah yang Maha Agung, dengan wajah-Nya yang Mulia, dengan kekuasan-Nya yang langgeng, dari godaan setan yang terkutuk.

Untuk doa terakhir ini, terdapat keutamaan khusus:

Dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika masuk masjid, beliau membaca doa di atas. Kemudian beliau bersabda;

فَإِذَا قَالَ: ذَلِكَ قَالَ الشَّيْطَانُ: حُفِظَ مِنِّي سَائِرَ الْيَوْمِ

Jika orang membaca doa ini maka setan berteriak, ‘Orang ini dilindungi dariku sepanjang hari’.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan Al-Albani)

Kesepuluh, shalat tahiyatul masjid, jika masih memungkinkan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan,

فَإِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ، فَلَا يَجْلِسْ حَتَّى يَرْكَعَ رَكْعَتَيْنِ

Apabila kalian masuk masjid, jangan duduk, sampai shalat dua rakaat.” (HR. Muslim)
Itulah shalat tahiyatul masjid.

Kesebelas, jangan lupa untuk mendekati sutrah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا

Apabila kalian hendak shalat, laksanakanlah dengan menghadap ke sutrah, dan mendekatlah ke sutrah.”

Sutrah bisa berupa tembok, tiang, atau benda-benda lainnya.

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Adab-adab Bersedekah

Bersedekah merupakan amal shalih yang paling agung, bahkan termasuk amal terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Bersedekah juga merupakan salah satu sebab di lindungi seseorang dari adzab kubur dan mendapat naungan Allah pada hari kiamat. Apalagi jika orang yang mengeluarkan sedekah itu memperhatikan adab-adabnya.

Diantara adab-adab bersedekah adalah sebagai berikut:

1.  Ikhlas dalam Bersedekah

Seseorang wajib mengikhlaskan niat karena Allah semata didalam bersedekah dan mencari keridhaan-Nya serta kedekatan disisi-Nya, baik sedekah wajib maupun sedekah mustahab (sunnah). Jika keikhlasan tidak ada, maka sedekah akan batal dan dapat menggugurkan pahalanya. Sebagian orang bersedekah dengan tujuan riya' dan su'ah serta berbangga-bangga untuk menyombongkan diri agar ia dikenal dengan sedekahnya. Bahkan ia berusaha menonjolkan hal itu. Orang-orang seperti ini akan di sisa ada hari Kiamat dengan siksa yang sangat berat.

Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, "Orang yang pertama kali dipanaskan dengan (tubuh) mereka api Neraka pada hari kiamat ada tiga golongan..."
Kemudian Beliau bersabda, "Dan hadirkan yang bersedekah."
sampai dengan sabda Nabi, "Allah berkata, "Engkau berdusta. Sesungguhnya engkau bersedekah agar dikatakan dermawan. Begitulah (kenyataan) yang telah dikatakan..." (HR. Muslim no.1095, dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu)

2.  Mempelajari Kewajiban-kewajiban dalam Bersedekah

Seorang Muslim wajib mempelajari tentang sedekah-sedekah yang diwajibkan aas dirinya, mempelajari ukuran-ukurannya dan kepada siapa sedekah itu harus diberikan, serta hal lain-lain yang akan meluruskan ibadahnya tersebut. Hal itu dilakukan sebelum ia melakukan sedekah, walaupun ia harus bertanya kepada ahli ilmu. Sebab ia tidak akan terhitung melaksanakan kewajiban didalam ibadah hingga ia melakukannya sesuai dengan yang di syari'atkan Allah Subhanhu wa ta'ala. Selain itu, agar tidak mengeluarkan sesuatu dari jenis harta yang tidak wajib dikeluarkan zakatnya atau ia tidak memberikannya kepada orang yang tidak berhak menerimanya dan hal-hal semacam itu.

3.  Tidak Menunda-nunda Sedekah yang Wajib Hingga Keluar Waktunya

Jika telah wajib seseorang muslim untuk mengeluarkan zakat atas hartanya, tanamannya, perniagaannya, atau yang lainnya dari harta sedekah yang wajib, maka ia wajib mengeluarkannya pada waktunya. Tidak boleh ia menundanya tanpa adanya udzur. Hal itu tidak boleh sama sekali. Siapa yang menunda hingga keluar dari waktunya tanpa udzur, niscaya ia akan menghadapi kemarahan Allah Subhanahu wa ta'ala.

4.  Mendahulukan Sedekah yang Wajib daripada yang Mustahab (Sunnah)

Wajib atas seorang Muslim, apabila ia harus mengeluarkan zakat yang wajib dan telah tiba waktunya, agar mendahulukannya daripada sedekah yang mustahab. Itulah hukum asalnya. Sebab, menunaikan sedekah yang wajib termasuk rukun Islam. Allah Subhanahu wa ta'ala tidak akan menerima amalan-amalan yang sunnah hingga ia mengamalkan amalan wajib. Amalan yang disukai Allah untuk mendekatkan diri kepada-Nya adalah dengan menunaikan kewajiban, sebagaimana yang disebutkan didalam hadits qudsi: "...dan tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai daripada apa-apa yang telah Aku wajibkan atasnya..." (HR. al-Bukhari no. 6502 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Barangsiapa yang telah mendahulukan sedekah yang mustahab atas sedekah yang wajib maka ia berada dalam kesalahan yang besar. Ia melakukan hal itu disebabkan kejahilan terhadap syari'at dan karena kekurangan ilmunya tentang hal-hal yang disukai Allah Subhanahu wa ta'ala.

5.  Mengeluarkan Zakat dari Jenis-jenis Harta yang Telah Ditentukan Syari'at Apabila Telah Wajib Atasnya

Apabila sudah jatuh kewajiban atas seorang Muslim untuk mengeluarkan sedekah (zakat) atas barang tertentu secara syar'i, dan syari'at telah menjelaskan cara mengeluarkan jenis tertentu dari hartanya, seperti zakat fitrah, zakat yang telah diwajibkan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam, yaitu satu sha' gandum/ burr atau satu sha' kurma atau satu sha' sya'ir (jewawut) atau sejenisnya, maka seharusnya seorang Mukmin mengeluarkan zakat harta-hata yang telah disebutkan Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam atau hal-hal yang beliau sebutkan didalam nash tersebut. Janganlah ia mengeluarkan pengganti selainnya atas dasar ijtihad sendiri, dengan anggapan bahwa jenis-jenis harta yang lain dapat menggantikan kedudukannya atau lebih bermanfaat dari jenis-jenis tersebut. Sebab, kalaulah demikian halnya, tentu syari'at telah menyebutkannya dan tentu Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam telah mengisyaratkannya, atau telah memilihnya atau memberikan pilihan kepadanya. Maka bagaimana mungkin seorang Mukmin berprasangka bahwasanya perhatian Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam telah luput dari perkara ini? Apakah syari'at tidak memperhitungkannya?

Mengeluarkan jenis-jenis harta yang telah disebutkan didalam syari'at akan menjauhkan seorang Muslim dari perselisihan-perselisihan pendapat fiqih tentang barang yang digunakan sebagai penggantinya, apakah boleh atau tidak. Sebab, tidak ada orang mengatakan bahwasanya jenis-jenis harta yang dikeluarkan menurut ketetapan syari'at tidak sah. Namun, yang menjadi khilaf (perbedaan pendapat) adalah harta jenis lain, apakah sah atau tidak.

6.  Hendaklah Sedekah itu Dari Hasil yang Baik

Bersedekah dari harta yang halal karena itu merupakan sebab diterimanya sedekah tersebut dan yang akan menghasilkan pahala, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam,

"Tidaklah seseorang yang bersedekah dengan harta yang baik, dan Allah tidak akan menerima kecuali yang baik-baik, melainkan Allah akan mengambil dengan Tangan Kanan-Nya. Jika itu berupa sebutir kurma, niscaya ia akan tumbuh ditelapak tangan Allah 'Azza wa jalla hingga menjadi lebih besar daripada gunung. Sebagaimana seseorang diantara kamu menyamai benihnya atau memelihara anak unta." (HR.Ahmad II/538, an-Nasa'i V/57, at-tirmidzi no.661 dan ia berkata 'Hasan Sahih' dan Ibnu Majah no. 1842 dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu. Lihat kitab Shahiihul Jaami' no. 5600)

Al-fasil adalah unta kecil. Wajib atas orang yang bersedekah untuk mengusahakan agar sedekahnya berasal dari harta yang baik. Kalau tidak demikian, niscaya sedekahnya tidak akan diterima. Sungguh mengherankan, sering kali kami mendengar para penari atau penyanyi yang mendermakan hasil usahanya yang buruk itu untuk amal-amal kebaikan. Demikian pula pedagang obat terlarang, penjual khamr, penerima suap, atau yang lainnya. Mereka mensedekahkan harta yang buruk dari harta dan hasil usaha mereka. Kalaulah mereka benar-benar jujur, niscaya mereka akan meninggalkan apa-apa yang mereka kerjakan itu karena ketaatan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dan memenuhi perintah-Nya. Namun, kebanyakan dari mereka bertujuan untuk berbangga-bangga, menyombongkan diri, agar orang-orang mengatakan bahwa ia adalah orang yang dermawan.

7.  Memberi Sedekah Kepada Orang-orang yang Membutuhkan

Hendaknya orang-orang yang bersedekah berusaha memberikan sedekahnya kepada orang-orang yang berhak menerimanya dari kalangan orang-orang fakir, miskin, anak yatim, janda orang yang terlilit hutang, dan orang-orang yang berhak menerima sedekah. Janganlah ia memberikannya kepada orang yang ia ketahui tidak membutuhkannya. Apabila itu sedekah yang wajib (zakat), maka tidak sah kecuali diberikan kepada orang yang berhak menerimanya. Seandainya, yang dimaksud adalah sedekah yang sunnah, maka dianjurkan mendahulukan orang yang pantas menerimanya. Sebab, sedekah itu akan menjaga mereka dari perbuatan yang haram untuk mendapatkan sesuap nasi atau yang lainnya. Allah Subhanahu wa ta'ala telah menjelaskan jenis-jenis orang yang menerima zakat.

"Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana." (Qs. At-Taubah: 60)

8.  Mengeluarkan Harta yang Terbaik dalam Bersedekah

Janganlah seseorang sengaja mengeluarkan barang-barang atau makanan yang buruk untuk disedekahkan, atau memilih harta-harta yang buruk didalam bersedekah. Namun hendaklah ia memilih yang bagus. Demikan jika mampu, hendaklah ia memberikan yang paling bagus karena hakikatnya ia menyerahkannya untuk dirinya disisi Allah Subhanahu wa ta'ala.

Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan darinya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya..." (Qs. Al-Baqarah: 267)

Demikian seorang yang bersedekah, hendaklah mengeluarkan yang terbaik yang dimilikinya untuk Allah Subhanahu wa ta'ala. Sebab, ia akan medapatkan barang yang disedekahkannya itu terpelihara disisi Allah Subhanahu wa ta'ala pada saat ia membutuhkannya diakhirat.

9.  Bersedekah dengan Apa-apa yang Dia Cintai

Jika seorang hamba mampu bersedekah dengan sesuatu yang ia cintai dari harta, makanan atau yang sejenisnya, maka ia akan mendapatkan pahala yang lebih besar dari Allah Subhanahu wa ta'ala.

Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, "Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai..." (Qs. Ali 'Imran: 92)

Oleh karena itu 'Abdullah bin 'Umar radhiyallahu'anhu apabila datang kepada beliau seorang peminta-minta, maka ia kan memerintahkan keluarganya untuk memberikannya gula karena ia menyukai gula. Demikianlah, hendaknya orang-orang yang suka berbuat baik segera berlomba-lomba melakukannya.

10.  Tidak Menggugurkan Sedekah dengan Mengungkit-ungkit dan Menyakiti Orang yang Menerima Sedekah

Tidak boleh seorang hamba mengungkit-ungkit sedekah kepada orang yang menerimanya atau merendahkannya dengan sedekah, atau menyebutkan kebaikan-kebaikan atau jasa-jasa yang telah ia berikan kepadanya. Sebab, hal itu dapat melukai perasaan orang yang menerimanya dan dapat menghapus (pahala) sedekah, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta'ala:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)..." (Qs. Al-Baqarah: 264)

Allah juga menyifati orang-orang yang beriman didalam firman-Nya:
"Orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah, kemudian tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala disisi Rabb mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (Qs. Al-Baqarah: 262)

11.  Mengagumi Nikmat-nikmat Allah Subhanahu wa ta'ala dan Mensyukurinya

Wajib bagi orang yang bersedekah agar merenungi nikmat Allah Subhanahu wa ta'ala atas dirinya ketika bersedekah. Sebab, Alah telah menjadikannya kaya dan tidak membuatnya terpakasa menerima sedekah. Allah Subhanahu wa ta'ala menjadikan tangannya diatas. Allah Subhanahu wa ta'ala menjadikannya orang yang memberi dan bukan menerima. Yang demikian termasuk nikmat Allah atas dirinya sehingga ia harus bersungguh-sungguh mensyukurinya dengan mentaati Allah Subhanahu wa ta'ala. dan memperbanyak sedekah, serta berkasih sayang dengan orang fakir, miskin dan mereka yang membutuhkan.

12. Hendaknya orang yang Bersedekah Tidak Memandang Dirinya Berjasa Atas Orang yang Menerima Sedekahnya

Wajib atas orang yang bersedekah untuk tidak memandang dirinya berjasa atas orang fakir dan orang yang membutuhkan. Namun, hendaknya ia memandang semua itu sebagai karunia Allah Subhanahu wa ta'ala karena Dialah yang telah memberikan dan melimpahkan harta tersebut kepadanya. Allah pun memberinya taufik kepada Islam dan melepaskan dirinya dari kebakhilan atau sifat kikir sehingga ia segera untuk bersedekah.

Bahkan, seorang mukmin yang bijak akan melihat bahwasanya orang fakir itulah yang telah mencurahkan karunia atasnya. Sebab, orang fakir menerima sedekahnya sehingga memberikan kesempatan baginya untuk menerima pahala dari Allah Subhanahu wa ta'ala. Bahkan, orang-orang shalih dari kalangan Salaf berkata: "Demi Allah, aku memandang justru orang fakir adalah yang melimpahkan karunia atasku. Kalaulah Allah Subhanahu wa ta'ala tidak menjadikan mereka menerima sedekahku, niscaya aku akan terhalang dari pahala dan balasan dari Allah Subhanahu wa ta'ala.

13.  Tidak Mengurungkan Niat Bersedekah karena Keraguan terhadap Orang yang Menerimanya

Apabila seorang yang bersedekah ragu terhadap orang yang menerima sedekahya, tidak juga bisa memastikan apakah ia benar-benar fakir atau tidak, maka janganlah hal itu membuatnya tidak jadi bersedekah. Sebab, ada dasarnya ia mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa ta'ala dari sedekahnya. Hal ini kerap kali terjadi. Selama ia bersungguh-sungguh memberikan sedekah kepada yang berhak, dan besar sangkaannya bahwa orang yang dimaksudkan berhak menerimanya, maka berikanlah sedekah itu. Bahkan, Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam tidak pernah menolak orang yang memintanya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam:

"Seorang laki-laki berkata: 'Malam ini aku akan bersedekah'. Kemudian ia keluar membawa barang yang akan disedekahkannya. Ternyata, ia memberikannya kepada pencuri sehingga pada pagi harinya orang-orang berbicara: 'Tadi malam seorang pencuri menerima sedekah.' Maka orang itu berkata: 'Ya Allah segala puji bagi-Mu, sedekah itu jatuh ketangan pencuri.' Setelah itu orang itu berkata: 'Aku akan bersedekah.' Kemudian ia keluar membawa sedekahnya. Ternyata sedekah itu jatuh ketangan pelacur sehingga orang-orang berkata: 'Tadi malam seorang pelacur menerima sedekah.' Maka orang itu berkata: 'Ya Allah, segala puji bagi-Mu, sedekah itu jatuh ketangan pelacur.' Sesudah itu ia berkata: 'Aku akan bersedekah.' Kemudian ia membawa sedekahnya. Ternyata sedekah itu jatuh ketangan orang kaya. Hingga orang-orangpun berkata: 'Orang kaya juga mendapatkan sedekah.' Maka ia berkata: 'Ya Allah segala puji bagimu, sedekah itu jatuh ketangan pencuri, pelacur dan orang kaya.' Dikatakan kepadanya: 'Sungguh, sedekahmu telah diterima. Adapun pencuri itu mudah-mudahan ia tidak lagi mencuri dan pelacur itu, mudah-mudahan ia meninggalkan perbuatan zina, sedangkan orang yang kaya itu, mudah-mudahan hal itu menjadi peringatan sehingga ia suka bersedekah dari kekayaan yang diberikan Allah kepadanya'." (HR. Al-Bukhari no. 1421 dan Muslim no. 1022 dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu)

Laki-laki dalam hadits diatas mengira bahwa ketiga orang tersebut menerima sedekah yang ia berikan, sedang ikhlas dalam memberikannya. Oleh karena itu, Allah menerima amalnya walaupun orang-orang yang menerima sebenarnya tidak berhak menerima sedekah. Itulah tujuan utama dari orang yang bersedekah, yaitu mengharapkan pahala balasan dari Allah Subhanahu wa ta'ala. Hal itu benar-benar terjadi. Adapun tujuan yang lain ialah memberi manfaat bagi orang fakir dan mencukupi hajat mereka, yang bisa diwujudkan jika yang menerimanya benar-benar berhak. Mungkin juga justru yang tercapai adalah tujuan yang lain, yaitu menjadi i'tibar (pelajaran) jika orang yang menerima sedekah itu bukanlah orang yang berhak. Namun, jika orang yang bersedekah itu yakin bahwa orang yang meminta tidak berhak, atau menjadikan meminta-minta sebagai profesi, maka ia boleh menahan sedekahnya.

14.  Lebih Dulu Memberikan Sedekah Kepada Karib Kerabat

Apabila karib kerabat mereka termasuk orang yang membutuhkan, maka hak mereka lebih besar daripada hak oranglain.

Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, "Sedekah kepada orang miskin (mendapat satu pahala), sedangkan kepada karib kerabat menadapat dua pahala; pahala sedekah dan pahala silaturahim." (HR. Ahmad [IV/17,18,214], at-Tirmidzi no. 658 dan dihasankannya, an-Nasa'i V/92, Ibnu Majah no. 1844, al-Hakim I/407 dan dishahihkannya serta disetujui oleh adz-Dzahabi dari Salman bin 'Amir. Lihat Shahiihul Jaami' no. 3858)

Barangsiapa yang mendapatkan kelapangan untuk bersedekah, hendaklah ia mendahulukan karib kerabatnya jika mereka membutuhkan karena mereka lebih berhak menerimanya. Jika tidak demikian, ia boleh menyerahkannya kepada orang lain. Semakin dekat derajat kekerabatannya dengan orang yang menerima sedekah itu, maka semakin besar pula pahala sedekahnya. Allahu a'lam.

15.  Merahasiakan Sedekah Kecuali Untuk Suatu kepentingan

Dianjurkan kepada setiap Muslim jika ia bersedekah untuk merahasiakan sedekahnya dari pengetahuan manusia sebisa mungkin. Sesungguhnya hal itu lebih dekat kepada keikhlasan serta lebih menjaga harga diri dan kehormatan orang yang menerimanya.

Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, "Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu merahasiakannya dan kamu memerikan kepada orang-orang fakir, maka merahasiakan itu lebih baik bagimu..." (Qs. Al-Baqarah: 271)

Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa orang yang merahasiakan sedekahnya termasuk orang-orang yang dinaungi pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan Allah Subhanahu wa ta'ala.

Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, "Tujuh orang yang Allah naungi pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan Allah Subhanahu wa ta'ala: .....dan seorang yang bersedekah, ia menyembunyikan sedekahnya sehingga tangan kirinya tidak tau apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya." (HR. Al-Bukhari no. 660, Muslim no. 1031) Hadits ini berisi anjuran untuk merahasiakan sedekah.

Meskipun demikian, apabila disana ada kepentingan dan maslahat yang kuat untuk menampakkannya, maka yang lebih baik adalah menampakkannya. Contohnya, orang yang terhormat bersedekah kepada orang yang membutuhkan dihadapan khalayak agar mereka mengikutinya untuk bersedekah. Dengan begitu, ia telah mencontohkan kepada mereka perbuatan baik. Misalnya juga orang yang mengeluarkan zakat secara terang-terangan dihadapan orang banyak untuk mengingatkan mereka tentang waktu zakat, seperti juga orang yang khawatir tidak menemukan orang yang membutuhkannya jika ia tidak memberikanya saat itu juga dihadapan orang banyak. Masih banyak lagi permasalahan lainnya. Hal itu semua dilakukan dengan tetap menjaga diri dari riya' dan tetap menjaga keikhlasan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala didalamnya.

16.  Tidak Mengambil Kembali Sedekahnya

Jika seseorang memberikan suatu sedekah, maka ia tidak boleh mengambilnya kembali dari orang yang telah menerimanya.

Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda: "Perumpamaan orang yang bersedekah kemudian ia mengambil kembali sedekahnya seperti anjing yang memuntahkan sesuatu kemudian ia menjilat muntahannya untuk memakannya lagi." (HR. Muslim no.1622 dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhuma)

Hadits diatas menerangkan perumpamaan yang sangat jelek bagi orang yang mengambil kembali sedekahnya. Tidaklah dibuat perumpamaan itu, melainkan karena buruknya perbuatan tersebut. Maka dari itu, wajib atas Muslim ketika bersedekah agar mengeluarkan sedekahnya dengan kemurahan hati dan ia tidak mengambil kembali apa yang telah disedekahkan dengan alasan apapun.

Demikianlah yang dimudahkan Allah Subhanahu wa ta'ala bagiku dari adab-adab sedekah, yang jumlahnya enam belas adab. Alhamdulillahi Rabbil 'aalamiin.

[Dikutip dari kitab Ensiklopedi Adab Islam Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i, cetakan pertama/Agustus 2007]

Tambahan:

Baca artikel: Amat Disayangkan, Banyak Sedekah Hanya Untuk Memperlancar Rizki 
http://faisalchoir.blogspot.com/2012/09/adab-adab-bersedekah.html

Larangan Beramal Untuk Tujuan Dunia

Alhamdullillahilladzi hamdan katsiron thoyyiban mubaarokan fiih kamaa yuhibbu Robbunaa wa yardho. Allahumma sholli ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.
Itulah yang sering kita lihat pada umat Islam saat ini. Mereka memang gemar melakukan puasa sunnah (yaitu puasa Senin-Kamis dan lainnya), namun semata-mata hanya untuk menyehatkan badan sebagaimana saran dari beberapa kalangan. Ada juga yang gemar sekali bersedekah, namun dengan tujuan untuk memperlancar rizki dan karir. Begitu pula ada yang rajin bangun di tengah malam untuk bertahajud, namun tujuannya hanyalah ingin menguatkan badan. Semua yang dilakukan memang suatu amalan yang baik. Tetapi niat di dalam hati senyatanya tidak ikhlash karena Allah, namun hanya ingin mendapatkan tujuan-tujuan duniawi semata. Kalau memang demikian, mereka bisa termasuk orang-orang yang tercela sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut.
Dengan Amalan Sholeh Hanya Mengharap Keuntungan Dunia, Sungguh Akan Sangat Merugi
Allah Ta’ala berfirman, 
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.”  
(QS. Hud 11 : 15-16)
Yang dimaksud dengan “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia” yaitu barangsiapa yang menginginkan kenikmatan dunia dengan melakukan amalan akhirat.
Yang dimaksud “perhiasan dunia” adalah harta dan anak.
Mereka yang beramal seperti ini: “niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan”. Maksudnya adalah mereka akan diberikan dunia yang mereka inginkan. Ini semua diberikan bukan karena mereka telah berbuat baik, namun semata-mata akan membuat terlena dan terjerumus dalam kebinasaan karena rusaknya amalan mereka. Dan juga mereka tidak akan pernah yubkhosuun, yaitu dunia yang diberikan kepada mereka tidak akan dikurangi. Ini berarti mereka akan diberikan dunia yang mereka cari seutuhnya (sempurna).
Dunia, mungkin saja mereka peroleh. Dengan banyak melakukan amalan sholeh, boleh jadi seseorang akan bertambah sehat, rizki semakin lancar dan karir terus meningkat. Dan itu senyatanya yang mereka peroleh dan Allah pun tidak akan mengurangi hal tersebut sesuai yang Dia tetapkan. Namun apa yang mereka peroleh di akhirat?
Lihatlah firman Allah selanjutnya (yang artinya), “Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka”. Inilah akibat orang yang hanya beribadah untuk mendapat tujuan dunia saja. Mereka memang di dunia akan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Adapun di akhirat, mereka tidak akan memperoleh pahala karena mereka dalam beramal tidak menginginkan akhirat. Ingatlah, balasan akhirat hanya akan diperoleh oleh orang yang mengharapkannya. Allah Ta’ala berfirman, 
“Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mu’min, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (QS. Al Israa’: 19)
Orang-orang seperti ini juga dikatakan: “lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan”. Ini semua dikarenakan mereka dahulu di dunia beramal tidak ikhlas untuk mengharapkan wajah Allah sehingga ketika di akhirat, sia-sialah amalan mereka. (Lihat penjelasan ayat ini di I’aanatul Mustafid, 2/92-93)
Sungguh betapa banyak orang yang melaksanakan shalat malam, puasa sunnah dan banyak sedekah, namun itu semua dilakukan hanya bertujuan untuk menggapai kekayaan dunia, memperlancar rizki, umur panjang, dan lain sebagainya.
Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhu- menafsirkan surat Hud ayat 15-16. Beliau –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,
“Sesungguhnya orang yang riya’, mereka hanya ingin memperoleh balasan kebaikan yang telah mereka lakukan, namun mereka minta segera dibalas di dunia.”
Ibnu ‘Abbas juga mengatakan,
“Barangsiapa yang melakukan amalan puasa, shalat atau shalat malam namun hanya ingin mengharapkan dunia, maka balasan dari Allah: “Allah akan memberikan baginya dunia yang dia cari-cari. Namun amalannya akan sia-sia (lenyap) di akhirat nanti karena mereka hanya ingin mencari dunia. Di akhirat, mereka juga akan termasuk orang-orang yang merugi”.”
Perkataan yang sama dengan Ibnu ‘Abbas ini juga dikatakan oleh Mujahid, Adh Dhohak dan selainnya.
Qotadah mengatakan,
“Barangsiapa yang dunia adalah tujuannya, dunia yang selalu dia cari-cari dengan amalan sholehnya, maka Allah akan memberikan kebaikan kepadanya di dunia. Namun ketika di akhirat, dia tidak akan memperoleh kebaikan apa-apa sebagai balasan untuknya. Adapun seorang mukmin yang ikhlash dalam beribadah (yang hanya ingin mengharapkan wajah Allah), dia akan mendapatkan balasan di dunia juga dia akan mendapatkan balasan di akhirat.”
(Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, tafsir surat Hud ayat 15-16)
Hanya Beramal Untuk Menggapai Dunia, Tidak Akan Dapat Satu Bagianpun Di Akhirat
Kenapa seseorang beribadah dan beramal hanya ingin menggapai dunia? Jika seseorang beramal untuk mencari dunia, maka dia memang akan diberi. Jika shalat tahajud, puasa senin-kamis yang dia lakukan hanya ingin meraih dunia, maka dunia memang akan dia peroleh dan tidak akan dikurangi. Namun apa akibatnya di akhirat? Sungguh di akhirat dia akan sangat merugi. Dia tidak akan memperoleh balasan di akhirat disebabkan amalannya yang hanya ingin mencari-cari dunia.
Namun bagaimana dengan orang yang beramal dengan ikhlash, hanya ingin mengharap wajah Allah? Di akhirat dia akan memperoleh pahala yang berlipat ganda.
Allah Ta’ala berfirman, 
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” 
 (QS. Asy Syuraa: 20)
Ibnu Katsir –rahimahullah- menafsirkan ayat di atas,
“Barangsiapa yang mencari keuntungan di akhirat, maka Kami akan menambahkan keuntungan itu baginya, yaitu Kami akan kuatkan, beri nikmat padanya karena tujuan akhirat yang dia harapkan. Kami pun akan menambahkan nikmat padanya dengan Kami balas setiap kebaikan dengan sepuluh kebaikan hingga 700 kali lipat hingga kelipatan yang begitu banyak sesuai dengan kehendak Allah. … Namun jika yang ingin dicapai adalah dunia dan dia tidak punya keinginan menggapai akhirat sama sekali, maka balasan akhirat tidak akan Allah beri dan dunia pun akan diberi sesuai dengan yang Allah kehendaki. Dan jika Allah kehendaki, dunia dan akhirat sekaligus tidak akan dia peroleh. Orang seperti ini hanya merasa senang dengan keinginannya saja, namun barangkali akhirat dan dunia akan lenyap seluruhnya dari dirinya.”
Ats Tsauri berkata, dari Mughiroh, dari Abul ‘Aliyah, dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
“Umat ini diberi kabar gembira dengan kemuliaan, kedudukan, agama dan kekuatan di muka bumi. Barangsiapa dari umat ini yang melakukan amalan akhirat untuk meraih dunia, maka di akhirat dia tidak mendapatkan satu bagian pun.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya, Al Hakim dan Al Baiaqi. Al Hakim mengatakan sanadnya shahih. Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib)
Terdapat pula riwayat dalam Al Baihaqi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Umat ini diberi kabar gembira dengan kemudahan, kedudukan dan kemulian dengan agama dan kekuatan di muka bumi, juga akan diberi pertolongan. Barangsiapa yang melakukan amalan akhirat untuk mencari dunia, maka dia tidak akan memperoleh satu bagian pun di akhirat. ”
Tanda Seseorang Beramal Untuk Tujuan Dunia
Al Bukhari membawakan hadits dalam Bab “Siapa yang menjaga diri dari fitnah harta”.
Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Celakalah hamba dinar, dirham, qothifah dan khomishoh. Jika diberi, dia pun ridho. Namun jika tidak diberi, dia tidak ridho, dia akan celaka dan akan kembali binasa.” (HR. Bukhari).
Qothifah adalah sejenis pakaian yang memiliki beludru. Sedangkan khomishoh adalah pakaian yang berwarna hitam dan memiliki bintik-bintik merah. (I’aanatul Mustafid, 2/93)
Kenapa dinamakan hamba dinar, dirham dan pakaian yang mewah? Karena mereka yang disebutkan dalam hadits tersebut beramal untuk menggapai harta-harta tadi, bukan untuk mengharap wajah Allah. Demikianlah sehingga mereka disebut hamba dinar, dirham dan seterusnya. Adapun orang yang beramal karena ingin mengharap wajah Allah semata, mereka itulah yang disebut hamba Allah (sejati).
Di antara tanda bahwa mereka beramal untuk menggapai harta-harta tadi atau ingin menggapai dunia disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selanjutnya: “Jika diberi, dia pun ridho. Namun jika tidak diberi, dia pun tidak ridho (murka), dia akan celaka dan kembali binasa”. Hal ini juga yang dikatakan kepada orang-orang munafik sebagaimana dalam firman Allah,
“Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” (QS. At Taubah: 58)
Itulah tanda seseorang dalam beramal hanya ingin menggapai tujuan dunia. Jika dia diberi kenikmatan dunia, dia ridho. Namun, jika kenikmatan dunia tersebut tidak kunjung datang, dia akan murka dan marah. Dalam hatinya seraya berujar, “Sudah sebulan saya merutinkan shalat malam, namun rizki dan usaha belum juga lancar.” Inilah tanda orang yang selalu berharap dunia dengan amalan sholehnya.
Adapun seorang mukmin, jika diberi nikmat, dia akan bersyukur. Sebaliknya, jika tidak diberi, dia pun akan selalu sabar. Karena orang mukmin, dia akan beramal bukan untuk mencapai tujuan dunia. Sebagian mereka bahkan tidak menginginkan mendapatkan dunia sama sekali. Diceritakan bahwa sebagian sahabat tidak ridho jika mendapatkan dunia sedikit pun. Mereka pun tidak mencari-cari dunia karena yang selalu mereka harapkan adalah negeri akhirat. Semua ini mereka lakukan untuk senantiasa komitmen dalam amalan mereka, agar selalu timbul rasa harap pada kehidupan akhirat. Mereka sama sekali tidak menyukai untuk disegerakan balasan terhadap kebaikan yang mereka lakukan di dunia.
Akan tetapi, barangsiapa diberi dunia tanpa ada rasa keinginan sebelumnya dan tanpa ada rasa tamak terhadap dunia, maka dia boleh mengambilnya. Sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits dari ‘Umar bin Khottob,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan suatu pemberian padaku.” Umar lantas mengatakan, “Berikan saja pemberian tersebut pada orang yang lebih butuh (lebih miskin) dariku. Sampai beberapa kali, beliau tetap memberikan harta tersebut padaku.” Umar pun tetap mengatakan, “Berikan saja pada orang yang lebih butuh (lebih miskin) dariku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Ambillah harta tersebut dan harta yang semisal dengan ini di mana engkau tidak merasa mulia dengannya dan sebelumnya engkau pun tidak meminta-mintanya. Ambillah harta tersebut. Selain harta semacam itu (yang di mana engkau punya keinginan sebelumnya padanya), maka biarkanlah dan janganlah hatimu bergantung padanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sekali lagi, begitulah orang beriman. Jika dia diberi nikmat atau pun tidak, amalan sholehnya tidak akan pernah berkurang. Karena orang mukmin sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya. Adapun orang yang selalu mengharap dunia dengan amalan sholehnya, dia akan bersikap berbeda. Jika dia diberi nikmat, baru dia ridho. Namun, jika dia tidak diberi, dia akan murka dan marah. Dia ridho karena mendapat kenikmatan dunia. Sebaliknya, dia murka karena kenikmatan dunia yang tidak kunjung menghampirinya padahal dia sudah gemar melakukan amalan sholeh. Itulah sebabnya orang-orang seperti ini disebut hamba dunia, hamba dinar, hamba dirham dan hamba pakaian.
Beragamnya Niat dan Amalan Untuk Menggapai Dunia 

Niat seseorang ketika beramal ada beberapa macam:
Pertama, Jika niatnya adalah murni untuk mendapatkan dunia ketika dia beramal dan sama sekali tidak punya keinginan mengharap wajah Allah dan kehidupan akhirat
Maka orang semacam ini di akhirat tidak akan mendapatkan satu bagian nikmat pun. Perlu diketahui pula bahwa amalan semacam ini tidaklah muncul dari seorang mukmin. Orang mukmin walaupun lemah imannya, dia pasti selalu mengharapkan wajah Allah dan negeri akhirat.
Kedua, Jika niat seseorang adalah untuk mengharap wajah Allah dan untuk mendapatkan dunia sekaligus, entah niatnya untuk kedua-duanya sama atau mendekati
Maka semacam ini akan mengurangi tauhid dan keikhlasannya. Amalannya dinilai memiliki kekurangan karena keikhlasannya tidak sempurna.
Ketiga, Adapun jika seseorang telah beramal dengan ikhlash, hanya ingin mengharap wajah Allah semata, akan tetapi di balik itu dia mendapatkan upah atau hasil yang dia ambil untuk membantunya dalam beramal
Semacam mujahid yang berjihad lalu mendapatkan harta rampasan perang, para pengajar dan pekerja yang menyokong agama yang mendapatkan upah dari negara setiap bulannya, maka tidak mengapa mengambil upah tersebut. Hal ini juga tidak mengurangi keimanan dan ketauhidannya, karena semula dia tidak beramal untuk mendapatkan dunia. Sejak awal dia sudah berniat untuk beramal sholeh dan menyokong agama ini, sedangkan upah yang dia dapatkan adalah di balik itu semua yang nantinya akan menolong dia dalam beramal dan beragama. (Lihat Al Qoulus Sadiid, 132-133)
Adapun amalan yang seseorang lakukan untuk mendapatkan balasan dunia ada dua macam:
Pertama, Amalan yang tidak disebutkan di dalamnya balasan dunia. Namun seseorang melakukan amalan tersebut untuk mengharapkan balasan dunia.
Maka semacam ini tidak diperbolehkan bahkan termasuk kesyirikan. Misalnya: Seseorang melaksanakan shalat Tahajud. Dia berniat dalam hatinya bahwa pasti dengan melakukan shalat malam ini, anaknya yang akan lahir nanti adalah laki-laki. Ini tidak dibolehkan karena tidak ada satu dalil pun yang menyebutkan bahwa dengan melakukan shalat Tahajud akan mendapatkan anak laki-laki.
Kedua, Amalan yang disebutkan di dalamnya balasan dunia. Contohnya adalah silaturrahim dan berbakti kepada kedua orang tua.
Semisal silaturrahim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Barangsiapa senang untuk dilapangkan rizki dan dipanjangkan umurnya, maka jalinlah tali silaturrahim (hubungan antar kerabat).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika seseorang melakukan amalan semacam ini, namun hanya ingin mengharapkan balasan dunia saja dan tidak mengharapkan balasan akhirat, maka orang yang melakukannya telah terjatuh dalam kesyirikan. Namun, jika dia melakukannya tetap mengharapkan balasan akhirat dan dunia sekaligus, juga dia melakukannya dengan ikhlash, maka ini tidak mengapa dan balasan dunia adalah sebagai tambahan nikmat untuknya karena syari’at telah menunjukkan adanya balasan dunia dalam amalan ini.
Perbedaan dan Kesamaan Beramal untuk Meraih Dunia dengan Riya’
Syaikh Muhammad At Tamimi – rahimahullah – membawakan pembahasan ini dalam Kitab Tauhid pada Bab “Termasuk kesyirikan, seseorang beribadah untuk mencari dunia”. Beliau –rahimahullah- membawakannya setelah membahas riya’. Kenapa demikian?
Riya’ dan beribadah untuk mencari dunia, keduanya sama-sama adalah amalan hati dan terlihat begitu samar karena tidak nampak di hadapan orang banyak. Namun, Keduanya termasuk amalan kepada selain Allah Ta’ala. Ini berarti keduanya termasuk kesyirikan yaitu syirik khofi (syirik yang samar). Keduanya memiliki peredaan. Riya’ adalah beramal agar dilihat oleh orang lain dan ingin tenar dengan amalannya. Sedangkan beramal untuk tujuan dunia adalah banyak melakukan amalan seperti shalat, puasa, sedekah dan amalan sholeh lainnya dengan tujuan untuk mendapatkan balasan segera di dunia semacam mendapat rizki yang lancar dan lainnya.
Tetapi perlu diketahui, para ulama mengatakan bahwa amalan seseorang untuk mencari dunia lebih nampak hasilnya daripada riya’. Alasannya, kalau seseorang melakukan amalan dengan riya’, maka jelas dia tidak mendapatkan apa-apa. Namun, untuk amalan yang kedua, dia akan peroleh kemanfaatan di dunia. Akan tetapi, keduanya tetap saja termasuk amalan yang membuat seseorang merugi di hadapan Allah Ta’ala. Keduanya sama-sama bernilai syirik dalam niat maupun tujuan. Jadi kedua amalan ini memiliki kesamaan dari satu sisi dan memiliki perbedaan dari sisi yang lain.
Kenapa Engkau Tidak Ikhlash Saja dalam Beramal?
Sebenarnya jika seseorang memurnikan amalannya hanya untuk mengharap wajah Allah dan ikhlash kepada-Nya niscaya dunia pun akan menghampirinya tanpa mesti dia cari-cari. Namun, jika seseorang mencari-cari dunia dan dunia yang selalu menjadi tujuannya dalam beramal, memang benar dia akan mendapatkan dunia tetapi sekadar yang Allah takdirkan saja. Ingatlah ini … !!
Semoga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa menjadi renungan bagi kita semua, 
“Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai akhirat, maka Allah akan memberikan kecukupan dalam hatinya, Dia akan menyatukan keinginannya yang tercerai berai, dunia pun akan dia peroleh dan tunduk hina padanya. Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai dunia, maka Allah akan menjadikan dia tidak pernah merasa cukup, akan mencerai beraikan keinginannya, dunia pun tidak dia peroleh kecuali yang telah ditetapkan baginya.”  
(HR. Tirmidzi no. 2465. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat penjelasan hadits ini di Tuhfatul Ahwadzi, 7/139)
Marilah – saudaraku -, kita ikhlashkan selalu niat kita ketika kita beramal. Murnikanlah semua amalan hanya untuk menggapai ridho Allah. Janganlah niatkan setiap amalanmu hanya untuk meraih kenikmatan dunia semata. Ikhlaskanlah amalan tersebut pada Allah, niscaya dunia juga akan engkau raih. Yakinlah hal ini …!!
Semoga Allah selalu memperbaiki aqidah dan setiap amalan kaum muslimin. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah kepada mereka ke jalan yang lurus.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala wa alihi wa shohbihi wa sallam.
Rujukan:
1. Al Qoulus Sadiid Syarh Kitab At Tauhid, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Wizarotusy syu’un Al Islamiyyah wal Awqof wad Da’wah wal Irsyad-Al Mamlakah Al ‘Arobiyah As Su’udiyah.
2. I’aanatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan.
3. At Tamhid li Syarhi Kitabit Tauhid, Sholeh bin ‘Abdul Aziz Alu Syaikh, Daar At Tauhid.
4. Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir Al Qurosyi Ad Dimasyqi, Tahqiq: Saami bin Muhammad Salamah, Dar Thobi’ah Lin Nasyr wat Tauzi’.
5. Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jaami’it Tirmidzi, Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdirrahim Al Mubarakfuriy Abul ‘Alaa, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut.
Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal (http://rumaysho.wordpress.com)
Judul Asli: Banyak Shalat, Puasa dan Sedekah Hanya Untuk Memperlancar Rizki
Sumber:

Adab-adab Kepada Allah dan Rasul-Nya

Sesungguhnya adab yang paling agung, yang mencakup seluruh adab Islami, baik perkataan maupun perbuatan, yang menatanya, mendorong kepadanya, merumuskan langkah-langkah dan perinciannya adalah adab kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena pada hakikatnya, itulah agama secara menyeluruh. Oleh karena itu, saya menjadikannya sebagai pembuka pasal-pasal buku ini agar menjadi pedoman dan pendorong kepadanya.

Hal itu bagi mereka yang memahami, mengerti, dan mengamalkannya secara sempurna. Kemudian, saya menyebutkan pada akhir setiap adab kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta beberapa buah hasil dan pengaruh yang terpuji yang mendorong untuk mengamalkan adab tersebut.

Di antara adab-adab kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:

1. Menujukan Ibadah Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala Semata

Tidak diragukan lagi bahwasanya menujukan ibadah hanya kepada-Nya merupakan adab teragung kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Ini juga merupakan buah teragung dari keimanan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, ma’rifah kepada-Nya, iman kepada rububiyyah-Nya, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dan pengkhususan ibadah hanya kepada-Nya karena Dia adalah pemilik, pengatur, dan penguasa. Dialah yang telah menciptakan segenap makhluk dan melimpahkan rizki kepada mereka, tidak ada sekutu bagi-Nya.

Oleh karena itu hanya Dialah dzat yang berhak untuk disembah. Tidak boleh memalingkan satu bentuk ibadah pun kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, siapa pun dia, baik Malaikat yang didekatkan, seorang Nabi yang diutus, wali yang shalih, batu, pohon, binatang, atau yang selainnya.
Ini menjelaskan bathilnya perbuatan sebagian orang yang menisbatkan dirinya kepada Islam dari para penyembah kubur, tempat-tempat keramat, dan kuburan orang-orang shalih. Orang-orang itu mengharapkan dari mereka untuk mendatangkan manfaat, menolak mudharat, serta mengabulkan berbagai macam hajat. Padahal orang mati yang berada di kubur tidak memiliki kemampuan untuk mendatangkan manfaat dan menolak mudharat bagi diri mereka sendiri, apalagi bagi orang lain.
Ini merupakan kesyirikan yang sangat besar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sangat disayangkan, musibah ini telah merata di seluruh negeri kaum Muslimin sehingga kedustaan dan khurafat merupakan perkara yang tidak dapat dipungkiri. Di balik kedok inilah, harta manusia dimakan secara bathil dan kemungkaran merajalela. Laa haula walaa quwwata illa billah.

Celakalah orang yang telah dikotori oleh akalnya yang sakit hingga meyakini bahwasanya makhluk ini memiliki kemampuan untuk mendatangkan manfaat dan mudharat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala, dan kamu membuat dusta. Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rizki kepadamu; maka mintalah rizki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya kamu akan dikembalikan.” (QS Al-Ankabut: 17)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, yang artinya: “…Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari Kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (QS. Faathir: 13-14).

Ayat-ayat dalam hal ini sangat banyak. Adab ini memiliki atsar yang agung dan terpuji, di antaranya:

a). Keikhlasan ibadah hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala semata; Sedikit ataupun banyak, besar maupun kecil.
Oleh karena itu, seorang hamba yang taat beribadah dan ikhlas tidaklah melihat di hadapannya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia menghadapkan dan mengkhususkan ibadah hanya kepada-Nya. Dia menjauhi seluruh perkara yang bertentangan dengan keikhlasan, atau yang dapat mengurangi kesempurnaannya.

Keikhlasan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja merupakan pokok agama ini dan rukun-rukun yang paling kuat, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.” (QS. Az-Zumar: 11)

“Padahal, mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5).

Ayat yang semakna dengan ini sangat banyak.

b). Jauh dari riya’.
Di dalam perkataan maupun perbuatan. Ini merupakan kelanjutan dari pengaruh sebelumnya. Sesungguhnya seorang yang benar keikhlasan di dalam hatinya, maka seluruh perkataan dan perbuatannya akan bersumber dari keikhlasan ini. Yang ia lihat dengan mata hati dan bashirah (akal) hanyalah Rabb-nya Subhanahu wa Ta’ala. Maka terhapuslah riya’ dalam ucapan dan perbuatannya.
Dia tidak lagi mencari keuntungan dunia atau keridhaan salah seorang dari makhluk di balik itu semua. Bahkan, ia semata-mata mencari keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengharap dapat melihat wajah-Nya yang mulia. Jika niat seorang hamba telah ikhlas, begitu juga amal dan kehendaknya bersih dari riya’ dan keinginan duniawi, maka yang demikian itu merupakan sebab terbesar untuk meraih kebaikan agama maupun dunia.

c). Memerangi segala bentuk syirik dan riya’.
Karena seorang Mukmin melihat bahwasanya dia harus memerangi segala bentuk kesyirikan, kebohongan, dan khurafat dengan seluruh kemampuan yang dia miliki. Selain itu, menjelaskan kepada manusia tentang kesesatan dan kebathilannya, serta melawannya baik dengan lisan, tangan, maupun harta hingga tidak ada lagi fitnah dan agama seluruhnya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

2. Mengagungkan dan Memuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala

Seorang yang beriman mengagungkan dan memuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika menyaksikan kekuasaan-Nya terhadap alam semesta, melihat keagungan rabbaniyyah di sekitarnya berupa segenap makhluk dan segala yang ada, yang menunjukkan keagungan al-Khaliq ‘Azza wa Jalla dan kekuasaan-Nya yang tiada batas.Tatkala seseorang mengimani bahwasanya Allah memiliki sifat-sifat yang sempurna dan bersih dari segala kekurangan, serta bahwasanya makhluk tidak meliputi ilmu-Nya dan tidak juga mengetahui hakikatnya.

Ketika dia menyaksikan semua itu dan mengimaninya, niscaya hatinya akan dipenuhi rasa pengagungan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Pengagungan yang tiada bandingnya dan segenap makhluk terasa kecil dalam hatinya. Dia tidak melihat sesuatu yang memiliki keagungan dan kemuliaan yang hakiki kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Pengagungan ini akan membuahkan beberapa perkara:
  • a). Bersegera untuk melakukan ketaatan dan amal kebaikan.
  • b). Menjauhi segala bentuk maksiat, kejelekan, dan kerusakan.
  • c). Tidak merasa takut kepada makhluk dalam membela hak Allah dan menegakkan kalimat haq, baik kepada orang yang dia harapkan maupun yang dia takuti.

3. Takut Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala

Takut kepada Allah merupakan adab tertinggi kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasa takut ini muncul dari ma’rifah (mengenal) kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, kekuasaan-Nya terhadap makhluk, keagungan kekuasaan-Nya, kerasnya siksaan, dan hukuman Allah terhadap musuh-musuh-Nya, musuh para Rasul, dan wali-wali-Nya serta adzab yang diturunkan kepada mereka di dunia.

Rasa takut juga muncul dengan memperhatikan ayat-ayat ancaman dan memikirkan apa yang telah disediakan oleh Allah bagi musuh-musuh-Nya berupa adzab di dalam kubur dan di Neraka Jahannam. Begitu pula ketika seorang Muslim meyakini bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala berkuasa untuk mengadzab seluruh makhluk jika Dia menghendaki.

Tidak ada yang dapat menolak keputusan-Nya dan tidak dapat dibayangkan dahsyatnya. Jika seorang Muslim mengimani semua itu niscaya akan membuahkan rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala; hingga rasa takut ini akan mencegah seorang Muslim dari perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mencegahnya untuk melakukan perkara yang Dia benci, sebagaimana firman-Nya, yang artinya: “…Demikianlah Allah mempertakuti hamba-hamba-Nya dengan adzab itu. Maka bertakwalah kepada-Ku, hai hamba-hamba-Ku.” (QS. Az-Zumar: 16)

“Dan demikianlah Kami menurunkan al-Qur’an dalam bahasa Arab, dan Kami telah menerangkan dengan berulang kali di dalamnya sebagian ancaman, agar mereka bertakwa atau (agar) al-Qur’an itu menimbulkan pengajaran bagi mereka.” (QS.Thaahaa: 113)

Rasa takut ini merupakan sesuatu yang sangat bermanfaat bagi seorang Muslim, terlebih lagi semasa dia muda dan kuat. Maka sudah selayaknya rasa takut ini senantiasa dimiliki dan tidak terlepas dari seorang Muslim di segala kondisi dan sepanjang umurnya.

Seorang Mukmin yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan dapat memetik faidah yang sangat besar. Tidak adanya rasa takut kepada-Nya merupakan adab yang buruk dan dapat mendorong seseorang jatuh ke dalam maksiat kepada-Nya, melangar hukum-hukum-Nya, serta mengerjakan apa yang diharamkan Allah ‘Azza wa Jalla.

Rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membuahkan banyak hal, di antaranya:
  • a). Meninggalkan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhinya.
  • b). Menunaikan semua kewajiban dan amal ketaatan, serta bersegera melakukannya dan selalu menjaganya.
  • c). Selalu bergantung kepada Allah Ta’ala. Sebab, tidak ada tempat lari dari-Nya kecuali kepada-Nya dan tidak ada yang dapat menyelamatkan dari adzab-Nya kecuali Dia semata.
  • d). Ketetapan hati di hadapan para makhluk dan tidak merasa takut kepada mereka. Sebab, hati yang dipenuhi rasa takut kepada Allah Ta’ala tidak akan takut kepada selain-Nya. Bahkan, seluruh makhluk takut kepadanya. Sampai-sampai engkau mendapati para pendosa takut kepada seorang yang shalih. Sebaliknya, dia tidak takut kepada mereka.

4. Mencintai Allah dan Rasul-Nya Lebih daripada yang Lainnya

Mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi yang lainnya merupakan adab yang sangat agung kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Asal dari cinta ini adalah ketika seorang Mukmin menyaksikan dengan mata hati dan bashirah-nya keagungan kekuasaan Allah Ta’ala dan hikmah-Nya, juga ilmu dan keagungan-Nya; ketika dia mengimani sifat-sifat Allah Ta’ala yg indah dan sempurna, yang bersih dari segala aib dan cela; ketika dia melihat dengan mata bashirah-nya sifat-sifat Allah yang mulia dan sempurna; dan melihat kesantunan Allah Ta’ala yang tidak menyegerakan adzab dan hukuman kepada para pelaku maksiat, bahkan Dia menangguhkan dan sabar terhadapnya. Di samping itu, ketika ia menyaksikan rahmat Allah yang Maha Luas, yaitu Dia melimpahkan rizki kepada para hamba-Nya, baik yang Mukmin maupun yang kafir, dan tidak memutus limpahan rizki itu disebabkan dosa-dosa mereka. Sesungguhnya Allah adalah pemilik keutamaan yang agung atas manusia dan pemilik segala nikmat dalam kehidupan mereka, sebagaimana firman-Nya, yang artinya: “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)…” (QS. An-Nahl: 53)

Dialah yang telah menciptakan manusia dari ketiadaan sebagaimana Dialah yang mengatur segala urusan manusia serta menetapkan syari’at yang membawa kemaslahatan bagi agama dan dunia mereka. Ketika seorang Mukmin menyaksikan itu semua, niscaya hatinya akan dipenuhi oleh rasa cinta kepada Allah. Cinta yang tiada batasnya. Cinta yang membawa pemiliknya untuk mentaati Allah dengan ketaatan yang mutlak. Pemilik cinta itu akan selalu berusaha untuk meraih keridahaan-Nya dengan melakukan segala yang Allah ridhai dan meninggalkan segala perkara yang Dia benci.

Sudah seharusnya cinta ini mengalahkan seluruh cinta yang lain dan menjadi asal dari semua cinta sehingga seluruh cinta kepada selain Allah merupakan cabang darinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya:“…Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah…” (QS. Al-Baqarah: 165)

Sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau adalah manusia yang paling banyak kebaikannya. Beliau datang untuk menyampaikan syari’at dan agama Allah Ta’ala, serta mengajak kepada jalan yang lurus, yakni jalan menuju surga, dan kepada seluruh kebaikan. Di samping itu, beliau memperingatkan manusia dari jalan yang buruk, yakni Neraka. Beliau telah mengerahkan segala daya untuk itu dan upaya beliau tidak kurang dalam menyampaikan kebenaran. Setiap Muslim di alam ini merupakan hasil dakwah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itulah, sudah selayaknya bagi seorang Muslim untuk mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih daripada selainnya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits, yang artinya: “Tiga perkara yang dengannya seseorang dapat merasakan manisnya iman: Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selainnya…” (HR. Bukhari no.16-21 dan Muslim no. 43 dari Anas radhiyallahu ‘anhu).

Hendaknya pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi makhluk yang paling dicintai oleh seorang Muslim, sebagaimana sabda beliau, yang artinya: “Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga aku lebih ia cintai daripada orang tuanya, anaknya, dan manusia seluruhnya.” (HR. Bukhari no. 15 dan Muslim no. 44 dari Anas radhiyallahu ‘anhu)

Maka jika seorang Mukmin menyaksikan itu semua, mengimaninya, dan mengakuinya dalam hati, niscaya hatinya akan dipenuhi rasa cinta kepada Allah Ta’ala dan cinta kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Cinta yang tidak tertandingi dan tersaingi oleh cinta yang lain, sebagaimana firman Allah Ta’ala tentang orang-orang yang beriman: “…Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah…” (QS. Al-Baqarah: 165)

Maka dari itu, rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi cintanya kepada istri dan anaknya, bahkan melebihi cintanya kepada diri sendiri. Sampai-sampai, seluruh cintanya kepada yang lain merupakan cabang dari cinta kepada Allah. Tidaklah ia mencintainya kecuali “billah” (karena Allah), “lillah” (untuk Allah), dan “fillah” (di jalan Allah). Cinta inilah yang menjadikan ia mencintai orang-orang shalih karena mereka adalah orang-orang yang mencintai Allah.

Selain itu, menjadikan ia cinta kepada amal-amal shalih karena itu merupakan suatu yang dicintai Allah Ta’ala dan dapat menolongnya untuk mencintai-Nya. Dengan demikian, cinta kepada Allah Ta’ala merupakan tanggung jawab setiap hamba, yang mempengaruhi seluruh cintanya serta menjadi sumber semua ucapan dan perbuatannya.

Sudah selayaknya bagi seorang hamba mengetahui bahwasanya ia tidak akan dapat mencintai Allah kecuali jika didahului oleh cinta Allah kepada dirinya. Karena sesungguhnya jika Allah Ta’ala mencintai seorang hamba, niscaya Dia akan memberikan taufik kepadanya unuk mencintai-Nya dan membantu hamba tersebut untuk mendapatkannya. Jika seorang hamba bersungguh-sungguh untuk mendapatkan cinta ini, maka akan bertambahlah cinta Allah kepadanya, sebagaimana firman-Nya, yang artinya: “…Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya…” (QS. Al-Maa-idah: 54)

Allah Subhanahu wa Ta’ala mendahulukan penyebutan cinta-Nya kepada mereka sebelum cinta mereka kepada Allah. Meskipun huruf “wau” tidak selalu memberikan arti tertib, namun urutan yang disebutkan dalam ayat ini mengisyaratkan kepada apa yang kami sebutkan. Allahu a’lam.

Bagaimana tidak cinta kepada Allah Ta’ala dalam hati seorang Mukmin dapat mengalahkan cinta kepada selain-Nya? Bagaimana tidak hatinya dipenuhi dengan cinta itu hingga menyibukkannya dari mencintai selain-Nya? Allah Ta’ala adalah dzat yang paling banyak berbuat kebaikan dan memberikan nikmat kepada manusia, paling pemaaf terhadap kesalahan-kesalahan mereka, dan paling santun terhadap kejahilan mereka. Dia telah memuliakan manusia atas semua makhluk. Dialah yang menciptakan mereka dari ketiadaan dan melimpahkan kepada mereka berbagai macam kenikmatan. Bukankah semua itu akan menumbuhkan rasa cinta yang sempurna, yang khusus kepada Allah Ta’ala dalam hati seorang Mukmin?

Bagaimana pula tidak cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi cintanya kepada semua makhluk, sedangkan seorang Muslim mengetahui keutamaan beliau, cinta Allah kepada beliau, dan kebaikan beliau kepada segenap makhluk, hingga menjadikan Rasulullah sebagai orang yang paling ia cintai?

Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya ini akan membuahkan hasil yang sangat banyak, di antaranya:

a) Seorang Mukmin hanya akan mencintai orang-orang shalih
Karena mereka adalah orang-orang yang dicintai oleh Allah Ta’ala.

b). Seorang Mukmin akan mencintai amal-amal shalih berupa amal kebaikan, kebajikan, dan ketaatan.
Sebab, semua itu dicintai oleh Allah dan dapat menolongnya untuk meraih cinta Allah Ta’ala.

c). Seorang Mukmin akan membenci segala yang dibenci oleh Allah Ta’ala
Yakni orang-orang kafir, munafik, para pelaku maksiat, dan amal-amal keburukan. Sebab, Allah membenci semua itu dan membenci penganutnya. Sesungguhnya seorang yang mencintai sesuatu tentu hasratnya akan mengikuti keridhaan yang dicintainya.

d). Bersegera melaksanakan segala kewajiban karena itu adalah perintah Allah Ta’ala, tidak bermalas-malasan mengerjakannya.
Kemudian, menambahnya dengan memperbanyak amalan-amalan nafilah (sunnah) karena semua itu akan menolongnya untuk meraih cinta Allah, sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits qudsi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, artinya: “Barang siapa memerangi wali-Ku, maka Aku mengumumkan perang terhadapnya. Tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai daripada perkara-perkara yang telah Aku wajibkan atasnya. Hambaku terus-menerus mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan nafilah (sunnah) hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, niscaya Aku akan menjadi pendengaran yang dengannya ia mendengar, penglihatan yang dengannya ia melihat, tangan yang dengannya ia bertindak, dan kaki yang dengannya ia melangkah.” (HR. Bukhari no. 6502 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

e). Menjauhi kemaksiatan dan segala perkara yang mendatangkan kemarahan Allah Ta’ala karena semua itu dibenci oleh-Nya.
Orang yang benar-benar mencintai Allah tidak mungkin mendurhakai-Nya atau berbuat sesuatu yang dapat mendatangkan kemurkaan-Nya. Sebaliknya, ia akan selalu melakukan apa yang dicintai oleh Allah dan meninggalkan apa yang Dia benci. Sungguh bagus ucapan seseorang yang mengatakan:

“Engkau mendurhakai Allah, sementara engkau menampakkan kecintaan kepada-Nya.
Ini adalah suatu permisalan yang buruk.
Seandainya tulus cintamu, niscaya engkau akan mentaatinya.
Sesungguhnya orang yang mencintai pasti akan taat kepada yang dicintainya.”

f). Bersemangat untuk mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Berpegang teguh dengannya dan tidak meninggalkan atau menjauhinya. Sebab, hal itu merupakan bukti ketulusan cinta kepada Allah Ta’ala dan cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta menjadi penolong untuk mendapatkan cinta-Nya, sebagaimana firman Allah Ta’ala, yang artinya: “Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’…” (QS. Ali ‘Imran: 31)

Selain itu, berusaha menghindari serta berhati-hati dari menyelisihi sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau terjatuh pada perkara yang menyelisihinya.

g). Banyak berdzikir kepada Allah Ta’ala. Sebab, barang siapa yang mencintai sesuatu dan cintanya itu bertambah, niscaya dia akan banyak mengingatnya.
Tidak akan hilang dari ingatannya meskipun hanya sekejap. Maka jika telah sempurna rasa cinta kepada Allah dalam hati seorang Mukmin, niscaya ia akan terus-menerus berdzikir kepada Allah Ta’ala dengan hati maupun lisannya. Dia akan memperbanyak dzikir kepada-Nya dan selalu melakukannya hingga tidak pernah terlepas darinya. Rasa cinta kepada Allah Ta’ala telah menguasai seluruh anggota badannya. Dzikir ini merupakan sebab terbesar untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, perkara yang sangat bermanfaat bagi seorang hamba Mukmin, dan untuk keistiqamahan seluruh anggota badannya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)

h). Memperbanyak shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hal itu merupakan buah dari cinta yang dalam kepada Nabi dalam hati seorang Mukmin dan buah dari ma’rifah seorang Mukmin terhadap keutamaan bershalawat kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan datang penjelasan tentang hal ini pada adab ketujuh belas, insya Allah.

i). Penjagaan seorang Mukmin terhadap perintah-perintah Allah Ta’ala pada anggota badannya.
Yaitu dengan selalu bersemangat melakukan ketaatan dan menjauhi segala bentuk maksiat, hingga seluruh gerak ataupun diamnya senantiasa disertai rasa cinta kepada Allah Ta’ala. Tidaklah bergerak anggota badannya kecuali untuk sesuatu yang diridhai Allah. Hal ini dibenarkan oleh firman Allah Ta’ala dalam sebuah hadits qudsi, yang artinya: “Maka jika Aku telah mencintainya, niscaya Aku akan menjadi pendengaran yang dengannya ia mendengar, penglihatan yang dengannya ia melihat, tangannya yang dengannya ia bertindak, dan kaki yang dengannya ia melangkah. Jika ia meminta, niscaya akan Aku kabulkan dan jika ia meminta perlindungan, niscaya akan Aku lindungi.” (HR. Bukhari no. 6502 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Dalam riwayat lain disebutkan: “Dengan-Ku ia mendengar, dengan-Ku ia melihat, dan dengan-Ku ia bertindak…”

Maksudnya bahwa seluruh anggota badan tidak bergerak kecuali atas dasar cinta kepada Allah Ta’ala. Tidaklah ia berusaha kecuali dalam perkara yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa amal-amal kebaikan, kebajikan, dan ketaatan.

j). Penjagaan Allah terhadap hamba yang Mukmin. Sebab, seseorang yang mencintai-Nya dengan sebenar-benar cinta, niscaya Allah akan mencintainya.
Barang siapa yang dicintai Allah ‘Azza wa Jalla, niscaya Dia akan menjaganya dari segala keburukan. Barang siapa yang menjaga perintah dan larangan Allah, niscaya Allah akan menjaganya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya: “Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau dapati Dia di hadapanmu.” (HR. Ahmad, I/306; at-Tirmidzi no. 2516 dan dia berkata: “Hasan shahih”; al-Hakim, III/541 dan lain-lain dengan lafazh yang hamper sama dari Ibnu ‘Abbas. Lihat kitab Shahiihul Jaami’ no. 7957).

Dalam riwayat lain: “Di depanmu…”

k). Allah akan mengabulkan permohonan hamba-Nya yang Mukmin dan memberikan apa yang ia minta.
Ini merupakan buah dari cinta Allah Ta’ala kepada hamba-Nya, yang merupakan konsekuensi dari cinta hamba kepada Rabbnya. Yakni, Dia akan mengabulkan apa yang ia minta, melindunginya dari apa yang ia minta perlindungan darinya, dan menjauhkannya dari perkara yang ia benci – kecuali yang memang telah Allah takdirkan menimpanya. Hal ini dibenarkan oleh firman Allah Ta’ala dalam sebuah hadits qudsi, yang artinya: “Jika ia meminta kepada-Ku, niscaya Aku beri dan jika ia meminta perlindungan kepada-Ku, niscaya Aku lindungi.” (Telah berlalu takhrij-nya).

Semua itu tidak akan diperoleh kecuali setelah seorang hamba mencintai Allah Ta’ala..

5. Bertawakkal Hanya Kepada Allah Ta’ala Semata

Di samping bertawakkal kepada Allah semata, hendaknya pula menyerahkan seluruh perkara kepada Allah dan selalu bergantung kepada-Nya. Ini merupakan buah dari ma’rifah kepada Allah Ta’ala, iman kepada-Nya, kepada kekuasaan-Nya yang agung dan Mahaluas, kekuatan-Nya, hikmah-Nya, dan ilmu-Nya yang meliputi setiap sesuatu. Tawakkal adalah buah dari pengetahuannya bahwa Allah Ta’ala senantiasa membela orang-orang yang beriman, serta keyakinan bahwasanya jika Allah Ta’ala menghendaki sesuatu, pasti akan terlaksana. Tidak ada satu pun yang dapat menghalanginya. Bahwasanya Dia berkuasa menjaga hamba-Nya dari segala perkara yang ia benci serta makar para musuh Allah dari kalangan syaitan, manusia maupun jin.

Berangkat dari situlah seorang hamba Mukmin hanya bertawakkal kepada Allah Ta’ala, tidak bertawakkal kepada selain-Nya, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “…Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. Al-Maa-idah: 23)

Tawakkal hanya kepada Allah ini akan memberikan pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan seorang Mukmin, di antaranya:

a). Perlindungan Allah terhadap hamba-Nya yang Mukmin dengan menjaganya dari keburukan manusia maupun jin, serta dari seluruh keburukan.
Ssebagaimana firman Allah Ta’ala: “…Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya…” (QS. Ath-Thalaq: 3)

Maka dari itu, barang siapa yang membaguskan tawakkal kepada Allah, niscaya Dia akan menjaganya dari setiap keburukan. ’Umar ibnul Khaththab pernah berkata: “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjaganya. Barang siapa bertawakkal kepada-Nya, niscaya Dia akan mencukupinya. Barang siapa memberi pinjaman kepada-Nya, niscaya Dia akan membalasnya. Barang siapa bersyukur kepada-Nya, niscaya Dia akan menambahnya.”

b). Kekuatan hati seorang Mukmin
Yaitu ia berani menyampaikan kalimat yang haq, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, berdakwah kepada Allah, melaksanakan semua perintah Allah Ta’ala, dan tidak takut terhadap celaan orang yang mencela. Dia tidak takut kepada siapa pun dalam membela hak-hak Allah ’Azza wa Jalla. Sebab, ia mengetahui bahwasanya tidak ada seorang pun yang mampu mendatangkan manfaat ataupun mudharat kecuali atas izin Allah ’Azza wa Jalla. Ia pun mengimani bahwasanya ajal dan rizki hanya berada di tangan Allah, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya Ruhul Qudus (Jibril Alaihissalam) membisikkan ke dalam hati sanubariku bahwasanya tidak akan mati suatu jiwa hingga terpenuhi rizki dan ajalnya. Maka bertakwalah kalian kepada Allah, perbaguslah caramu dalam mencari rizki, dan janganlah rizki yang terlambat datangnya itu memaksamu untuk mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah. Sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah tidak akan dapat diperoleh kecuali dengan mentaati-Nya.” (Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, X/27 dan yang lainnya dari Abu Umamah. Lihat kitab Shahiihul Jaami no. 2085)

c). Bersahaja dalam mencari rizki.
Sebab seorang Mukmin mengetahui bahwasanya usaha dalam mencari kenikmatan dunia tidak akan menambah rizki yang telah Allah takdirkan, Allah tulis, dan Allah kehendaki. Demikianlah perintah Nabi, yakni bersahaja dalam kebutuhan hidup di dunia, sebagaimana hadits yang telah lalu.

d). Seorang Mukmin berusaha dengan cara-cara yang disyari’atkan.
Hal itu berlaku dalam seluruh urusan hidupnya. Dia berusaha dengan cara-cara yang disyari’atkan guna memenuhi hajat-hajatnya dan mengejar cita-citanya, dengan menyerahkan semua urusan kepada Allah. Dia menikah untuk mendapatkan keturunan yang shalih, namun dia menyerahkan urusan kepada Allah. Dia bertani dan mengairi sawahnya agar dapat memetik panen dan keuntungan. Meskipun demikian dia tahu bahwasanya segala sesuatu ada di tangan Allah ‘Azza wa Jalla. Dia berobat karena mengharapkan kesembuhan. Dia tahu bahwasanya kesembuhan itu ada di tangan Allah. Tawakkal tidaklah menafikan usaha dengan cara-cara yang disyari’atkan. Sebab, meninggalkan usaha secara total adalah tawakkal semu, bukan tawakkal yang sesungguhnya.

6. Selalu Mengaitkan Diri Kepada Allah ’Azza wa Jalla

Hati seorang Mukmin selalu terikat kepada Rabbnya Subhanahu wa Ta’ala dengan cinta, pengagungan, tawakkal, inabah (taubat), pengharapan, serta rasa takut. Maka ia pergi, bergerak, dan beraktifitas, sementara hatinya terkait kepada Rabbnya Subhanahu wa Ta’ala dan aanggota badannya selalu bersama perintah Allah, mengharap rahmat-Nya, takut terhadap adzab-Nya, serta mengharapkan didatangkannya manfaat dan dijauhkannya dari mudharat. Sebab, dia telah mengetahui dan menyaksikan bukti-bukti yang menunjukkan kekuasaan, keagungan, dan hikmah rabbaniyyah yang sangat agung.

Barang siapa yang selalu mengaitkan hatinya kepada Allah, maka Allah pasti memenuhi semua hajatnya dan melindunginya dalam segala urusan.

7. Tunduk Kepada Allah dan Merasa Butuh Kepada-Nya

Tunduk dan merasa butuh kepada-Nya disebabkan seorang Mukmin menyaksikan hikmah Allah Ta’ala, kekuatan Allah ‘Azza wa Jalla yang tidak dapat dilawan, fenomena keagungan Allah Tabaaraka wa Ta’ala, tanda-tanda ketidakbutuhan-Nya kepada makhluk-Nya, qayyumiyyah (berdiri sendiri)-Nya dalam kerajaan-Nya, dan keagungan-Nya yang Mahabesar. Kemudian, ia kembali dan memikirkan keadaan dirinya sendiri serta seluruh makhluk Allah ’Azza wa Jalla. Ia pun mendapati semua bertolak belakang dan berkebalikan dengan Allah. Mereka semua hina, lemah, fakir, banyak kekurangan, dan sangat membutuhkan Allah ’Azza wa Jalla dalam seluruh urusan kehidupan mereka. Mereka tidak dapat terlepas dari Allah sedikit pun. Telah ditetapkan pula atas mereka kefanaan.
Maka jika seorang Mukmin merasakan hal itu pada dirinya dan alam sekitarnya, akan bertambahlah ketundukannya kepada Allah, kerendahan, ketawadhu’an, rasa butuh dan berlindung kepada-Nya, untuk menutupi segala kerendahan dan kekurangannya, mengampuni kesalahannya, dan memperbaiki cacatnya. Jika demikian, ketundukan dan rasa membutuhkan Allah ini akan membuahkan pengaruh yang sangat banyak, di antaranya:

a). Ketawadhu’an hamba di hadapan seluruh manusia: tidak sombong, takabur, dan membanggakan diri sendiri.
Sebaliknya, ia tawadhu’ di hadapan makhluk sebagi buah dari ketundukannya kepada Allah Ta’ala. Sikap tawadhu’ ini merupakan sebab terbesar untuk memperbaiki hubungan seorang hamba dengan orang lain, sebagimana sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla mewahyukan kepadaku agar kalian bertawadhu’ sehingga seseorang tidak menyombongkan diri dan berbuat aniaya terhadap orang lain.” (HR. Mslim no. 2865 dari ‘Iyadh bin Himar al-Mujasyi’i)

b). Mengaitkan hati kepada Allah ’Azza wa Jalla dalam setiap urusan
Yaitu dengan menyerahkan setiap urusan kepada-Nya dan menggantungkan semua hajat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

c). Bertambahnya keimanan seorang Mukmin, karena apa yang disebutkan di atas merupakan bentuk ibadah yang sangat agung.
Maka dari itu, tatkala seorang manusia telah menyempurnakan seluruh perkara ini, akan bertambahlah imannya dan semakin tinggi kedudukannya di sisi Allah Ta’ala.

8. Berlindung Kepada Allah ’Azza wa Jalla

Berlindung kepada Allah ‘Azza wa Jalla merupakan buah dari apa yang disebutkan sebelumnya. Apabila telah tertanam dalam jiwa seorang hamba bahwasanya Allah Ta’ala adalah pemilik segalanya, di tangan-Nyalah kekuasaan langit dan bumi, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu, maka saat itulah ia akan berlindung kepada Allah ’Azza wa Jalla, kepada Pemilik alam semesta, Pemilik kemuliaan dan kekuasaan.

Ia akan mendatangi pintu-Nya, mengakui semua nikmat yang tellah Allah karuniakan kepadanya, serta mengakui kelemahan dan kekurangan dirinya dengan penuh pengharapan dan rasa takut kepada-Nya. Ia mengetahui bahwasanya tidak ada tempat lari dari-Nya kecuali kepada-Nya. Tidak ada yang bisa terlepas dari perhitungan Allah kecuali orang-orang yang dirahmati-Nya. Ia mengharapkan pertolongan dan kekuatan dari-Nya, khususnya pada saat tertimpa musibah dan bencana. Selain itu, ia meninggalkan segala sesuatu selain Allah, baik manusia, batu, Malaikat, maupun wali yang shalih, dan menyandarkan seluruh hajatnya kepada Allah semata. Sebab, ia mengetahui bahwasanya tidak ada yang memiliki sesuatu pun di alam semesta ini kecuali Allah ’Azza wa Jalla. Sikap kembali dan bergantung kepada Allah ini inti dan hakikat ’ubudiyyah (peribadatan).

9. Malu Kepada Allah ’Azza wa Jalla

Malu kepada Allah Ta’ala merupakan adab yang sangat agung. Sesungguhnya seorang Mukmin jika telah tertanam dalam jiwanya bahwasanya Allah ’Azza wa Jalla mendengar setiap ucapan, melihat setiap amal, mengetahui seluruh perkara baik yang tersembunyi maupun yang nyata, selalu mengawasinya, mengetahui seluruh keadaannya, dan mengawasi setiap apa yang dilakukan masing-masing jiwa, maka ketika itu ia akan merasa malu sebab Allah melihatnya mengucapkan kata-kata yang buruk, melakukan perbuatan jelek, atau berusaha dalam berbuat kerusakan.

Rasa malu ini akan selalu ada dalam setiap keadaannya. Tidak pernah terlepas atau terpisah darinya selamanya, terlebih lagi saat ia bersendiri. Jika ia jauh dari pandangan manusia dan berdiam seorang diri, maka ia merasakan kebersamaan Allah Ta’ala dengannya. Dengan demikian, ia malu karena Allah melihatnya melakukan kemaksiatan. Rasa malu ini merupakan suatu hal yang sangat bermanfaat bagi seorang hamba dan memiliki pengaruh yang sangat besar, di antaranya:

a). Bersegera melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan.
Hal itu dilakukan karena malu jika Allah Ta’ala melihat hamba-Nya yang Mukmin meninggalkan suatu perintah atau melakukan suatu larangan. Sesungguhnya seorang Mukmin malu jika Allah melihatnya dalam keadaan seperti itu.

b). Malu Allah kepada hamba.
Sesungguhnya balasan itu sesuai dengan amal. Barang siapa malu kepada Allah untuk berbuat maksiat, niscaya Allah Ta’ala akan malu mengadzabnya pada hari kiamat. Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda tentang tiga orang yang berada dalam sebuah majelis ilmu: “Adapun salah seorang dari mereka kembali kepada Allah ’Azza wa Jalla, maka Allah pun menyambutnya. Seorang yang lain malu kepada Allah, maka Allah pun malu kepadanya. Sementara yang lain lagi berpaling, maka Allah pun berpaling darinya.” (HR. Bukhari no. 66 dan Muslim no. 2176 dari Abu Waqid al-Laitsi)

c). Menanamkan pada diri seorang Mukmin rasa malu kepada makhluk.
Sesungguhnya barang siapa yang membiasakan malu kepada Allah, maka rasa malu itu akan menghalanginya untuk melakukan keburukan. Rasa malu itu akan menjadi kebiasaan, tabiat, dan perangainya sehingga menjadikannya malu kepada manusia dan mencegahnya dari perbuatan buruk. Malu adalah bagian dari iman, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam: “Iman itu ada tujuh puluh sekian cabang, dan malu adalah cabang dari iman.” (HR. Muslim no. 35 dari Abu Hurairah. Al-Bukhari juga meriwayatkan hadits yang serupa).

10. Mengamalkan Konsekuensi Makna Asma’ (Nama) dan Sifat Allah ’Azza wa Jalla

Mengamalkan konsekuensi makna Asma’ dan Sifat Allah ’Azza wa Jalla merupakan buah keimanan yang sangat agung. Sebab, seorang yang beriman kepada Allah ’Azza wa Jalla meyakini apa-apa yang ditetapkan bagi Dia dari nama-nama-Nya yang husna (indah) dan sifat-sifat-Nya yang ’ulya (tinggi), dan menetapkan bagi-Nya kesempurnaan maknanya yang hakiki, serta makna-makna ini tertanam dalam jiwanya serta meresap ke dalam hatinya, sehingga keimanan ini akan membuahkan hasil yang nyata dalam perilaku dan muamalahnya, tampak pada anggota badannya, dan tercermin dari perkataan maupun perbuatannya.

Maka barang siapa yang beriman bahwasanya Allah Ta’ala Maha Mendengar niscaya ia tidak akan berbicara dengan ucapan yang mengundang kemurkaan Allah Ta’ala, takut Allah akan mencatatnya dan mengadzabnya karena hal itu. Barang siapa mengimani bahwasanya Allah Maha Melihat, menyaksikan dan mengawasi, niscaya ia akan takut Allah melihatnya berbuat maksiat dan mengadzabnya dengan siksa yang pedih. Maka dari itu, ia pun tercegah dari perbuatan maksiat dan berhenti melakukannya. Barang siapa meyakini bahwasanya Allah Ta’ala Maha Perkasa, niscaya ia tidak akan tunduk kepada selain Allah dan tidak merendahkan diri kecuali kepada-Nya. Barang siapa mengimani bahwasanya Allah ‘Azza wa Jalla berkuasa menahan dan membentangkan rizki, niscaya ia tidak akan meminta kelapangan rizki atau selainnya kecuali kepada-Nya. Barang siapa mengimani bahwasanya Allah Ta’ala Mahakuat lagi Mahaperkasa, niscaya akan semakin bertambah ketundukannya kepada-Nya dan kekuatan seluruh manusia terasa kecil dalam dirinya sehingga ia tidak merasa takut dan lemah di hadapan mereka.

Demikian halnya dengan semua nama-nama dan sifat-sifat Allah yang lain. Kita harus merasakan hakikat maknanya secara sempurna dan mengamalkan seluruh konsekuensinya. Inilah hakikat menghitung nama-nama Allah Ta’ala yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dalam sebuah hadits: “Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu. Barang siapa menghitungnya, niscaya ia masuk surga.” (HR. Bukhari no. 6410, Muslim no. 2677 dan lafazh ini miliknya, dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu).

Menghadirkan makna nama-nama Allah yang husna (indah) dan sifat-sifat-Nya yang ’ulya (tinggi) merupakan suatu hal yang sangat bermanfaat bagi seorang Mukmin. Di samping itu, merupakan sebab terbesar yang meluruskan perilaku maupun anggota badannya sehingga menjadi sebab kebaikan hatinya, anggota badan, serta amal perbuatannya. Ini merupakan realisasi kebenaran tauhid.

11. Merasa Kuat Dengan Allah Ta’ala

Barang siapa beriman kepada Allah Ta’ala; meyakini keagungan kekuasaan, kekuatan, kesempurnaan ilmu, dan hikmah-Nya; menyaksikan dengan mata hatinya fakta-fakta yang menunjukkan kekuatan dan keagungan rabbaniyyah (Allah) pada segala sesuatu; membuktikan keimanan kepada Allah dan mengenal-Nya; kemudian tertanam dalam dirinya hakikat makna nama al-‘Aziz bagi Allah Ta’ala dengan seluruh bentuk kemuliaan yang ditetapkan bagi-Nya; lalu membaca firman Allah Ta’ala: “…Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang Mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (QS. Munaafiquun: 8)

Maka, ketika itulah jiwa seorang Mukmin semakin tinggi. Hal itu mengalahkan seluruh sebab kelemahan dan kehinaan sehingga dirinya menjadi mulia dengan Allah Ta’ala. Tidak dapat dihinakan oleh siapa pun meskipun ia lemah dan fakir. Ia selalu mulia dengan Allah Ta’ala dan tidak menghinakan dirinya di hadapan selain-Nya.

12. Sibuk Mengerjakan Amal Ketaatan (Ibadah) dan Menjauhi Kemaksiatan

Barang siapa mengimani bahwasanya Allah Ta’ala adalah Rabb, satu-satunya dzat yang berhak disembah dan ditaati, dan ia melihat dengan mata hatinya fakta-fakta yang menunjukkan kekuasaan dan keperkasaan Allah; menyaksikan hikmah Allah dalam setiap perintah, larangan, syari’at serta kekuasaan-Nya; mengetahui apa yang telah ditimpakan kepada musuh-musuh Allah Ta’ala dari orang-orang kafir dan para pelaku kemaksiatan di dunia serta apa yang Allah sediakan bagi mereka di akhirat, maka tidak diragukan lagi semua ini akan mendorongnya untuk melakukan ketaatan, menunaikan semua kewajiban, dan menjauhi maksiat baik besar maupun kecil. Semua itu ia tinggalkan karena takut kepada Allah, menghindarkan diri dari adzab-Nya, dan mengharapkan pahala-Nya.

Jika seseorang selalu sibuk melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan, niscaya hal itu akan memberikan pengaruh yang sangat terpuji dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat, di antaranya:

a). Kebaikan dalam kehidupan dunia, yakni dengan berkah rizki dan makanan
Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raaf: 96)

Selain itu, dengan membasmi sebab-sebab kerusakan dan kesengsaraan di dunia dari perkara-perkara yang merusak kehidupan manusia dan menyebabkan terjadinya berbagai macam keburukan dan kerusakan, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “…Maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaahaa: 123-124)

Semua yang kita saksikan di alam semesta dari berbagai macam kerusakan, merebaknya kemaksiatan, berpaling dari kebenaran, kerusakan pada makanan, serta tersebar luasnya malapetaka, bencana, dan lain sebagainya, sesungguhnya sebab yang pasti adalah karena meninggalkan ketaatan dan terjerumusnya ke dalam kemaksiatan. Dengan demikian, jaminan kebaikan dalam kehidupan manusia adalah menyibukkan diri dengan mengamalkan ketaatan kepada Allah dan meninggalkan kemaksiatan.

b). Keberuntungan dan keselamatan di akhirat.
Sebab, masuknya seseorang ke dalam Surga dan keselamatan dari Neraka tergantung pada ketaatan kepada Allah Ta’ala dan menjauhi kemaksiatan, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “…Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api Neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (QS. An-Nisaa’: 13-14)

Masih banyak pengaruh-pengaruh terpuji lainnya dalam kehidupan dunia maupun akhirat.

13. Berhukum Kepada Syari’at`Allah Ta’ala

Maksud berhukum dengan syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala yakni meminta (keputusan) hukum yang diturunkan oleh-Nya kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta hukum dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Semangat ini bersumber dari keimanan kepada Allah Ta’ala, kepada rububiyyah-Nya atas segala sesuatu, kesendirian-Nya di dalam kerajaan dan pengaturan, iman kepada sifat-sifat-Nya, yang memiliki hikmah sangat tinggi dalam syari’at, perintah dan larangan-Nya, keyakinan kepada ilmu-Nya yang maha luas atas segala sesuatu, dan bahwasanya Allah lebih mengetahui tentang keadaan makhluk-Nya daripada diri mereka sendiri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Mahaluas lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Mulk: 14)

Keyakinan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Penyayang kepada segenap makhluk, bahkan lebih sayang daripada mereka sendiri, sebagimana firman-Nya: “…Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Ahzab: 43)

Keyakinan bahwasanya Allah adalah Raja Yang Maha Adil, yang tidak pernah berbuat zhalim kepada makhluk-Nya meski sebesar biji atom. Dia pun menghendaki kemudahan bagi mereka, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “…Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” (QS. Al-Baqarah: 185)

Demikian juga ketika seorang Mukmin menyaksikan sifat-sifat Allah yang penuh kesempurnaan dan keindahan, sedangkan sifat makhluk berkebalikan dengan itu, dan dia mengetahui bahwasanya Allah menetapkan hukum atas para hamba-Nya berdasarkan tuntutan ilmu, hikmah, kekuasaan, dan lain sebagainya. Di samping itu seorang Muslim juga meyakini bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menetapkan hukum berdasarkan hawa nafsu. Akan tetapi, beliau menetapkan hukum berdasarkan apa yang Allah turunkan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu…” (QS. An-Nisaa’: 105)

Dengan demikian, tatkala seorang Mukmin telah meyakini perkara-perkara di atas, niscaya ia akan berhukum dalam semua urusannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, dengan merujuk kepada hukum al-Qur’an dan as-Sunnah. Kondisi demikian juga memaksa dirinya untuk ridha terhadap hukum tersebut meskipun bertentangan dengan pemikiran dan hawa nafsunya. Ia pun tunduk kepada-Nya dengan ketundukan yang sempuran serta menerima dengan sepenuhnya, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa’: 65)

Sudah selayaknya seorang Mukmin mengetahui bahwasanya menetapkan hukum di antara manusia adalah hak Allah semata, tidak boleh di sertakan di dalamnya seorang pun dari makhluk. Allah Ta’ala berfirman: “…Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah…” (QS. Yusuf: 40)

Jika manusia telah berhukum kepada kitab Allah Ta’ala dan sunnah Nabi-Nya shallallahu ’alaihi wa sallam, niscaya hal itu akan memberikan pengaruh yang terpuji di dunia maupun akhirat. Di antara pengaruh tersebut adalah:

a). Kedamaian di antara mereka.
Sebab, jika manusia berhukum kepada Kitabullah dan ridha dengannya serta menerimanya, maka hal itu merupakan faktor terpenting untuk melenyapkan permusuhan dan perselisihan di antara mereka. Kebanyakan dari sebab-sebab perselisihan, pertengkaran, pemutusan hubungan, dan permusuhan di antara manusia pada hakikatnya adalah karena berpaling dari hukum Allah dan beralih kepada hukum-hukum selainnya yang diciptakan oleh manusia, yang tidak akan dapat memperbaiki keadaan mereka.

b). Berkah pada rizki dan tersebarnya keamanan.
Semua itu merupakan buah dari berhukum kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil, dan (al-Qur’an) yang diturunkan kepada mereka dari Rabb-nya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka…” (QS. Al-Maa-idah: 66)

Terhapusnya berkah pada rizki dan makanan, rusaknya keadaan manusia, dan tersebarnya kerusakan di antara mereka, semua itu merupakan akibat berpaling dari hukum Allah Ta’ala dan hukum Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wa sallam, serta akibat dari kemaksiatan dan kerusakan.

c). Mencegah terjadinya kezhaliman di antara sesama manusia.
Sesungguhnya jika manusia berhukum kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya serta berpaling dari berhukum kepada hukum ciptaan manusia, yang berasal dari pemikiran dan hawa nafsu yang pasti cacat atau kurang, niscaya akan tercegahlah segala bentuk kezhaliman sebagian orang atas sebagian lainnya. Tidak ada lagi keharusan berhukum kepada hukum-hukum manusia dan merujuk kepadanya. Selain itu, lenyaplah kultus individu yang semu atas mereka.

d). Meninggalkan undang-undang dan peraturan-peraturan yang bertentangan dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang dibuat oleh manusia dan tidak mungkin disandingkan dengan hukum Allah Ta’ala.
Pengecualian dalam hal ini ialah peraturan-peraturan yang tidak bertentangan dengan hukum Allah Ta’ala, bahkan sesuai dengannya dan berasal darinya, dalam perkara-perkara yang tidak terdapat hukum Allah secara jelas. Adapun undang-undang yang dibuat oleh manusia, dan bertentangan dengan hukum Allah pasti terhapus, jika hukum Allah diterapkan dan manusia berhukum kepadanya. Para hakim tidak akan berkesempatan berhukum kepada hukum buatan manusia. Demikian juga orang-orang yang bersengketa tidak akan bisa berhukum kepadanya. Sebaliknya, mereka akan mengembalikan seluruh perkara kepada hukum Allah.

Allah Ta’ala berfirman: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka…” (QS. Al-Maa-idah: 49) Dan masih banyak pengaruh-pengaruh terpuji lainnya.

14. Berkeyakinan Bahwasanya Syari’at Allah Itu Mudah

Wajib atas setiap Muslim meyakini bahwasanya agama Allah itu mudah. Allah Ta’ala tidak mensyari’atkan kepada manusia sesuatu yang dipandang sulit, bahkan seluruh syari’at Islam itu mudah, walhamdulillah. Di dalamnya terdapat keringanan bagi manusia serta perhatian terhadap keadaan dan kelemahan mereka. Allah Ta’ala berfirman: “…Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” (QS. Al-Baqarah: 185)

Tidak ada di dalam agama-Nya sesuatu yang menyebabkan kesulitan bagi manusia, sebagaimana firman-Nya: “…dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…” (QS. Al-Hajj: 78)

Kemudahan ini meliputi seluruh syari’at di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Demikian pula petunjuk Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, seluruhnya mudah, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:
“Tidaklah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam diberikan dua pilihan kecuali beliau memilih yang mudah di antara keduanya, selama hal itu bukan dosa. Adapun jika hal itu dosa, maka beliau adalah orang yang paling jauh darinya…” (HR. Bukhari no. 6786 dan Muslim no. 2327 dari ’Aisyah radhiyallahu ’anha)

Maknanya, bahwasanya seluruh perkara di dalam syari’at mudah, sedangkan perkara yang menyelisihinya pasti sulit. Tidak mungkin syari’at dan lawannya mudah pada saat yang sama. Maka apabila sunnah itu mudah, berarti yang menyelisihinya pasti sulit. Sebab, sekiranya itu mudah, tentulah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam telah memilihnya, sebagaimana tersebut dalam hadits di atas. Barang siapa yang menyelisihi sunnah, sesungguhnya ia telah mempersempit dan mempersulit dirinya sendiri, meskipun beranggapan sebaliknya atau berkeyakinan telah memilih yang mudah. Pada hakikatnya, itu merupakan persangkaan yang keliru. Dengan demikian, agama ini berhak disifati dengan kemudahan seluruhnya sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya agama ini mudah.” (HR. Bukhari no. 39, 5673, 6463, 7235, dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu)

Adapun keyakinan bahwa sesuatu dari agama ini sulit, atau keyakinan bahwa Allah telah mempersulit para hamba-Nya, hal itu termasuk adab yang buruk kepada Allah Ta’ala dan prasangka kepada Allah dengan persangkaan Jahiliyah.

15. Berbaik Sangka Kepada Allah dan Rasul-Nya

Berbaik sangka merupakan salah satu adab kepada Allah Ta’ala dan kepada Rasul-Nya. Hendaknya seorang Muslim selalu berbaik sangka kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wa sallam, di antaranya:

a). Berbaik sangka kepada Allah dalam dzat-Nya.
Bahwasanya Dia Maha Tinggi, Maha Esa dan tidak berbilang, serta suci dari segala aib dan kekurangan.

b). Berbaik sangka kepada Allah dalam rububiyyah-Nya.
Bahwasanya Dialah yang mengatur semua urusan makhluk dan hanya Dialah yang mampu memperbaiki keadaan mereka. Dia bersendiri dalam penciptaan dan kerajaan, serta seluruh makna-makna rububiyyah yang sempurna dan agung.

c). Berbaik sangka kepada Allah dalam uluhiyyah-Nya.
Bahwasanya Allah ‘Azza wa Jalla adalah satu-satunya dzat yang berhak diibadahi, bukan selain-Nya. Dialah raja bagi semua urusan dan sebab-sebabnya. Tidak ada sesuatu pun selain Dia yang berhak untuk itu. Allah Ta’ala berfirman: “Maka ketahuilah, bahwa tidak ada Ilah (yang haq) melainkan Allah…” (QS. Muhammad: 19)

“Kuasa Allah yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Rabb) yang haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang bathil…” (QS. Al-Hajj: 62)

d). Berbaik sangka kepada Allah dalam asma’ dan sifat-Nya.
Bahwasanya Dialah dzat yang memiliki nama-nama yang indah dan sifat-sifat yang tinggi, sama sekali tidak memiliki cacat maupun aib dari segi mana pun. Tidak mungkin hal itu ada pada Allah, bahkan seluruh sifat-sifat-Nya baik dan sempurna, agung dan indah. Demikianlah seluruh sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun sifat-sifat yang terkandung di dalamnya cacat maupun aib, sesungguhnya Allah Ta’ala bersih dari itu semua. Sekali-kali itu bukanlah termasuk sifat-Nya. Allah Ta’ala berfirman: “Hanya milik Allah Asma-ul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma-ul Husna itu…” (QS. Al-A’raaf: 180)

e). Berbaik sangka kepada Allah dalam qadar-Nya.
Bahwasanya Allah Ta’ala mengetahui segala sesuatu sebelum ia diciptakan. Dialah yang telah menulisnya, menghendakinya, dan mengadakannya. Segala sesuatu di alam ini ada atas`iradah (kehendak) Allah Ta’ala dan takdir-Nya. Allah Ta’ala berfirman: “…Dia telah menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS. Al-Furqaan: 2)

“Tiada sesuatu pun yang ghaib di langit dan di bumi, melainkan (terdapat) dalam Kitab yang nyata (Lauhul Mahfuzh).” (QS. An-Naml: 75)

“Tiada sesuatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya…” (QS. Al-Hadiid: 23)

f). Berbaik sangka kepada Allah dalam syari’at-Nya.
Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menetapkan bagi kita syari’at dan agama yang paling sempurna. Tidak terkandung sedikit pun cacat atau aib pada syari’at-Nya. Allah Ta’ala berfirman: “…Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agamamu…” (QS. Al-Maa-idah: 3)

Demikian juga Allah Ta’ala tidak menetapkan syari’at bagi hamba-Nya kecuali yang terkandung di dalamnya kemaslahatan, keselamatan dan kemenangan bagi mereka di dunia maupun akhirat, sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla tidak akan menetapkan syari’at bagi hamba-Nya yang mempersulit mereka. Dia tidak akan membebani para hamba-Nya di luar kemampuan mereka. Allah Ta’ala berfirman: “Allah tidak akan membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (QS. Al-Baqarah: 286)

“…Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang, melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya…” (QS. Ath-Thaalaq: 7)

Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta’ala Mahasantun kepada segenap hamba-Nya. Dia menghendaki kemudahan bagi mereka dan tidak menghendaki kesulitan, sebagaimana firman-Nya: “…Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” (QS. Al-Baqarah: 185)

“…Sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…” (QS. Al-Hajj: 78)

g). Berbaik sangka kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.
Bahwasanya beliau benar-benar utusan Allah, benar dalam segala kabar yang beliau sampaikan, beliau telah menyampaikan syari’at Allah, dan tidak menyembunyikan sesuatu pun dari wahyu yang disampaikan kepada beliau. Beliau adalah hamba yang paling bertakwa dan paling taat kepada-Nya, serta paling sempurna dalam mengetahui hukum-hukum Allah ‘Azza wa Jalla, mengikuti segala perintah-Nya, dan hamba yang paling tinggi kedudukannya di sisi Allah. Beliau adalah manusia yang paling penyayang terhadap makhluk, paling bersemangat menyampaikan hidayah di alam ini, dan paling gigih berdakwah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah atasnya.

16. Banyak Berdzikir Kepada Allah Ta’ala

Barang siapa yang beriman kepada Allah, mencintai-Nya, takut kepada-Nya, dan selalu bergantung kepada-Nya, pasti dia akan banyak mengingat-Nya di dalam hati dengan penuh rasa cinta, pengharapan, kesadaran, dan ketergantungan kepada-Nya. Akibatnya, ia akan selalu berdzikir dengan lisannya, dengan mengucapkan tasbih, tahmid, takbir, tahlil, do’a, dan istighfar. Di samping itu, berdzikir dengan anggota badannya, yakni dengan mengerjakan amal-amal ketaatan. Itu semua merupakan konsekuensi iman, mahabbah (kecintaan), serta rasa bergantung dan takut kepada Allah. Sesungguhnya barang siapa mencintai sesuatu, niscaya ia akan banyak mengingatnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: "Hai, orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (QS. Al-Ahzab: 41-42

Dzikir kepada Allah Ta’ala akan membawa pengaruh yang sangat baik di dunia maupun di akhirat, di antaranya:

a). Hati akan menjadi tenteram dan teguh dengan dzikrullah Ta’ala
Sebagaimana firman-Nya: “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)

b). Istiqamah dalam ketaatan.
Sebab, barang siapa yang lisannya selalu sibuk dengan dzikrullah, niscaya ia tidak akan mungkin berbicara maksiat. Barang siapa yang anggota badannya sibuk dengan amal ketaatan, niscaya ia tidak akan disibukkan dengan maksiat. Maka seorang yang senantiasa berdzikir akan selalu istiqamah di atas manhaj Allah Ta’ala dengan hati, lisan, dan anggota badannya.

c). Benteng dari Syaitan.
Syaitan akan bersembunyi dan lari jika seorang berdzikir kepada Allah Ta’ala. Maka dari itu, barang siapa banyak berdzikir kepada Allah, berarti ia telah membentengi dirinya dari syaitan. Keadaannya seperti orang yang berlindung di balik benteng yang kokoh dari serangan musuh.

d). Banyak melakukan amal kebaikan.
Sebab, dzikir merupakan amal shalih terbesar untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meraih berbagai kebaikan. Banyak sekali atsar (riwayat) yang menjelaskan tentang berbagai pahala bagi macam-macam dzikir, namun bukan di sini tempat untuk membahasnya secara rinci.

e). Dzikrullah dan kebersamaan Allah dengan hamba
Sesungguhnya barang siapa mengingat Allah niscaya Allah akan mengingatnya. Sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits qudsi: “Aku sebagaimana persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Aku akan bersamanya selama ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, niscaya Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di majelis, niscaya Aku mengingatnya di majelis yang lebih baik daripada majelis itu…” (HR. Bukhari no. 7405 dan Muslim no. 2675, dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu)

Jika Allah Ta’ala mengingat seorang hamba, maka hal itu merupakan sebab terbesar untuk meraih kebahagiaan, kemenangan, serta petunjuk dan bimbingan bagi hamba tersebut. Sebenarnya dzikir mempunyai banyak sekali faidah yang besar, namun bukan di sini tempat untuk membahasnya. Apa yang aku isyaratkan kiranya telah mencukupi.

17. Banyak Bershalawat Kepada Nabi Shallallahu ’Alaihi wa Sallam

Pada hakikatnya, wajibnya bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika disebut nama beliau, akan muncul dai ma’rifah (kepahaman) seorang Mukmin. Firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Allah dan Malaikat-Malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai, orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab: 56)

Sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam: "Orang bakhil adalah orang yang namaku disebut di sisinya, namun ia tidak bershalawat kepadaku.” (HR. Ahmad no. 7405, at-Tirmidzi no. 2675 dan dia menshahihkannya, ath-Thabrani dalam al-Kabir, III/2885, dan lain-lain dari hadits al-Husain bin ‘Ali. Diriwayatkan juga al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab no. 1565 dari ABu Hurairah dan dari ‘Ali. Silakan lihat kitab Shahiihul Jaami’ no. 2878)

Disunnahkan memperbanyak shalawat Nabi di setiap waktu karena itu merupakan dzikir yang utama.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa bershalawat kepadaku satu kali, niscaya Allah akan bershalawat atasnya sepuluh kali.” (HR. Muslim no. 308 dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu)

Banyak bershalawat atas Nabi merupakan sebab terbesar untuk meraih kelapangan hati, kemudahan urusan, dan diterangi kuburnya. Bagaimana seorang Muslim tidak banyak bershalawat atas Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, sedangkan beliau adalah seorang yang paling ia cintai dan orang yang paling banyak berbuat kebaikan kepadanya. Seluruh kebaikan yang ada di sisinya merupakan berkah dari dakwah beliau shallallahu ’alaihi wa sallam. Dengan demikian, banyak bershalawat atas Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam merupakan bukti kecintaan kepada beliau dan tanda mengikuti sunnahnya. Ini merupakan adab yang sangat agung kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.

18. Bertakwa Kepada Allah ’Azza wa Jalla

Bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla merupakan faidah yang meliputi perkara-perkara yang telah disebutkan. Maksudnya adalah menyibukkan diri dengan ketaatan kepada Allah, menjauhi kemaksiatan, mengharapkan ketaatan kepada-Nya, dan takut terhadap siksa-Nya. Takwa merupakan buah keimanan kepada Allah Ta’ala yang paling agung. Takwa memiliki faidah yang sangat banyak, di antaranya:

a). Kebersamaan Allah dengan hamba-Nya
Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa…” (QS. An-Nahl: 128)

Kebersamaan Allah dengan hamba membawa konsekuensi hidayah, bimbingan, pemeliharaan, taufik, penerimaan, rahmat, penjagaan, dan lain sebagainya.

b). Keselamatan dari makar musuh walau bagaimanapun besarnya makar mereka
Sebagimana firman Allah Ta’ala: “…Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikit pun tidak akan mendatangkan kemudharatan kepadamu…” (QS. Ali-’Imran: 120)

c). Dapat membedakan antara kebenaran dan kebathilan
Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Hai, orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqaan dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahan dan mengampuni (dosa-dosa)mu…” (QS. Al-Anfaal: 29)

Allah akan memberikan kepada orang-orang yang bertakwa cahaya dan furqaan (petunjuk) sehingga dapat membedakan antara yang haq dan yang bathil, antara petunjuk dan kesesatan. Mereka tidak akan sesat, tidak akan menyimpang, dan tidak akan jatuh dalam lembah kesesatan yang mereka kira hidayah dan petunjuk.

d). Dihapuskan kesalahan dan diampuni dosa-dosa.
Hal itu berdasarkan ayat di atas dan ayat-ayat yang semakna dengannya. Takwa merupakan sebab terbesar diampuninya dosa dan dihapusnya keburukan dan kesalahan.

e). Tercurahnya rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala
Sebagaimana firman-Nya: “…Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa…” (QS. Al-A’raaf: 156)

Orang-orang yang bertakwa adalah makhluk yang paling layak mendapatkan curahan rahmat Allah Ta’ala.

f). Dimasukkan ke dalam Surga dan selamat dari adzab Neraka
Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Itulah Jannah yang akan Kami wariskan kepada hamba-hamba Kami yang selalu bertakwa.” (QS. Maryam: 63)

“Kemudian, Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zhalim di dalam Neraka dalam keadaan berlutut.” (QS. Maryam: 72)

Ini merupakan konsekuensi dari rahmat Allah. Sebenarnya takwa memiliki buah yang sangat banyak selain yang telah disebutkan, namun bukan di sini tempat untuk membahasnbya secara rinci.

19. Memurnikan Ittiba’ (meneladani) Kepada Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam

Maknanya ittiba’ adalah seorang Muslim menjadikan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagi panutan dan teladan, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21)

Maka dari itu, meneladani Nabi dan mengikuti beliau merupakan dalil benarnya keimanan kepada Allah Ta’ala dan hari akhir. Mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan jalan untuk mendapatkan hidayah, sebagaiamana firman Allah Ta’ala: “…Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk.” (QS. Al-A’raaf: 158)

Mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan jalan untuk mendapatkan cinta Allah Ta’ala, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali-’Imran: 31)

Demikian juga, tidak akan mungkin baik keadaan manusia di dunia dan di akhirat tanpa mengikuti petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam. Oleh karena itulah, wajib bagi setiap Muslim berusaha untuk mengikuti Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dalam setiap keadaannya, dalam aqidah, ibadah, perilaku, akhlak, muamalah, jihad, dan semua urusannya. Sebab, ini merupakan bukti keimanan yang paling kuat dan paling benar.

Adapun berpaling dari ittiba’ kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan menggantinya dengan yang lain merupakan sebab terbesar timbulnya kerusakan dan kekurangan dalam setiap perkara, kesesatan di dunia, serta kerugian dan adzab di akhirat.

Kerusakan yang terjadi di tengah kaum Muslimin; kekurangan dalam berbagai sisi kehidupan mereka; musush-musuh berkuasa, menimpakan adzab, serta mengambil apa yang ada di tangan mereka; harga-harga melambung tinggi, tersebarnya berbagai macam penyakit dan wabah; serta munculnya virus-virus penyakit yang tidak pernah dikenal sebelumnya, itu terjadi karena ummat telah berpaling dari petunjuk Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam. Padahal, petunjuk Nabi sudah cukup untuk memperbaiki keadaan mereka di dunia, mengangkat kedudukan mereka, mengalahkan musuh, dan meraih kemenangan di akhirat. Yaitu, dengan mengikuti petunjuk tersebut dan berpegang teguh dengannya.

Sesungguhnya hal itu merupakan kewajiban yang paling utama atas mereka setelah mengikhlaskan agama kepada Allah Ta’ala semata. Memurnikan ittiba’ kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan realisasi syahadat Muhammad Rasulullah dan bukti kejujuran syahadat tersebut. Tanpa ittiba’, orang yang mengucapkan syahadat dianggap telah berdusta karena apa yang ia lakukan bertentangan dengan ucapannya. Oleh sebab itu, wajib atas setiap Muslim untuk memperbaiki ittiba’ kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dalam setiap urusannya karena hal itu merupakan jalan untuk meraih kemenangan dan keselamatan.

Inilah yang dapat kami sajikan sebagian dari beberapa adab kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, yang sebenarnya masih banyak lagi. Namun, apa yang kami sebutkan kiranya telah mencukupi, yang jumlahnya ada sembilan belas adab.

Walhamdulillaahi Rabbil ’aalamiin.
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam,
Subhanakallohuma wabihamdika, asyhadu al-laa ilaha illaa ant, asytagfiruka wa atubu ilaik

****
Ditulis: Al-Akh Abu Muhammad Herman

Dikutip dari kitab Ensiklopedi Adab Islam Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, hlm. 9-12, oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i, cetakan pertama/Agustus 2007

Sumber: http://abuzuhriy.com/
 http://faisalchoir.blogspot.com/2012/09/adab-adab-kepada-allah-dan-rasul-nya.html