Sabtu, 20 September 2014

Adakah "Kualat," "Pamali," atau Pesimis Karena Sesuatu Dalam Islam?

Seringkali kita mendengar perkataan seseorang "awas... nanti kualat..." atau di daerah tertentu masyarakat mengenal dengan istilah "pamali." Ungkapan tersebut seringkali dihubungkan dengan suatu pekerjaan atau karena ada sesuatu yang dikait-kaitkan. Semua hal tersebut menjurus kepada sikap pesimistis dan mereka-reka suatu takdir yang hanya Allah berhak menentukan. Pembaca budiman, berikut untaian nasehat dari Al-Quran dan As-Sunnah untuk menjaga diri kita dari bahaya dosa terbesar yang paling tercela, kesyirikan. 

Yakin Hanya Allah Maha Mengatur & Bekuasa
Seorang muslim wajib meyakini dengan seyakin-yakinnya, tidak ada keraguan sedikitpun; bahwa tidak ada yang Mencipta, Mengatur dan Berkuasa kecuali Allah semata. Oleh sebab inilah, semua yang terjadi di alam semesta ini adalah dengan izin dan kehendak Allah Ta’ala semata tiada sekutu baginya.

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ [التغابن : 11]
Artinya: “Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” QS. At Taghabun: 11.

Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:

بأمر الله، يعني: عن قدره ومشيئته
Artinya: “Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah,” maksudnya adalah dengan perintah Allah yaitu dengan takdir dan kehendak-Nya.”

Faidah sangat bermanfaat dari Ibnu Katsir rahimahullah, beliau berkata:

{وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ} أي: ومن أصابته مصيبة فعلم أنها بقضاء الله وقدره، فصبر واحتسب واستسلم لقضاء الله، هدى الله قلبه، وعَوَّضه عما فاته من الدنيا هُدى في قلبه، ويقينا صادقًا، وقد يخلف عليه ما كان أخذ منه، أو خيرًا منه.
Artinya: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” Maksudnya adalah Barangsiapa yang tertimpa musibah dan dia mengetahui bahwa itu dengan takdir dan ketetapan Allah, lalu dia bersabar, berharap pahala dan berserah kepada ketetapan Allah, maka; Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya, dan Dia akan menggantikan apa yang telah hilang darinya dari perkara duni, petunjuk di dalam hatinya, keyakinan yang benar, dan terkadang Allah menggantikan apa yang telah diambil darinya (akibat musibah tersebut), atau (bahkan) dengan yang lebih baik.” (Lihat kitab tafsir Ibnu katsir rahimahullah).  
Yakin Atas Takdir Allah
Seorang muslim meyakini bahwa semua makhluk sudah ditakdirkan Allah Ta’ala dan takdirnya dituliskan di "Al Lauh Al Mahfuzh."

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ 
Artinya: “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” QS. Al Hadid: 22.

Hal ini juga sudah ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam;

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رضى الله عنهما قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ «كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ».
Artinya: “Abdullah bin ‘Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah telah menulis takdir seluruh makhluk sebelum menciptakan langit dan bumi 50 ribu tahun.” HR. Muslim.

قَالَ عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ رضى الله عنه لاِبْنِهِ يَا بُنَىَّ إِنَّكَ لَنْ تَجِدَ طَعْمَ حَقِيقَةِ الإِيمَانِ حَتَّى تَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ فَقَالَ لَهُ اكْتُبْ. قَالَ رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ قَالَ اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ ». يَا بُنَىَّ إِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَنْ مَاتَ عَلَى غَيْرِ هَذَا فَلَيْسَ مِنِّى »
Artinya: “Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu berkata kepada anaknya: “Wahai anakku sayang, sungguh kamu tidak akan pernah mendapatkan rasa hakikat keimanan sampai kamu mengetahui bahwa apa yang sudah ditakdirkan untukmu, maka tidak akan pernah meleset darimu dan apa yang belum ditakdirkan untukmu maka tidak akan pernah kena terhadapmu, aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya yang pertama kali Allah telah ciptakan adalah pena, lalu Allah berfirman: “Tulislah!” pena bertanya: “Wahai Rabbku, apa yang aku tulis,” Allah berfirman: “Tulislah, seluruh takdir segala sesuatu sampai hari kiamat,” Wahai anakku sayang sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang meninggal di atas selain (keyakinan) ini maka dia bukan dariku.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih Al Jami’ no. 2018).  
Awas Terjatuh Kepada Kesyirikan! 
Saudaraku pembaca…
Keyakinan thiyarah adalah kebiasaan Arab jahiliyyah dan bertentangan dengan agama Islam, karena bisa menghantarkan kepada kesyirikan yaitu meyakini ada yang mengatur, mencipta dan berkuasa selain Allah.Thiyarah adalah merasa bernasib sial karena melihat atau mendengar sesuatu.

Perhatikan asal muasal keyakinan thiyarah yang dilakukan orang Arab jahiliyyah, berkata Ibnu Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah:

وأصل هذا أنهم كانوا يزجرون الطير والوحش ويثيرونها فما تيامن منها وأخذ ذات اليمين سموه سانحا وما تياسر منها سموه بارحا وما استقبلهم منها فهو الناطح وما جاءهم من خلفهم سموه القعيد فمن العرب من يتشاءم بالبارح ويتبرك بالسانح ومنهم من يرى خلاف ذلك
Artinya: “Dan asal hal ini adalah mereka menghalau dan menggerakkan burung dan binatang; kapan dia pergi ke kanan dan menuju arah kanan maka mereka menamakannya "As Sanih" dan kapan pergi ke kiri dan mengambil arah kiri maka mereka menamakannya "Al Barih." Dan apa yang datang dari depan maka dinamakan "An Natih," dan apa yang datang dari belakang mereka namakan "Al Qa’id," maka sebagian orang Arab ada yang pesimis dengan burung "Al Barih" dan mengambil berkah dengan "As Sanih" dan di antara mereka ada yang berpendapat sebaliknya.” (Lihat kitab Miftah Dar As Sa’adah).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah meniadakan keyakinan thiyarah dan semisalnya;

عن أَبَي هُرَيْرَةَ رضى الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ وَفِرَّ مِنْ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنْ الْأَسَدِ. رواه البخاري و مسلم
Artinya: " Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Tidak ada 'adwa, thiyarah, hammah, Shofar dan menjauhlah dari orang yang kena penyakit kusta (lepra) sebagaimana kamu menjauh dari singa." (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim).  

'Adwa adalah keyakinan penularan penyakit dengan sendirinya tanpa kehendak dan takdir Allah Ta'ala. Thiyarah berarti merasa bernasib sial karena melihat burung, binatang atau apapun. Hammah yaitu keyakinan jika burung hantu hinggap di atas rumah maka akan ada yang mati. Dan shofar artinya keyakinan bahwa bulan Shofar adalah bulan sial dan tidak menguntungkan.

Banyak yang berkeyakinan bahwa bulan Shafar adalah bulan sial sehingga banyak pernikahan dan acara bepergian serta aktivitas lainnya digagalkan, hal ini berdasarkan sebuah keyakinan bahwa tiap hari Rabu terakhir dari bulan Shafar diturunkan 320.000 bala'.

Bahkan ada yang menyebarkan hadits palsu tentan bulan Shafar, di antaranya;

من بشرني بخروج صفر بشرته بالجنة
Artinya: “Barangsiapa yang bergembira dengan keluarnya bulan Shafar maka aku akan berikan kabar gembira dengan surga.”

Ini hadits dinilai palsu oleh Al ‘Iraqi di dalam "Al Fawaid Al Majmu’ah fil Ahadits Al Maudu’ah," Ash Shaghani di dalam kitab "Al Maudhu’at dan Muhammad bin Khalil Ath Tharablisi di dalam kitab "Al Lu’lu’ Al Marshu’."

Maksud dari hadits shahih di atas adalah peniadaan semua keyakinan yang menyatakan bahwa ada pengaruh buruk yang timbul tanpa kehendak dan izin dari Allah ta’ala.

Ibnu Qayyim Al Jauziyyah berkata:

وهذا يحتمل أن يكون نفيا وأن يكون نهيا أى لا تطيروا ولكن قوله في الحديث ولا عدوى ولا صفر ولا هامة يدل على أن المراد النفى وإبطال هذه الأمور التى كانت الجاهلية تعانيها والنفي في هذا أبلغ من النهى لأن النفي يدل على بطلان ذلك وعدم تأثيره والنهى إنما يدل على المنع منه
Artinya: “Dan Hadits ini dimungkinkan bermaksud peniadaan atau bisa bermaksud pelarangan, yaitu janganlah kalian bersikap pesimis, akan tetapi sabda beliau di dalam hadits tidak ada ‘Adwa, shafar, hammah menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah peniadaan dan pembatilan setiap perkara ini yang diyakini oleh Arab Jahiliyyah. Dan Peniadaan lebih dalam maknanya daripada pelarangan karena peniadaan menunjukkan akan batilnya hal tersebut dan tidak memberikan pengaruh, adapun larangan hanya menunjukkan kepada larangan untuk berbuat seperti itu.” (Lihat kitab "Miftah Dar As Sa’adah").     

Mengapa Thiyarah dikategorikan sebagai kesyirikan?
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan:

الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ
Artinya: "Thiyarah adalah kesyirikan, thiyarah adalah kesyirikan." (Hadits riwayat Abu Daud dan dishahihkan oleh Al Albani di "As Silsilah Ash Shahihah," no: 429). 

Kenapa bisa demikian?
Kenapa meyakini bahwa ada penyakit menular dengan sendirinya tanpa kehendak Allah, termasuk kesyirikan?

Kenapa meyakini bahwa jika ada burung hantu atau gagak di atas rumah pertanda buruk, termasuk kesyirikan?

Kenapa meyakini bahwa bulan shafar adalah bulan sial dan panas maka tidak dikerjakan segala macam hajat dan rencana, ini termasuk kesyirikan?

Kenapa meyakini bahwa jika singgah disebuah tempat harus minta izin kepada jin penguasa di tempat itu agar tidak diganggu, ini termasuk kesyirikan?

Kenapa meyakini bahwa jika di pagi hari melihat kucing picak matanya dan pincang kakinya pertanda buruk dan sial, ini termasuk kesyirikan?

Kenapa meyakini bahwa suami dilarang memancing ketika istri hamil, termasuk kesyirikan?

Kenapa meyakini bahwa menyapu atau memotong kuku malam hari tidak baik, itu termasuk kesyirikan?

Kenapa meyakini bahwa memakai baju hijau di pantai selatan mendatangkan kesialan dan keburukan, ini termasuk keyirikan?

Kenapa meyakini beberapa mitos pamali, kualat, merasa bernasib sial dengan melihat sesuatu atau mendengar sesuatu, ini termasuk kesyirikan? 

Jawaban semua pertanyaan di atas adalah karena Allah-lah satu-satu-Nya Yang Mengatur, Mencipta, Berkuasa. Semua yang terjadi tidak ada yang keluar dari kehendak-Nya dan ciptaan-Nya. Maka jika ada keyakinan bahwa ada yang mengatur, mencipta dan berkuasa selain Allah, disinilah letak kesyirikannya. Yaitu dengan MENYAMAKAN SELAIN ALLAH DENGAN ALLAH TA’ALA DI DALAM PERKARA YANG KHUSUS MILIK ALLAH TA’ALA, dalam hal ini pengaturan, penciptaan dan kekuasaan.

Allah ta’ala berfirman:

{قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمَّنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ (31) فَذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمُ الْحَقُّ فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلَالُ فَأَنَّى تُصْرَفُونَ (32) كَذَلِكَ حَقَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ عَلَى الَّذِينَ فَسَقُوا أَنَّهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ (33)} [يونس: 31 - 33]
Artinya: “Katakanlah: Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan? Maka mereka akan menjawab: Allah. Maka katakanlah: Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)? Maka (Dzat yang demikian) itulah Allah Rabb kamu yang sebenarnya; maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)? Demikianlah telah tetap hukuman Rabbmu terhadap orang-orang yang fasik, karena sesungguhnya mereka tidak beriman. Katakanlah: Apakah di antara sekutu-sekutumu ada yang dapat memulai penciptaan makhluk, kemudian mengulanginya (menghidupkannya) kembali? katakanlah: Allah-lah yang memulai penciptaan makhluk, kemudian mengulanginya (menghidupkannya) kembali; maka bagaimanakah kamu dipalingkan (kepada menyembah yang selain Allah)?" (QS. Yunus 31-33).

{إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ} [الأعراف: 54]
Artinya: “Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Rabb semesta alam.” (QS. Al A’raf: 54).

{أَمَّنْ يَبْدَأُ الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ وَمَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ} [النمل: 64]
Artinya: “Atau siapakah yang menciptakan (manusia dari permulaannya), kemudian mengulanginya (lagi), dan siapa (pula) yang memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)?. Katakanlah: Unjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang yang benar." (QS. An Naml: 64).
{اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ (62) لَهُ مَقَالِيدُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ (63)} [الزمر: 62، 63]
Artinya: “Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. Kepunyaan-Nya lah kunci-kunci langit dan bumi, dan orang-orang yang kafir dengan tanda-tanda kekuasaan Allah mereka adalah orang-orang yang merugi.” (QS. Az Zumar: 62-63).

{فَاطِرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الْأَنْعَامِ أَزْوَاجًا يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (11) لَهُ مَقَالِيدُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (12)} [الشورى: 11، 12]
Artinya: “(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Kepunyaan-Nya-lah perbendaharaan langit dan bumi; Dia melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan (nya). Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Asyuura: 11-12).  

Obat Nabawi untuk perasaan bernasib sial, pesimis, kualat, pamali dan semisalnya
Saudaraku pembaca…
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah menyatakan bahwa tidak ada di antara kita melainkan terhinggap perasaan pesimis karena sesuatu atau merasa bernasib sial karena mendengar atau melihat sesuatu, beliau bersabda:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضى الله عنه عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ» ثَلاَثًا «وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ»
Artinya: “Abdullah bin Masud radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Ath Thiyarah adalah kesyirikan, Ath Thiyarah adalah kesyirikan,” beliau ucapkan itu tiga kali, kemudian beliau bersabda: “Dan tidak ada di antara kita melainkan (akan timbul perasaan itu), akan tetapi Allah menghilangkannya dengan bertawakkal (bersandar kepada-Nya).” (HR. Abu Daud).

Karena inilah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan solusi untuk penyakit keyakinan yang keliru ini, maka jika ada perasaan seperti ini, kita harus; 

Pertama, melawan perasaan tersebut dengan melaksanakan apa yang sudah direncanakan lalu bersandar diri kepada Allah Ta’ala.

Perhatikan beberapa hadits berikut:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضى الله عنه عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ «وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ»
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Dan tidak ada diantara kita melainkan (akan timbul perasaan itu), akan tetapi Allah menghilangkannya dengan bertawakkal (bersandar kepada-Nya).” (HR. Abu Daud).

Di dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan bahwa perasaan bernasib sial akan hilang dengan bersandar diri kepada Allah.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رضى الله عنهما قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَكَ»
Artinya: “Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma berkata: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang dipalingkan dari keperluannya oleh perasaan bernasib sial maka sungguh dia telah berbuat syirik.” (HR Ahmad dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah, no. 1065).

Di dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan bahwa yang tidak jadi melakukan aktivitasnya gara-gara merasa kualat, pesimis, pamali maka sungguh dia telah berbuat syirik. Dan pemahaman kebalikan dari ini adalah barangsiapa yang melaksanakan aktivitasnya meskipun ada perasaan itu maka bukanlah dia termasuk syirik.  

Kedua, menumbuhkan perasaan optimis dan perasangka baik di dalam diri, di antaranya dengan mengucapkan perkataan yang baik-baik jauh dari pesimisme.

عن أَبَي هُرَيْرَةَ رضى الله عنه قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ «لاَ طِيَرَةَ ، وَخَيْرُهَا الْفَأْلُ» قَالُوا وَمَا الْفَأْلُ قَالَ « الْكَلِمَةُ الصَّالِحَةُ يَسْمَعُهَا أَحَدُكُمْ»
Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada thiyarah, dan sebaik-baiknya perasaan itu adalah Al fa’lu,” para shahabat bertanya: “Apakah itu al fa’lu?” Beliau bersabda: “Perkataan yang baik yang didengarkan oleh salah seorang dari kalian.” (HR. Bukhari).

عَنْ أَنَسٍ - رضى الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ ، وَيُعْجِبُنِى الْفَأْلُ الصَّالِحُ ، الْكَلِمَةُ الْحَسَنَةُ»
Artinya: “Anas Bin Malik radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada ‘Adwa, thiyarah dan aku kagum dengan Al Fa’lu Ash Shalih, yaitu perkataan baik.” (HR. Bukhari).

عنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَأُحِبُّ الْفَأْلَ الصَّالِحَ»
Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada ‘Adwa, thiyarah dan aku menyukai dengan Al Fa’lu Ash Shalih.” (HR. Muslim).  

Ketiga, berdoa seperti yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. 

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رضى الله عنهما قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَكَ» قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ قَالَ «أَنْ يَقُولَ أَحَدُهُمْ اللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ»
Artinya: “Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang dipalingkan dari keperluannya oleh perasaan bernasib sial maka sungguh dia telah berbuat syirik.” Para shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apa penebus perasaan itu,” beliau menjawab: “Salah seorang dari kalian mengucapakan: “Allahumma laa khaira illa khairuka wa laa thaira illa thairuka wa laa ilaaha ghairuka” (Wahai Allah, tidak ada kebaikan melainkan kebaikan-Mu, tidak ada kesialan kecuali kesialan yang engkau takdirkan dan tidak ada sembahan selain-Mu).” (HR Ahmad dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam "Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah," no. 1065).

Semoga bermanfaat saudaraku pembaca…  

*) Ditulis oleh Ahmad Zainuddin, Rabu, 17 Shafar 1433H Dammam KSA

SIMAK KAJIAN "PARASIT AKIDAH" DI SINI
____________
Sumber: http://www.dakwahsunnah.com/2012/01/adakah-kualat-pamali-atau-pesimis.html
http://faisalchoir.blogspot.sg/2012/01/adakah-kualat-pamali-atau-pesimis.html

Jumat, 19 September 2014

Hukum Membaca Ramalan Bintang, Zodiak dan Shio

Kehidupan cinta Anda tidak terlalu menyenangkan tahun ini. Akan sulit sekali berkomunikasi dengan si dia, tapi Anda harus berusaha keras jika ada sesuatu yang ingin Anda luruskan.

Hubungan Anda mungkin juga akan mengalami perubahan, namun ke arah yang lebih baik. Untuk yang single, pertemuan dengan pria baru akan mengubah hidup Anda.

Info-info semacam inilah yang menyebar di tengah-tengah pemuda di awal tahun baru 2012. Untuk menjalani tahun 2012, mereka membaca nasib lewat ramalan bintang atau zodiak tersebut. Mereka ingin mencari tahu bagaimana nasib cinta mereka, bagaimana rizki mereka, dan bagaimana keberuntungan mereka di tahun 2012. Padahal ajaran Islam sangat melarang keras hal ini, namun banyak yang tidak memahaminya karena tidak mau belajar akidah dan mengenal Islam lebih dalam.

Ketua Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia (Al Lajnah Ad Daimah) di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz ditanya mengenai hukum membaca ramalan bintang, zodiak dan semisalnya.

Jawaban beliau rahimahullah,
Yang disebut ilmu bintang, horoskop, zodiak dan rasi bintang termasuk di antara amalan jahiliyah. Ketahuilah bahwa Islam datang untuk menghapus ajaran tersebut dan menjelaskan akan kesyirikannya. Karena di dalam ajaran tersebut terdapat ketergantungan pada selain Allah, ada keyakinan bahwa bahaya dan manfaat itu datang dari selain Allah, juga terdapat pembenaran terhadap pernyataan tukang ramal yang mengaku-ngaku mengetahui perkara ghaib dengan penuh kedustaan, inilah mengapa disebut syirik. Tukang ramal benar-benar telah menempuh cara untuk merampas harta orang lain dengan jalan yang batil dan mereka pun ingin merusak akidah kaum muslimin. Dalil yang menunjukkan perihal tadi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitab sunannya dengan sanad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنِ اقْتَبَسَ عِلْمًا مِنَ النُّجُومِ اقْتَبَسَ شُعْبَةً مِنَ السِّحْرِ زَادَ مَا زَادَ
Barangsiapa mengambil ilmu perbintangan, maka ia berarti telah mengambil salah satu cabang sihir, akan bertambah dan terus bertambah.[1]

Begitu pula hadits yang diriwayatkan oleh Al Bazzar dengan sanad yang jayyid dari ‘Imron bin Hushoin, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَطَيَّرَ أَوْ تُطُيِّرَ لَهُ أَوْ تَكَهَّنَ أَوْ تُكُهِّنَ لَهُ أَوْ سَحَّرَ أَوْ سُحِّرَ لَهُ
Bukan termasuk golongan kami, siapa saja yang beranggapan sial atau membenarkan orang yang beranggapan sial, atau siapa saja yang mendatangi tukang ramal atau membenarkan ucapannya, atau siapa saja yang melakukan perbuatan sihir atau membenarkannya.”[2]

Siapa saja yang mengklaim mengetahui perkara ghaib, maka ia termasuk dalam golongan kaahin (tukang ramal) atau orang yang berserikat di dalamnya. Karena ilmu ghaib hanya menjadi hak prerogatif Allah sebagaimana disebutkan dalam ayat,

قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ
Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah” (QS. An Naml: 65).

Nasehatku bagi siapa saja yang menggantungkan diri pada berbagai ramalan bintang, hendaklah ia bertaubat dan banyak memohon ampun pada Allah (banyak beristighfar). Hendaklah yang jadi sandaran hatinya dalam segala urusan adalah Allah semata, ditambah dengan melakukan sebab-sebab yang dibolehkan secara syar’i. Hendaklah ia tinggalkan ramalan-ramalan bintang yang termasuk perkara jahiliyah, jauhilah dan berhati-hatilah dengan bertanya pada tukang ramal atau membenarkan perkataan mereka. Lakukan hal ini dalam rangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dalam rangka menjaga agama dan akidah.

(Dinukil dengan perubahan redaksi dari Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 2: 123)

Syaikh Sholih Alu Syaikh -hafizhohullah- mengatakan, “Jika seseorang membaca halaman suatu koran yang berisi zodiak yang sesuai dengan tanggal kelahirannya atau zodiak yang ia cocoki, maka ini layaknya seperti mendatangi dukun. Akibatnya cuma sekedar membaca semacam ini adalah tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari. Sedangkan apabila seseorang sampai membenarkan ramalan dalam zodiak tersebut, maka ia berarti telah kufur terhadap Al Qur’an yang telah diturunkan pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Lihat At Tamhid Lisyarh Kitabit Tauhid oleh Syaikh Sholih Alu Syaikh pada Bab “Maa Jaa-a fii Tanjim”, hal. 349)

Intinya, ada dua rincian hukum dalam masalah ini.

Pertama: Apabila cuma sekedar membaca zodiak atau ramalan bintang, walaupun tidak mempercayai ramalan tersebut atau tidak membenarkannya, maka itu tetap haram. Akibat perbuatan ini, shalatnya tidak diterima selama 40 hari.

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallambersabda,

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal, maka shalatnya selama 40 hari tidak diterima.” (HR. Muslim no. 2230). Ini akibat dari cuma sekedar membaca.

Maksud tidak diterima shalatnya selama 40 hari dijelaskan oleh An Nawawi: “Adapun maksud tidak diterima shalatnya adalah orang tersebut tidak mendapatkan pahala. Namun shalat yang ia lakukan tetap dianggap dapat menggugurkan kewajiban shalatnya dan ia tidak butuh untuk mengulangi shalatnya.”  (Syarh Muslim, 14: 227)

Kedua: Apabila sampai membenarkan atau meyakini ramalan tersebut, maka dianggap telah mengkufuri Al Qur’an yang menyatakan hanya di sisi Allah pengetahuan ilmu ghoib.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal, lalu ia membenarkannya, maka ia berarti telah kufur pada Al Qur’an yang telah diturunkan pada Muhammad.” (HR. Ahmad no. 9532, hasan)

Namun jika seseorang membaca ramalan tadi untuk membantah dan membongkar kedustaannya, semacam ini termasuk yang diperintahkan bahkan dapat dinilai wajib. (Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, 1: 330)

Syaikh Sholih Alu Syaikh memberi nasehat, “Kita wajib mengingkari setiap orang yang membaca ramalan bintang semacam itu dan kita nasehati agar jangan ia sampai terjerumus dalam dosa. Hendaklah kita melarangnya untuk memasukkan majalah-majalah yang berisi ramalan bintang ke dalam rumah karena ini sama saja memasukkan tukang ramal ke dalam rumah. Perbuatan semacam ini termasuk dosa besar (al kabair) –wal ‘iyadzu billah-. …

Oleh karena itu, wajib bagi setiap penuntut ilmu agar mengingatkan manusia mengenai akibat negatif membaca ramalan bintang. Hendaklah ia menyampaikannya dalam setiap perkataannya, ketika selesai shalat lima waktu, dan dalam khutbah jum’at. Karena ini adalah bencana bagi umat. Namun masih sangat sedikit yang mengingkari dan memberi peringatan terhadap kekeliruan semacam ini.” (Lihat At Tamhid Lisyarh Kitabit Tauhid, hal. 349)

Dari sini, sudah sepatutnya seorang muslim tidak menyibukkan dirinya dengan membaca ramalan-ramalan bintang melalui majalah, koran, televisi atau lewat pesan singkat via sms. Begitu pula tidak perlu seseorang menyibukkan dirinya ketika berada di dunia maya untuk mengikuti berbagai ramalan-ramalan bintang yang ada. Karena walaupun tidak sampai percaya pada ramalan tersebut, tetap seseorang bisa terkena dosa jika ia bukan bermaksud untuk membantah ramalan tadi. Semoga Allah melindungi kita dan anak-anak kita dari kerusakan semacam ini.

Nasehat
Ramalan bukan hanya datang dari tukang ramal dengan bertanya langsung, namun saat ini bisa masuk ke rumah-rumah kaum muslimin dengan begitu mudah, baik lewat media cetak, TV, atau pun internet. Kita berlindung kepada Allah semoga diri kita, anak-anak kita, kerabat-kerabat kita terbebas dari membaca dan mempercayai ramalan bintang, serta dijauhi segala bentuk perbuatan syirik. Jadikanlah satu-satunya sandaran dalam segala urusan adalah Allah Ta’ala semata,

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (QS. Ath Tholaq: 3). 

Al Qurtubi mengatakan, ”Barangsiapa menyerahkan urusannya sepenuhnya kepada Allah, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya.” (Al Jami’ Liahkamil Qur’an, 18: 161). 

Jika Allah jadi satu-satunya sandaran, maka rizki, jodoh, dan segala urusan akan dimudahkan oleh Allah Ta’ala.

إِنْ أُرِ‌يدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّـهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud: 88)

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 7 Shofar 1433 H

[1] HR. Abu Daud no. 3905, Ibnu Majah no. 3726 dan Ahmad 1: 311. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut hasan.
[2] HR. Al Bazzar dalam musnadnya.
Penulis Fathul Majid, Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh berkata, “Siapa saja yang menerjangi perkara-perkara yang disebutkan dalam hadits tersebut, berarti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berlepas diri darinya. Bisa saja perkara yang dilakukan adalah kesyirikan seperti beranggapan sial. Bisa pula kekufuran seperti mempercayai tukang ramal dan melakukan sihir. Siapa saja yang ridho dan mengikuti hal-hal tadi, maka ia dihukumi seperti pelakunya karena ia menerima dan mengikuti hal yang batil.” (Fathul Majid, 316)
 
http://faisalchoir.blogspot.sg/2012/01/hukum-membaca-ramalan-bintang-zodiak.html

Sabtu, 13 September 2014

Mengaku Mengetahui Ilmu Ghaib Dengan Membaca Telapak Tangan, Cangkir atau Lainnya

Yang dimaksud "ghaib" adalah apa yang tersembunyi dari manusia tentang perkara-perkara yang akan datang atau yang telah lalu dan apa yang tidak mereka lihat. Ilmu ghaib ini khusus milik Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, Artinya: "Katakanlah, 'Tidak seorang pun di langit dan bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah'." (An-Naml: 65).
Maka, tak seorang pun mengetahui yang ghaib kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, namun terkadang Allah Subhanahu wa Ta’ala memperlihatkan apa yang dikehendakiNya dari yang ghaib kepada rasul-rasul Nya untuk suatu hikmah dan kemaslahatan. Allah Subhanahu waTa’ala berfirman,
Artinya: "(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu, kecuali kepada rasul yang diridhaiNya." (Al-jin : 26-27).
Artinya, Allah Subhanahu waTa’ala tidak memperlihatkan sesuatu pun dari masalah ghaib kecuali kepada orang yang dipilihNya untuk mengemban risalahNya. Allah Subhanahu wa Ta’ala memperlihatkan kepadanya apa yang dikehendakiNya dari masalah ghaib. Karena bukti kenabiannya adalah mukjizat, dan di antara mukjizat itu adalah mengabarkan tentang masalah ghaib yang diperlihatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya. Dan hal ini berlaku umum bagi rasul (utusan Allah), baik dari jenis malaikat maupun dari jenis manusia. Dan selain mereka tidak diperlihatkan masalah ghaib, berdasarkan dalil yang membatasinya. Maka barangsiapa mengaku mengetahui ilmu ghaib, dengan cara apapun, padahal ia bukan orang yang dipilih Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rasul, maka ia adalah pendusta dan kafir, baik ia mengakunya melalui membaca telapak tangan atau cangkir atau perdukunan, sihir, ilmu nujum atau lainnya. Inilah yang terjadi dari sebagian ahli sihir dan para dajjal yang mengabarkan keadaan barang-barang yang hilang dan raib serta sebab-sebab sebagian penyakit. Misalnya dia mengatakan, fulan melakukan ini dan itu terhadapmu, sehingga kamu sakit karenanya. Padahal sesungguhnya itu terjadi karena pekerjaan jin dan setan, tetapi mereka menampakkan kepada manusia bahwa hal itu terjadi karena pekerjaan-pekerjaan tersebut, untuk menipu dan mengaburkan pandangan manusia.

Terkadang, mereka mengabarkan hal tersebut melalui ilmu astrologi / perbintangan (nujum), yaitu menjadikan letak bintang-bintang sebagai bukti akan terjadinya berbagai peristiwa di bumi. Misalnya mereka mengatakan, barangsiapa menikah dengan orang yang berbintang ini dan itu maka akan terjadi padanya begini dan begitu. Atau mengatakan, barangsiapa melakukan perjalanan dengan orang yang berbintang ini, maka akan terjadi padanya sesuatu ini, atau barangsiapa dilahirkan dengan bintang ini dan itu, maka akan terjadi padanya kebahagiaan atau kesengsaraan ini. Demikian seperti yang dimuat pada sebagian majalah murahan dari berbagai bentuk takhayul dan dongeng seputar bintang-bintang dan nasib yang terjadi karenanya.

Sebagian orang-orang bodoh dan yang lemah iman malahan terkadang pergi kepada ahli nujum dan bertanya kepada mereka tentang masa depannya, apa yang bakal menimpanya, tentang pernikahannya dan sebagainya. Padahal barangsiapa mengaku mengetahui ilmu ghaib atau membenarkan / percaya kepada orang yang mengaku hal tersebut, maka dia adalah musyrik dan kafir, sebab dia mengaku bersekutu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hal yang merupakan kekhususan bagiNya. Dan bintang-bintang itu adalah mahluk yang tunduk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tidak memiliki sesuatu urusan apa pun. Ia tidak menunjukkan kesengsaraan atau kebahagiaan dan kematian atau kehidupan. Tetapi, semuanya itu hanyalah pekerjaan setan yang mencuri dengar tentang ketentuan (takdir) Allah Subhanahu wa Ta’ala
____________
Sumber: http://alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatkajian&parent_id=2374&parent_section=kj076&idjudul=1
Hukum Orang Yang Mengaku Mengetahui Yang Ghaib

Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum orang yang mengaku mengetahui yang ghaib ?

Jawaban
Hukum orang yang mengaku mengetahui ilmu yang ghaib adalah kafir, karena ia mendustakan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia berfirman.

“Artinya : Katakanlah : “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan” [An-Naml : 65]

Allah memerintahkan kepada NabiNya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberitahukan kepada manusia bahwa tidak ada seorangpun di bumi maupun di langit yang mengetahui ilmu ghaib kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya orang yang mengaku mengetahui ilmu yang ghaib, maka ia telah mendustakan Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang khabar ini. Kita tanyakan kepada mereka : Bagaimana mungkin kalian mengetahui yang ghaib, sedangkan Nabi saja tidak mengetahui ? Apakah kalian lebih mulia daripada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Jika mereka menjawab : “Kami lebih mulia daripada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka telah kafir karena ucapan itu. Jika mereka mengatakan : Bahwa Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih mulia, maka kami katakan : Kenapa Rasul tidak mengetahui yang ghaib, sedangkan kalian mengetahui ? Allah berfirman.

“Artinya : (Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridahiNya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan belakangnya” [Al-Jin : 26-27]

Ini adalah ayat kedua yang menunjukkan atas kafirnya orang yang mengetahui ilmu ghaib. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengabarkan kepada manusia dengan firmanNya.

“Artinya : Katakanlah : “Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku” [Al-An’am : 50]

[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Terbitan Pustaka Arafah] 
____________
Sumber: http://almanhaj.or.id/content/1676/slash/0
http://faisalchoir.blogspot.sg/2012/01/mengaku-mengetahui-ilmu-ghaib-dengan.html

Selasa, 09 September 2014

Aku Ingin Bertaubat, Tetapi …

“Aku ingin bertaubat hanya saja dosaku terlalu banyak. Aku pernah terjerumus dalam zina. Sampai-sampai aku pun hamil dan sengaja membunuh jiwa dalam kandungan. Aku ingin berubah dan bertaubat. Mungkinkah Allah mengampuni dosa-dosaku?!”
Sebagai nasehat dan semoga tidak membuat kita berputus dari rahmat Allah, cobalah kita lihat sebuah kisah yang pernah disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini. Semoga kita bisa mengambil pelajaran-pelajaran berharga di dalamnya.
Kisah Taubat Pembunuh 100 Jiwa
Kisah ini diriwayatkan dari Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinaan Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أنّ نَبِيَّ الله – صلى الله عليه وسلم – ، قَالَ : (( كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكمْ رَجُلٌ قَتَلَ تِسْعَةً وتِسْعينَ نَفْساً ، فَسَأَلَ عَنْ أعْلَمِ أَهْلِ الأرضِ ، فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ ، فَأَتَاهُ . فقال : إنَّهُ قَتَلَ تِسعَةً وتِسْعِينَ نَفْساً فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوبَةٍ ؟ فقالَ : لا ، فَقَتَلهُ فَكَمَّلَ بهِ مئَةً ، ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الأَرضِ ، فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ . فقَالَ : إِنَّهُ قَتَلَ مِئَةَ نَفْسٍ فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ ؟ فقالَ : نَعَمْ ، ومَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وبَيْنَ التَّوْبَةِ ؟ انْطَلِقْ إِلى أرضِ كَذَا وكَذَا فإِنَّ بِهَا أُناساً يَعْبُدُونَ الله تَعَالَى فاعْبُدِ الله مَعَهُمْ ، ولاَ تَرْجِعْ إِلى أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أرضُ سُوءٍ ، فانْطَلَقَ حَتَّى إِذَا نَصَفَ الطَّرِيقَ أَتَاهُ الْمَوْتُ ، فاخْتَصَمَتْ فِيهِ مَلائِكَةُ الرَّحْمَةِ ومَلائِكَةُ العَذَابِ . فَقَالتْ مَلائِكَةُ الرَّحْمَةِ : جَاءَ تَائِباً ، مُقْبِلاً بِقَلبِهِ إِلى اللهِ تَعَالَى ، وقالتْ مَلائِكَةُ العَذَابِ : إنَّهُ لمْ يَعْمَلْ خَيراً قَطُّ ، فَأَتَاهُمْ مَلَكٌ في صورَةِ آدَمِيٍّ فَجَعَلُوهُ بَيْنَهُمْ
- أيْ حَكَماً – فقالَ : قِيسُوا ما بينَ الأرضَينِ فَإلَى أيّتهما كَانَ أدنَى فَهُوَ لَهُ . فَقَاسُوا فَوَجَدُوهُ أدْنى إِلى الأرْضِ التي أرَادَ ، فَقَبَضَتْهُ مَلائِكَةُ الرَّحمةِ )) مُتَّفَقٌ عليه .

“Dahulu pada masa sebelum kalian ada seseorang yang pernah membunuh 99 jiwa. Lalu ia bertanya tentang keberadaan orang-orang yang paling alim di muka bumi. Namun ia ditunjuki pada seorang rahib. Lantas ia pun mendatanginya dan berkata, ”Jika seseorang telah membunuh 99 jiwa, apakah taubatnya diterima?” Rahib pun menjawabnya, ”Orang seperti itu tidak diterima taubatnya.” Lalu orang tersebut membunuh rahib itu dan genaplah 100 jiwa yang telah ia renggut nyawanya.
Kemudian ia kembali lagi bertanya tentang keberadaan orang yang paling alim di muka bumi. Ia pun ditunjuki kepada seorang ‘alim. Lantas ia bertanya pada ‘alim tersebut, ”Jika seseorang telah membunuh 100 jiwa, apakah taubatnya masih diterima?” Orang alim itu pun menjawab, ”Ya masih diterima. Dan siapakah yang akan menghalangi antara dirinya dengan taubat? Beranjaklah dari tempat ini dan ke tempat yang jauh di sana karena di sana terdapat sekelompok manusia yang menyembah Allah Ta’ala, maka sembahlah Allah bersama mereka. Dan janganlah kamu kembali ke tempatmu(yang dulu) karena tempat tersebut adalah tempat yang amat jelek.”
Laki-laki ini pun pergi (menuju tempat yang ditunjukkan oleh orang alim tersebut). Ketika sampai di tengah perjalanan, maut pun menjemputnya. Akhirnya, terjadilah perselisihan antara malaikat rahmat dan malaikat adzab. Malaikat rahmat berkata, ”Orang ini datang dalam keadaan bertaubat dengan menghadapkan hatinya kepada Allah”. Namun malaikat adzab berkata, ”Orang ini belum pernah melakukan kebaikan sedikit pun”. Lalu datanglah malaikat lain dalam bentuk manusia, mereka pun sepakat untuk menjadikan malaikat ini sebagai pemutus perselisihan mereka. Malaikat ini berkata, ”Ukurlah jarak kedua tempat tersebut (jarak antara tempat jelek yang dia tinggalkan dengan tempat yang baik yang ia tuju -pen). Jika jaraknya dekat, maka ia yang berhak atas orang ini.” Lalu mereka pun mengukur jarak kedua tempat tersebut dan mereka dapatkan bahwa orang ini lebih dekat dengan tempat yang ia tuju. Akhirnya,ruhnya pun dicabut oleh malaikat rahmat.” [1]

Beberapa Faedah Hadits
Pertama: Luasnya ampunan Allah
Hadits ini menunjukkan luasnya ampunan Allah. Hal ini dikuatkan dengan hadits lainnya,
حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « قَالَ اللَّهُ يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِى وَرَجَوْتَنِى غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلاَ أُبَالِى يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِى غَفَرْتُ لَكَ وَلاَ أُبَالِى يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِى بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِى لاَ تُشْرِكُ بِى شَيْئًا لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً »

Anas bin Malik menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ”Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau menyeru dan mengharap pada-Ku, maka pasti Aku ampuni dosa-dosamu tanpa Aku pedulikan. Wahai anak Adam, seandainya dosamu membumbung tinggi hingga ke langit, tentu akan Aku ampuni, tanpa Aku pedulikan. Wahai anak Adam, seandainya seandainya engkau mendatangi-Ku dengan dosa sepenuh bumi dalam keadaan tidak berbuat syirik sedikit pun pada-Ku, tentu Aku akan mendatangi-Mu dengan ampunan sepenuh bumi pula.”[2]

Kedua: Allah akan mengampuni setiap dosa meskipun dosa besar selama mau bertaubat
Selain faedah dari hadits ini, kita juga dapat melihat pada firman Allah Ta’ala,
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az Zumar: 53). Ibnu Katsir mengatakan, ”Ayat yang mulia ini berisi seruan kepada setiap orang yang berbuat maksiat baik kekafiran dan lainnya untuk segera bertaubat kepada Allah. Ayat ini mengabarkan bahwa Allah akan mengampuni seluruh dosa bagi siapa yang ingin bertaubat dari dosa-dosa tersebut, walaupun dosa tersebut amat banyak, bagai buih di lautan. ”[3]

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah akan mengampuni setiap dosa walaupun itu dosa kekufuran, kesyirikan, dan dosa besar (seperti zina, membunuh dan minum minuman keras). Sebagaimana Ibnu Katsir mengatakan, ”Berbagai hadits menunjukkan bahwa Allah mengampuni setiap dosa (termasuk pula kesyirikan) jika seseorang bertaubat. Janganlah seseorang berputus asa dari Rahmat Allah walaupun begitu banyak dosa yang ia lakukan karena pintu taubat dan rahmat Allah begitu luas.”[4]

Ketiga: Janganlah membuat seseorang putus asa dari Rahmat Allah 
Ketika menjelaskan surat Az Zumar ayat 53 di atas, Ibnu Abbas mengatakan, “Barangsiapa yang membuat seorang hamba berputus asa dari taubat setelah turunnya ayat ini, maka ia berarti telah menentang Kitabullah ‘azza wa jalla. Akan tetapi seorang hamba tidak mampu untuk bertaubat sampai Allah memberi taufik padanya untuk bertaubat.”[5]
Keempat: Seseorang yang melakukan dosa beberapa kali dan ia bertaubat, Allah pun akan mengampuninya
Sebagaimana disebutkan pula dalam hadits lainnya, dari Abu Huroiroh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang diceritakan dari Rabbnya ‘azza wa jalla,
أَذْنَبَ عَبْدٌ ذَنْبًا فَقَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى ذَنْبِى. فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَذْنَبَ عَبْدِى ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ. ثُمَّ عَادَ فَأَذْنَبَ فَقَالَ أَىْ رَبِّ اغْفِرْ لِى ذَنْبِى. فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَبْدِى أَذْنَبَ ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ. ثُمَّ عَادَ فَأَذْنَبَ فَقَالَ أَىْ رَبِّ اغْفِرْ لِى ذَنْبِى. فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَذْنَبَ عَبْدِى ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ وَاعْمَلْ مَا شِئْتَ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ

“Ada seorang hamba yang berbuat dosa lalu dia mengatakan ‘Allahummagfirliy dzanbiy’ [Ya Allah, ampunilah dosaku]. Lalu Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, lalu dia mengetahui bahwa dia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukumi setiap perbuatan dosa’. (Maka Allah mengampuni dosanya), kemudian hamba tersebut mengulangi lagi berbuat dosa, lalu dia mengatakan, ‘Ay robbi agfirli dzanbiy’ [Wahai Rabb, ampunilah dosaku]. Lalu Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, lalu dia mengetahui bahwa dia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukumi setiap perbuatan dosa’. (Maka Allah mengampuni dosanya), kemudian hamba tersebut mengulangi lagi berbuat dosa, lalu dia mengatakan, ‘Ay robbi agfirli dzanbiy’ [Wahai Rabb, ampunilah dosaku]. Lalu Allah berfirman, ‘Hamba-Ku telah berbuat dosa, lalu dia mengetahui bahwa dia memiliki Rabb yang mengampuni dosa dan menghukumi setiap perbuatan dosa. Beramallah sesukamu, sungguh engkau telah diampuni.”[6] 

An Nawawi dalam Syarh Muslim mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan ‘beramallah sesukamu’ adalah selama engkau berbuat dosa lalu bertaubat, maka Allah akan mengampunimu.
An Nawawi mengatakan, ”Seandainya seseorang berulang kali melakukan dosa hingga 100 kali, 1000 kali atau lebih, lalu ia bertaubat setiap kali berbuat dosa, maka pasti Allah akan menerima taubatnya setiap kali ia bertaubat, dosa-dosanya pun akan gugur. Seandainya ia bertaubat dengan sekali taubat saja setelah ia melakukan semua dosa tadi, taubatnya pun sah.”[7]
Ya Rabb, begitu luas sekali rahmat dan ampunan-Mu terhadap hamba yang hina ini …

Kelima: Diterimanya taubat seorang pembunuh
An Nawawi rahimahullah mengatakan, ”Ini adalah madzhbab para ulama dan mereka pun berijma’ (bersepakat) bahwa taubat seorang yang membunuh dengan sengaja, itu sah. Para ulama tersebut tidak berselisih pendapat kecuali Ibnu ‘Abbas. Adapun beberapa perkataan yang dinukil dari sebagian salaf yang menyatakan taubatnya tidak diterima, itu hanyalah perkataan dalam maksud mewanti-wanti besarnya dosa membunuh dengan sengaja. Mereka tidak memaksudkan bahwa taubatnya tidak sah.”[8]

Keenam: Orang yang bertaubat hendaknya berhijrah dari lingkungan yang jelek
An Nawawi mengatakan, ”Hadits ini menunjukkan orang yang ingin bertaubat dianjurkan untuk berpindah dari tempat ia melakukan maksiat.”[9]

Ketujuh: Memperkuat taubat yaitu berteman dengan orang yang sholih
An Nawawi mengatakan, ”Hendaklah orang yang bertaubat mengganti temannya dengan teman-teman yang baik, sholih, berilmu, ahli ibadah, waro’dan orang-orang yang meneladani mereka-mereka tadi. Hendaklah ia mengambil manfaat ketika bersahabat dengan mereka.”[10]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan kepada kita agar bersahabat dengan orang yang dapat memberikan kebaikan dan sering menasehati kita.
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً

“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.”[11]
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Hadits ini menunjukkan larangan berteman dengan orang-orang yang dapat merusak agama maupun dunia kita. Dan hadits ini juga menunjukkan dorongan agar bergaul dengan orang-orang yang dapat memberikan manfaat dalam agama dan dunia.”[12]

Kedelapan: Keutamaan ilmu dan orang yang berilmu
Dalam hadits ini dapat kita ambil pelajaran pula bahwa orang yang berilmu memiliki keutamaan yang luar biasa dibanding ahli ibadah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits lainnya, dari Abu Darda’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ

”Dan keutamaan orang yang berilmu dibanding seorang ahli ibadah adalah bagaikan keutamaan bulan pada malam purnama dibanding bintang-bintang lainnya.”[13] 

Al Qodhi mengatakan, ”Orang yang berilmu dimisalkan dengan bulan dan ahli ibadah dimisalkan dengan bintang karena kesempurnaan ibadah dan cahayanya tidaklah muncul dari ahli ibadah. Sedangkan cahaya orang yang berilmu berpengaruh pada yang lainnya.”[14]

Kesembilan: Orang yang berfatwa tanpa ilmu hanya membawa kerusakan
Lihatlah bagaimana kerusakan yang diperbuat oleh ahli ibadah yang berfatwa tanpa dasar ilmu. Ia membuat orang lain sesat bahkan kerugian menimpa dirinya sendiri. Maka benarlah apa yang dikatakan oleh Umar bin ‘Abdul ‘Aziz,
مَنْ عَبَدَ اللهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ

”Barangsiapa beribadah pada Allah tanpa ilmu, maka kerusakan yang ditimbulkan lebih besar daripada perbaikan yang dilakukan.”[15]

Syarat Diterimanya Taubat
Syarat taubat yang mesti dipenuhi oleh seseorang yang ingin bertaubat adalah sebagai berikut:
Pertama: Taubat dilakukan dengan ikhlas, bukan karena makhluk atau untuk tujuan duniawi.
Kedua: Menyesali dosa yang telah dilakukan sehingga ia pun tidak ingin mengulanginya kembali.
Ketiga: Tidak terus menerus dalam berbuat dosa. Maksudnya, apabila ia melakukan keharaman, maka ia segera tinggalkan dan apabila ia meninggalkan suatu yang wajib, maka ia kembali menunaikannya. Dan jika berkaitan dengan hak manusia, maka ia segera menunaikannya atau meminta maaf.
Keempat: Bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut lagi karena jika seseorang masih bertekad untuk mengulanginya maka itu pertanda bahwa ia tidak benci pada maksiat.
Kelima: Taubat dilakukan pada waktu diterimanya taubat yaitu sebelum datang ajal atau sebelum matahari terbit dari arah barat. Jika dilakukan setelah itu, maka taubat tersebut tidak lagi diterima.
Inilah syarat taubat yang biasa disebutkan oleh para ulama.
Penutup

Saudaraku yang sudah bergelimang maksiat dan dosa. Kenapa engkau berputus asa dari rahmat Allah? Lihatlah bagaimana ampunan Allah bagi setiap orang yang memohon ampunan pada-Nya. Orang yang sudah membunuh 99 nyawa + 1 pendeta yang ia bunuh, masih Allah terima taubatnya. Lantas mengapa engkau masih berputus asa dari rahmat Allah?!

Orang yang dulunya bergelimang maksiat pun setelah ia taubat, bisa saja ia menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Ia bisa menjadi muslim yang sholih dan muslimah yang sholihah. Itu suatu hal yang mungkin dan banyak sekali yang sudah membuktikannya. Mungkin engkau pernah mendengar nama Fudhail bin Iyadh. Dulunya beliau adalah seorang perampok. Namun setelah itu bertaubat dan menjadi ulama besar. Itu semua karena taufik Allah. Kami pun pernah mendengar ada seseorang yang dulunya terjerumus dalam maksiat dan pernah menzinai pacarnya. Namun setelah berhijrah dan bertaubat, ia pun menjadi seorang yang alim dan semakin paham agama. Semua itu karena taufik Allah. Dan kami yakin engkau pun pasti bisa lebih baik dari sebelumnya. Semoga Allah beri taufik.

Ingatlah bahwa orang yang berbuat dosa kemudia ia bertaubat dan Allah ampuni, ia seolah-olah tidak pernah berbuat dosa sama sekali. Dari Abu ‘Ubaidah bin ‘Abdillah dari ayahnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ

”Orang yang bertaubat dari suatu dosa seakan-akan ia tidak pernah berbuat dosa itu sama sekali.”[16]
Setiap hamba pernah berbuat salah, namun hamba yang terbaik adalah yang rajin bertaubat. Dari Anas, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ بَنِى آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

“Semua keturunan Adam adalah orang yang pernah berbuat salah. Dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang bertaubat.”[17]

Orang yang bertaubat akan Allah ganti kesalahan yang pernah ia perbuat dengan kebaikan. Sehingga seakan-akan yang ada dalam catatan amalannya hanya kebaikan saja. Allah Ta’ala berfirman,
إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

”Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Furqon: 70)

Al Hasan Al Bashri mengatakan, ”Allah akan mengganti amalan kejelekan yang diperbuat seseorang dengan amalan sholih. Allah akan mengganti kesyirikan yang pernah ia perbuat dengan keikhlasan. Allah akan mengganti perbuatan maksiat dengan kebaikan. Dan Allah pun mengganti kekufurannya dahulu dengan keislaman.”[18]

Sekarang, segeralah bertaubat dan memenuhi syarat-syaratnya. Lalu perbanyaklah amalan kebaikan dengan melaksanakan yang wajib-wajib dan sempurnakan dengan shalat sunnah, puasa sunnah dan sedekah, karena amalan kebaikan niscaya akan menutupi dosa-dosa yang telah engkau perbuat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan sebuah nasehat berharga kepada Abu Dzar Al Ghifariy Jundub bin Junadah,
اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

“Bertakwalah kepada Allah di mana saja kamu berada dan ikutkanlah kejelekan dengan kebaikan, niscaya kebaikan akan menghapuskannya dan berakhlaqlah dengan sesama dengan akhlaq yang baik.”[19]

Semoga Allah menerima setiap taubat kita. Semoga Allah senantiasa memberi taufik kepada kita untuk menggapai ridho-Nya.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Disusun di rumah mertua tercinta, Panggang-Gunung Kidul , 1 Shofar 1431 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Footnote:
1 HR. Bukhari dan Muslim no. 2766.
2 HR. Tirmidzi no. 3540. Abu Isa mengatakan bahwa hadits ini ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
3 Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 12/138-139, Muassasah Qurthubah.
4 Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12/140.
5 Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12/141.
6 HR. Muslim no. 2758.
7 Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 17/75.
8 Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 17/82, Dar Ihya’ At Turots.
9 Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 17/83
10 Idem
11 HR. Bukhari no. 2101, dari Abu Musa.
12 Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 4/324, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379
13 HR. Abu Daud no. 3641 dan no. 2682.
14 Lihat Tuhfatul Ahwadzi, Muhammad Abdur Rahma Al Mubarakfuri Abul ‘Ala, 7/376, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut.
15 Lihat Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 15, Mawqi’ Al Islam.
16 HR. Ibnu Majah no. 4250. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
17 HR. Ibnu Majah, Ad Darimi, Al Hakim. Dikatakan hasan oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih
18 Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 10/326-327, Muassasah Qurthubah.
19 HR. Tirmidzi no. 1987. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan lighoirihi (hasan dilihat dari jalur lainnya). Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib 2655.
http://faisalchoir.blogspot.sg/2012/02/aku-ingin-bertaubat-tetapi.html