Selasa, 24 Juni 2014

Mengagungkan Budaya Adat, Melestarikan Syirik dan Maksiat

SINETRON, film, bahkan konser musik, sudah menjadi media penghantar untuk menjejalkan kemusyrikan dan aneka kemunkaran kepada penikmatnya. Namun, ada yang telah lebih dulu mejadi media penghantar bahkan pelestari kemusyrikan dan aneka kemunkaran, yaitu apa yang disebut dengan tradisi atau budaya lokal.

Tradisi atau budaya lokal itu disamping dijadikan sebagai sarana penghantar bahkan pelestari kemusyrikan, kemaksiatan, dan kemunkaran; masih pula kemudian dijejalkan kepada murid-murid sekolah, yang sering dikemas dalam pelajaran apa yang disebut Bahasa Indonesia yang setiap sepekannya menghabiskan sekitar 8 sampai 10 jam pelajaran. Sedang pelajaran agama hanya sekitar 2 jam pelajaran alias 80 sampai 90 menit. Sementara Pelajaran Bahasa Indonesia menghabiskan waktu sekitar 450 menit. Jadi pelestarian kemusyrikan dan kemunkaran lebih punya banyak waktu dibanding waktu untuk pelajaran agama. Mari kita simak kembali kondisi pendidikan di Indonesia.

Menanamkan kemusyrikan lewat pendidikan

Kenapa hasilnya seburuk itu?
       Ya bagaimana mau menghasilkan alumni yang baik, lha wong kurikulumnya saja hanya mementingkan 4 pelajaran (bukan pendidikan dan bukan hal yang penting-penting amat di dunia apalagi di akherat); yaitu bahasa (Indonesia di sekolah dasar, ditambah Bahasa Inggeris di sekolah lanjutan), matematika, dan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) atau sain. Sedang pelajaran agama Islam (sekadar pelajaran, tidak sampai pendidikan agama Islam) seolah hanya embel-embel, sejajar dengan pendidikan lingkungan (seperti masalah menguras comberan). Dari sini sudah tergambar, bahwa pendidikan di Indonesia mengabaikan agama.

Ketika kenyataannya sudah mengabaikan agama, sedang tujuan disekolahkannya anak-anak itu hanya agar nantinya dapat cari makan, maka hasilnya adalah apa yang sudah diancam oleh Alloh Subhanahu wa ta'ala yaitu: manusia-manusia yang melampaui batas dan  lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal (nya). (QS An-Nazi’at/ 79: 37, 38, 39)

       Yang diujikan dan menjadi fokusnya ya yang 4 pelajaran itu. Padahal tentang bahasa Indonesia misalnya, seminggu 10 jam pelajaran artinya sebulan 40 jam pelajaran itu berbicara sekitar dongeng-dongeng atau legende-legende seperti Malim Kundang, Situ Bagendit, dongeng khayal yang menyebarkan kemusyikan seperti tentang Dewi Sri yang dianggap sebagai dewa padi; dan sebagainya yang sama sekali tidak memajukan secara kehidupan di dunia ini, bahkan lebih mungkin merusak aqidah ummat Islam.

Contoh nyata, Dongeng Datangnya Dewi Sri. Ada kalimat: “Semua merasa bahwa padi adalah pemberian Dewi Sri untuk bahan pangan untuk seluruh manusia. Di Pulau Jawa orang menyebutnya Dewi Sri. Di Sumatra ada yang menamakannya Putri Dewi Sri, Putri Mayang Padi Mengurai, atau Putri Sirumpun Emas Lestari.” (buku Bahasa Indonesia untuk SD/ MI (Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah) Kelas 4, karangan Widyati S, terbitan PT Bintang Ilmu cetakan 2, Juni 2006, halaman 35).

       Itu jelas pendidikan kemusyrikan! Dongeng khayal, namun merusak aqidah anak-anak kelas 4 SD atau Madrasah Ibtidaiyah. Masih pula ditekankan dalam buku itu: Siapakah tokoh-tokoh dalam cerita tersebut? Ayo tentukanlah pokok-pokok pikiran dalam dongeng tersebut di buku tugasmu!. Ayo, ceritakan dongeng tersebut di depan kelas! (ibid).

Pokok-pokok pikiran itu tak lain adalah penyesatan tertinggi yaitu menyebarkan kemusyrikan!

Untuk lebih lihai dalam praktek ritual kemusyrikan, sudah dituntun pula dengan buku Bahasa Indonesia itu, yaitu digemarkan menari. Jadi kalau diadakan upacara kemusyrikan sudah mampu menjadi penari. Maka ditulislah kalimat: “Lina gemar menari. Dia ingin belajar tari dari Bali. Oleh sebab itu, Lina ingin belajar menari di Sanggar Anggrek.” (ibid, halaman 26). Itulah “pendidikan” alias penyesatan yang diprogramkan secara sistematis di negeri ini, agar generasi mendatang jadi orang-orang musyrik secara nyata, dengan dibekali ubo rampenya (aneka perangkatnya).  (lihat nahimunkar.com, FENOMENA PENGHANCURAN BANGSA (1) rknya Pendidikan, Isinya Penjahiliyahan,Oleh Hartono Ahmad Jaiz, July 4, 2008 Artikel).

Keadaan yang sudah parah itu masih ditambah lagi dengan media-media massa baiki televise, radio, majalah, Koran, tabloid, internet dan sebagainya yang rata-rata sinis terhadap Islam akhir-akhir ini. Itu bukan hanya dari kelompok non Islam, tetapi dari orang yang mengaku Islam tetapi mungkin dapat disewa oleh orang lain, justru lebih kencang dalam merusak pemahaman Islam lewat media yang mereka kuasai. Sehingga tak segan-segan mereka membesar-besarkan kemusyrikan, kemunkaran, dan suara-suara tokoh yang sinis terhadap Islam.

Tampaknya mereka tidak menyadari bahwa semua itu dicatat oleh malaikat, yang nantinya di akherat harus dipertanggung jawabkan secara total. Padahal yang mereka perjuangkan justru kemusyrikan, kemaksiatan, kemunkaran, dan kesinisan terhadap Islam.

Di saat manusia-manusia durjana berkeliaran di bumi milik Allah Ta’ala ini sikapnya seperti itu, maka aneka kemusyrikan, kemaksiatan, dan kemunkaran yang dibungkus dengan tradisi atau budaya local, kemudian dibumbui simbol-simbol Islam seperti doa maka merupakan makanan paling empuk bagi mereka. Bagai tumbu oleh tutup (bakul mendapatkan tutup), klop. Pucuk dicinta ulam tiba. Kemusyrikan, kemaksiatan, dan kemunkaran dicinta karena sejalan dengan isi jiwa para pesinis Islam, kemudian masih diberi angin segar pula yakni apa yang sering mereka kumandangkan yaitu perlunya kita melestarikan budaya warisan leluhur. Maka jadilah adonan yang kental, siap saji dan bisa diproyekkan. Apakah akan mereka sia-siakan? Tentu saja tidak. Buktinya seperti berita-berita yang kami tampilkan disertai langsung komentar seperti berikut ini.

Tradisi Syawalan

Tradisi syawalan biasanya berlangsung satu pekan (hari ketujuh dan seterusnya) setelah merayakan Lebaran (Hari Raya Iedul Fithri). Isi tradisi ini penuh dengan berbagai kegiatan yang meriah (variety show), seperti Lomban atau Pesta Lomban  (di Jepara, Jawa Tengah) atau Pesta Laut. Ada pula tradisi larung sesaji di laut. Tradisi tahunan Syawalan ini konon sudah berlangsung sejak tahun 1883. Pada tradisi larung sesaji, materi yang dilarung sebagai sesaji antara lain berupa kepala kerbau bersama tumpeng tujuh lauk (nasi berbentuk gunung dengan 7 macam penganan pendamping nasi).

Kepala kerbau dan tumpeng tujuh lauk tadi, kemudian dihanyutkan (dilarung) ke tengah laut, diiringi tetabuhan rebana. Sementara itu, pasca prosesi larung, para tokoh masyarakat dan ‘ulama’ melakukan doa bersama di atas kapal. Dengan harapan, para nelayan diberi keselamatan dan mendapat hasil tangkapan ikan yang melimpah. Di darat, selama sepekan digelar pasar malam dan berbagai panggung hiburan seperti orkes dangdut dan ketoprak.

Sebagaimana diberitakan Republika online edisi 19 Syawal 1429 H (bertepatan dengan 19 Oktober 2008), tradisi di atas dilaksanakan oleh masyarakat nelayan sekitar Margolinduk, Purworejo, dan Morodemak, (wilayah Demak Jawa Tengah) berserta Muspida dan sejumlah ‘ualama’ setempat.

Sekilas, karena ada doa bersama (dalam bahasa Arab), maka bagi masyarakat awam, tradisi tadi disangka bagian dari ajaran Islam. Sebenarnya tidak, bahkan justru bertentangan. Pasca menjalani shaum Ramadhan, memasuki bulan Syawal (malam tanggal 1 Syawal alias malam Iedul Fithri), Islam mengajarkan ummatnya untuk membayar zakat fithri (paling lambat sebelum berlangsung shalat Ied), melaksanakan shalat Ied di lapangan terbuka, kemudian sejak hari kedua Syawal, menjalankan puasa Syawal selama enam hari.

Larung sesaji dengan kepala kerbau berikut tumpeng tujuh lauk dengan diiringi tetabuhan rebana, kemudian diikuti doa bersama di tengah laut, bukanlah ajaran Islam. Tidak ada anjuran atau contoh seperti itu yang datangnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu juga dengan tujuan atau maksud dari larung sesaji dan doa bersama dengan harapan para nelayan memperoleh hasil melimpah dan terjaga keselamatannya selama melaut, tidak boleh ditempuh dengan cara-cara seperti itu.

Tradisi larung sesaji dengan kepala kerbau, jelas tidak ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Allah tidak membutuhkan kepala kerbau. Tetapi, ditujukan kepada makhluk ghaib lain yang bukan Allah tetapi syaithon dan sejenisnya. Menghanyutkan sejumlah tumpeng dengan tujuh lauk, merupakan perbuatan tabzir (pemborosan), pelakunya disebut mubazir (pemboros) yang dinyatakan dalam Al-Qur’an sebagai saudaranya syaithon.

وَآتِ ذَا اْلقُرْبَى حَقَّهُ وَاْلِمْسكِيْنَ وَابْنَ الَّسِبْيلِ وَلاَ تُبَذِّرْ تَبْذِيْراً # إِنَّ اْلمُبَذِّرِيْنَ كاَنُوْا إِخْوَانَ الشَّيْطَانِ وَكاَنَ الشَّيْطَانِ لِرَبِّهِ كَفُوْراً

26.  Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
27.  Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. (QS Al-Israa’/ 17: 26, 27).

Begitu juga dengan pasar malam dan hiburan musik dangdut dan sebagainya, itu semua tidak ada kaitannya dengan ibadah sesudah shaum Ramadhan, tidak ada kaitannya dengan anjuran dan contoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Itu semua adalah perbuatan syaithon, ajaran kemaksiatan dengan campur aduk lelaki dan perempuan, dan kalau itu dalam rangkaian sesaji maka merupakan rangkaian kemusyrikan yang dibungkus tradisi, kemudian dikelabui dengan rapalan doa-doa berbahasa Arab, sehingga terkesan seolah-olah Islami, padahal justru kian menjauh dari Islam.

Dengan dalih tradisi nenek moyang, maka masyarakat awam tidak menolak keberadaan kemuysrikan. Tradisi ibarat kapsul, sedangkan racunnya yang berada di dalam kapsul adalah prosesi kemusyrikan dan aneka kemunkaran lainya. Tradisi ini kemudian dibungkus lagi dengan sesuatu yang indah bernama budya lokal atau tradisional. Nah, masyarakat awam kemudian ‘ditakut-takuti’ dengan ‘ancaman’ bila tidak taat pada tradisi dan kebudayaan tadi maka akan disebut tidak njawani, tidak indonesiawi, dan sebagainya.

Terbukti, di desa Bendar, Kecamatan Juwana, seorang tokoh masyarakat di sana mengatakan, “Kita tidak berani, jika tidak menggelar tradisi yang sudah dilakukan sejak nenek moyang kami. Tradisi ini, bukan berarti syirik, tetapi sebagai tradisi dan budaya masyarakat setempat yang harus kita jaga dan sebagai ungkapan rasa syukur kami.” (Radar Kudus, Rabu, 08 Oktober 2008).

Tidak berani atau takut tadi entah tertuju kepada siapa. Padahal, rasa takut (taqwa) seharusnya tertuju hanya kepada Allah saja. Seseorang yang tidak mengikuti tradisi (budaya) Jawa, dia tetap orang Jawa dan tetap orang Indonesia. Hanya karena ingin tetap dibilang orang Jawa atau orang Indonesia tetapi dengan mengikuti tradisi (kebudayaan tradisional) yang musyrik, itu merupakan sebuah pilihan yang salah fatal. Sebab, status kejawaan dan keindonesiaan seseorang tidak dapat menolongnya dari dosa besar syirik. Padahal dosa syirik itu dosa terbesar, tidak diampuni oleh Allah Ta’ala apabila seseorang meninggal dalam keadaan musyrik, belum bertaubat. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيْمًا
48.  Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (QS An-Nisaa’: 48).

Pesta Lumban atau Pesta Laut

Di tempat lain, pesta lomban yang disebut juga dengan pesta laut, berisi antara lain wisata air menggunakan kapal cothok yang disewa dari para nelayan setempat. Sebagian warga ada yang datang hanya untuk sekadar berendam atau membasahi tubuh dengan air laut, dengan keyakinan untuk membuang sial. Usai berendam dan mandi mereka makan-makan di pesisir pantai. Di kabupaten Jepara, pesta laut seperti ini sudah berlangsung lebih dari satu abad.

Di dalam Islam tidak ada istilah membuang sial. Apalagi dengan cara lumban ataupun kungkum atau apa saja yang kaitannya dengan perbuatan yang tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sial itu sendiri tidak akan menimpa manusia kecuali kalau allah Ta’ala menetapkan-Nya.

قُلْ لَنْ يُصِيْبَناَ إِلاَّ مَا كَتَبَ اللهُ لَنَا هُوْ مَوْلاَناَ وَعَلَى اللهِ فَلْيَتَوَكَّلِ اْلمُؤْمِنُوْنَ
51.  Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dia lah pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (QS At-taubah/ 9: 51).

Setiap kebaikan akan kembali berupa kebaikan bagi pelakunya. Begitulah ajaran Islam. Musibah, dapat terjadi kapan saja dan menimpa siapa saja. Bila di suatu tempat ada sekelompok orang yang suka menebangi hutan secara liar, maka musibah banjir akan menimpa siapa saja, orang beriman atau tidak. Tugas orang beriman adalah, selain tidak melakukan penebangan liar dan brutal, juga turut mencegah orang lain melakukan hal itu.

Allah Ta’ala memperingatkan:

ظَهَرَ اْلفَسَادُ فيِ اْلبَرِّ وَاْلبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيْ النَّاسَ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
41. Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS Ar-Ruum: 41).

وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لاَ تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ شَدِيْدُ اْلعِقَابِ
25.  Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (QS Al-Anfaal/ 8: 25).

Masyarakat Islam di Indonesia, faktanya tidak saja dikepung oleh pemikiran sepilis (sekulerisme, pluralisme agama alias menyamakan semua agama (ini kemusyrikan baru), bahkan neo komunis, pada satu sisi; namun pada sisi lain  juga masih dijejali dengan tradisi yang bersifat syirik kepada Allah, diliputi dengan kemunkaran. Ironisnya, kedua sisi tadi dapat kita temukan diRepublika, yang selama ini masih diposisikan oleh sebagian orang sebagai koran Islam. Gayapenyajian Republika terhadap tradisi yang bermuatan syirik dan kemunkaran, cenderung kepada mempromosikannya. Padahal, seharusnya Republika menjadi media yang dapat mempengaruhi masyarakat (termasuk Muspida dan ‘ulama’ setempat) untuk meninggalkan tradisi yang selain tidak Islami juga tidak rasional dan merupakan sebuah pemborosan.

Meski hanya satu rupiah yang kita keluarkan untuk kemusyrikan dan aneka kemunkaran, itu terlalu mahal. Apalagi kemusyrikan dan aneka kemunkaran yang dilakukan sekelompok orang itu menghabiskan dana ratusan juta rupiah. Lebih baik dananya digunakan untuk membangun gedung sekolah, dibagi-bagikan kepada pedagang kecil, petani dan nelayan sebagai tambahan modal, sehingga mereka tidak terlalu menderita akibat adanya krisis global ini.

Di desa Bendar, Kecamatan Juwana, Kudus, Jawa Tengah, tradisi larung sesaji menghabiskan dana sebesar Rp 350 juta. Uang sebanyak itu dihambur-hamburkan untuk melakukan sesuatu yang selain tidak rasional juga musyrik. Artinya, dengan uang sebanyak itu pelakunya tidak mendapat keuntungan apa-apa di dunia dan akhirat.

Di dalam hadits dinyatakan, ada orang yang masuk neraka hanya karena berkorban dengan lalat. Tidak sampai bernilai tinggi apalagi ratusan juta rupiah, hanya dengan berkorban lalat saja karena untuk syetan, maka akibatnya masuk neraka. Haditsnya sebagai berikut:

{ دَخَلَ رَجُلٌ الْجَنَّةَ فِي ذُبَابٍ وَدَخَلَ النَّارَ رَجُلٌ فِي ذُبَابٍ , قَالُوا : وَكَيْفَ ذَلِكَ ؟ قَالَ مَرَّ رَجُلاَنِ عَلَى قَوْمٍ لَهُمْ صَنَمٌ لاَ يَجُوزُهُ أَحَدٌ حَتَّى يُقَرِّبَ لَهُ شَيْئًا، فَقَالُوا لأَحَدِهِمَا : قَرِّبْ قَالَ : لَيْسَ عِنْدِي شَيْءٌ فَقَالُوا لَهُ قَرِّبْ وَلَوْ ذُبَابًا، فَقَرَّبَ ذُبَابًا فَخَلَّوْا سَبِيلَهُ قَالَ : فَدَخَلَ النَّارَ، وَقَالُوا لِلآخَرِ قَرِّبْ وَلَوْ ذُبَابًا قَالَ مَا كُنْت لأُقَرِّبَ لأَحَدٍ شَيْئًا دُونَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ : فَضَرَبُوا عُنُقَهُ قَالَ فَدَخَلَ الْجَنَّةَ } قسم العقيدة – (ج 21 / ص 179) أخرجه أحمد في الزهد (22) وأبو نعيم في « الحلية » 1 / 203 موقوفا على سليمان الفارسي . عن طارق عن سلمان الفارسي موقوفاً بسندٍ صحيحٍ.
صحيح موقوفا: رواه أحمد في الزهد (15 , 16), وأبو نعيم في الحلية (1/203) عن طارق بن شهاب عن سلمان الفارسي موقوفا بسند صحيح أفاده الدوسري في النهج السديد.
Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda: Ada seorang yang masuk naar (neraka) karena lalat dan seorang lainnya yang masuk jannah (surga) karena lalat. Maka para sahabat radhiyallahu ‘anhu bertanya, Bagaimana bisa begitu wahai Rasulullah? Maka jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Dua orang lelaki lewat pada suatu kaum yang memiliki berhala yang tidak boleh dilewati tanpa berkorban sesuatu. Maka kaum itu berkata kepada lelaki yang pertama, Sembelihlah kurban! Jawab lelaki tersebut, Aku tidak punya sesuatu untuk dikorbankan. Maka kata kaum tersebut, Berkurbanlah walau hanya dengan seekor lalat! Maka lelaki itu melakukannya dan ia bisa lewat dengan selamat, tetapi ia masuk naar (neraka). Maka hal yang sama terjadi pada lelaki yang kedua, saat diminta berkurban ia menjawab, Aku tidak akan berkurban kepada sesuatu pun selain Allah ‘Azza wa Jalla, maka lelaki yang kedua ini dipenggal kepalanya oleh mereka dan ia masuk jannah (surga).  (HR. Ahmad dalam Az-Zuhd halaman 15, 16, dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 1/ 203 dari Thariq bin Syihab dari Salman Al-Farisi, mauquf, dengan sanad shahih).

Di desa Bendar ini sesaji yang dilarung berupa kepala kambing (bukan kerbau), dengan diiringi 25 wanita cantik yang mengantar sesaji tadi menuju laut atau sungai Juwana tempat prosesi larung sesaji dilakukan. Agar tidak terkesan hura-hura semata, karena begitu banyaknya pemusik dangdut yang didatangkan, maka sebagai puncak acara digelar pengajian.

Pengajian seperti itu jelas merupakan pengajian yang dijadikan alasan untuk menepis adanya muatan kemusyrikan dan aneka kemunkaran yang terkandung di dalam tradisi Lomban atau Pesta Laut tadi. Tradisi, budaya, dan pengajian telah dijadikan media untuk menjejalkan kemusyrikan dan aneka kemunkaran. Pelakunya, jelas dilaknat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Mereka rela mengeluarkan uang untuk berkorban demi syetan laut yang mereka percayai. Padahal, berkorban untuk selain Allah Ta’ala adalah tindakan kemusyrikan, menyekutukan Allah Ta’ala, dosa terbesar yang pelakunya akan menjadi penghuni neraka, bila meninggal dalam keadaan belum taubat dengan taubatan nashuha, taubat yang sebenar-benarnya, dan tidak mengulanginya.

وَلَقَدْ أُوْحِيَ إِلَيْكَ وَإِلىَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: “Jika kamu musyrik/menyekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi…” (QS Az-Zumar/39: 65).

إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيْمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS  An-Nisa’/  4: 48).

Sedekah Laut

Larung sesaji yaitu menghanyutkan sesajian ke laut lepas, tidak hanya dilakukan sebagai bagian dari tradisi tahunan syawalan. Tetapi, dapat dilakukan di luar waktu-waktu itu, dalam rangka menjalankan sebuah tradisi yang diberi nama sedekah laut. Tujuannya, untuk mendapatkan keselamatan selama melaut, dan untuk mendapatkan keberkahan (ngalap berkah) dari aktivitas melaut yang dilakukan sepanjang tahun.

Adakalanya, tradisi sedekah laut juga dibarengi dengan kegiatan lain, misalnya haul (memperingati hari kematian seseorang, ulang tahun kematian). Contohnya di Demak, masyarakat Desa Bedono, Kecamatan Sayung pernah mengadakan tradisi sedekah laut sekaligus memperingati ulang tahun kematian (haul) KH Mudzakir. Haul dilaksanakan pada hari Sabtu (01 Des 2007) pukul 16.00 di pemakaman Mudzakir yang dikelilingi air laut. Sedangkan sedekah laut berupa selamatan tumpeng (melarung/ menghanyutkan tumpeng) diadakan pada keesokan harinya (Minggu o2 Des 2007) pukul 08.00 di perairan pantai Morosari. Kegiatan tradisional itu sebagai upacara selamatan para nelayan. Selain melarung tumpeng ke laut, juga diadakan acara ruwatan bumi yang ditandai dengan pergelaran wayang kulit. (Suara Merdeka, Sabtu, 01 Desember 2007).

Di Cilacap, sejumlah 40 warga Desa Cidondong, Bantarsari, Cilacap yang bermaksud ngalap berkah pada acara sedekah laut yang diselenggarakan di Pantai Teluk Penyu Cilacap Jawa Tengah,  Jumat 2 Januari 2009, justru mengalami musibah. Tiga di antaranya meninggal dunia, dan 20 lainnya mengalami luka berat. Peristiwa kecelakaan tunggal tersebut diduga karena sopir kurang menguasai medan jalan di ruas Jeruklegi-Kubangkangkung yang berkelok dan banyak rusak. (Pos Kota Sabtu 3 Januari 2009, Jam: 10:11:00)

Betapa berat tanggung jawab para pemimpin dan penyelenggara upacara kemusyrikan itu. Mereka telah menyeret warga ke kubangan kemusyrikan, dan bahkan sebagian dari mereka ada yang mati dalam keadaan hendak menghadiri upacara yang sangat dimurkai Allah Ta’ala itu. Orang-orang awam yang jahil agamanya, tidak tahu agama, telah jadi korban. Baik fisiknya maupun hartanya, bahkan keyakinannya sekalian. Itu sudah habis-habisan. Na’udzubillahi min dzalik, kami berlindung kepada Allah dari hal yang demikian.

Tradisi Suro (Muharram)

Bukan hanya bulan Syawal yang telah dijadikan momen mensosialisasikan kemusyrikan dan aneka kemunkaran lainnya, tetapi juga bulan Muharram alias bulan Suro dalam istilah Jawa. Kemungkinan istilah Suro diambil dari ‘Asyura (hari ke sepuluh). Di dalam ajaran Islam, memang disyariatkan menjalankan puasa ‘Asyura di bulan Muharram yaitu tanggal 10 Muharram, dan lebih baiknya dengan tanggal 9, agar menyelisihi Yahudi yang memperingati tanggal 10 Muharram itu karena mereka selamat dari Fir’aun. Di Dalam Islam, tidak ada perayaan yang aneh-aneh, apalagi bermuatan syirik kepada Alah, bermuatan kemunkaran dan sebagainya.

Oleh sebagian orang, malam 1 Muharram atau malam 1 Suro diisi dengan berbagai kegiatan yang tidak ada kaitannya dengan Islam. Misalnya, masyarakat Kaliurang Jogjakarta mengisi malam 1 Suro dengan menggelar kirab Topo Bisu, yaitu mengelilingi seluruh kawasan wisata di Kaliurang, tanpa bicara sedikit pun seraya mengucapkan doa (permohonan) di dalam hati. Peserta kirab, yang jumlahnya ratusan itu, berbusana Jawa lengkap dengan pernak-pernik khas Jawa.

Di Keraton Kasunanan Surakarta, pada malam 1 Suro tahun lalu, dirayakan dengan menggelar kirab pusaka dengan mengarak Kebo Kyiai Slamet. Kala itu, Keraton Surakarta hanya mengarak empat ekor kebo bule Kyai Selamet, sebab sebagian kebo ngambek dan lainnya mengamuk. Akibat, kejadian ini, warga Solo menyimpulkan ngambeknya kebo tersebut pertanda akan terjadi sesuatu di tanah Jawa. (Ini kepercayaan tathayyur, menganggap suatu kejadian diyakini sebagai perlambang akan datangnya sial).

Masyarakat Jogjakarta, mengisi malam 1 Suro dengan melakukan tirakat Mubeng Benteng (memutari benteng) Keraton Yogyakarta sebanyak tujuh kali tanpa bicara. Itu merupakan salah satu tirakat, salah satu laku (amalan) yang dipercaya dapat menyingkirkan marabahaya yang akan menimpa Jogjakarta.

Bagi masyarakat Jogja yang memiliki benda pusaka (seperti keris, tombak, wesi aji, dan sejenisnya), pada saat itu mengkhususkan diri memandikan atau mencuci (njamasi) benda-benda pusaka tadi dengan air kembang setaman. Karena, mereka percaya benda-benda pusaka tadi memiliki kekuatan supranatural.

Di kawasan Parangtritis, Kabupaten Bantul, setiap malam satu Suro, sejumlah masyarakat memadati kawasan itu, khususnya di sekitar Puri Parangkusumo untuk memanjatkan doa (permohonan), entah kepada siapa. Puri Parangkusumo dipercaya sebagai tempat pertemuan asmara antara Panembahan Senopati (pendiri kerajaan Mataram Islam) dan Nyi Roro Kidul. Di tempat ini digelar ritual khusus bagi mereka yang percaya tentang masalah kejawen (ilmu kebatinan).

Malam 1 Suro bagi masyarakat Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, diisi dengan melakukan ritual sedekah di Gunung Merapi (Sedekah Merapi), berupa mempersembahkan kepala kerbau dan tujuh tumpeng nasi kepada leluhur Kyai/Nyai Singomerjoyo, Kyai/Nyai Simbarjaya, Nyai Gadung Melati (penunggu kawasan Pasar Bubrah) dan Kyai Petruk (penguasa seluruh Merapi). Tujuannya, agar Gunung Merapi tidak marah lagi dengan letusannya. Ritual ini dilengkapi pula dengan melantunkan shalawat dan memanjatkan doa berbahasa Arab (secara Islam?). Bersamaan dengan itu, kepala kerbau dan tujuh tumpeng nasi sebagai materi sedekah pun dibawa ke kawah Merapi dan dilabuh di sana. Meski ada lantunan shalawat dan doa berbahasa Arab, namun demikian tradisi ini tidak lepas dari dosa berbuat syirik kepada Allah dan dosa berupa perbuatan tabzir.

Berebut Air Jamasan

Setiap malam 1 Suro di Pendopo Pura Mangkunegaran, Surakarta, Jawa Tengah, dilakukan ritual memandikan (mencuci) pusaka milik Pura Mangkunegaran. Pusaka itu berwujud Tombak dan Joli (sebuah rumah-rumahan kecil berisi pakaian milik Mangkunagoro I atau Raden Mas Said), yang dipanggul empat orang prajurit Mangkunegaran.

Pusaka tersebut dibawa dengan cara dikirabkan (semacam pawai) mengelilingi Pura Mangkunegaran dengan ikuti para kerabat Mangkunegaran, abdi dalem dan masyarakat lainnya, sambil menerapkan “laku bisu” (sama sekali tidak bicara), sebagai wujud keprihatinan terhadap kondisi negara saat ini. Tujuannya, untuk mendapatkan keselamatan sekaligus dalam rangka tolak bala.

Bersamaan dengan itu, sejumlah abdi dalem menyebarkan bungkusan nasi kepada ribuan orang yang mengikuti ritual tersebut. Mereka saling berebutan, karena diyakini siapa saja yang mendapatkan bungkusan nasi tersebut akan mendapatkan banyak berkah dan diberi kemurahan rezeki.

Benda pusaka tadi dicuci atau dimandikan atau dijamas dengan air bercampur bunga. Air sisa mencuci benda pusaka tadi, atau biasa disebut air jamasan, diperebutkan oleh ribuan warga masyarakat yang percaya bahwa air dan bunga sisa jamasan tadi dapat membawa berkah.

Ritual tersebut berlangsung pada 28 Desember 2008 (malam 1 Suro), sekitar pukul 19:00 waktu setempat.

Rebutan air jamasan juga terjadi di Jogjakarta. Menurut pemberitaan detiknews edisi Jumat, 02/01/2009 13:27 WIB, ratusan warga berebutan air sisa jamasan (pencucian) kereta pusaka Kraton Ngayogyakarto Hadiningrat. Berbeda dengan di Solo yang ritual mencuci benda pusakanya berlangsung pada malam 1 Suro, di Jogja ritual mencuci benda pusaka berlangsung pada hari Jumat tanggal 2 Januari 2009, bertepatan dengan tanggal 5 Suro (hari pasaran Jumat Kliwon) tahun 1942 berdasarkan penanggalan Jawa.

Benda pusaka (kereta pusaka Kraton Ngayogyakarto Hadiningrat) yang dijamas adalah kereta utama yang diberi nama Kanjeng Nyai Jimat, dan satu buah kereta pengiringnya. Pada masanya, kereta utama buatan Belanda pada pertengahan abad 18 tersebut, boleh jadi merupakan barang mewah. Kalau dikiaskan dengan masa sekarang, barangkali setara dengan mobil mewah Jaguar, Mercedes Benz atau Volvo. Barang mewah itu merupakan hadiah dari Gubernur Jenderal Belanda di Batavia (Jacob Mossel) kepada Sri Sultan Hamengku Buwono I sampai Sri Sultan Hamengku Buwono IV. Maksudnya, untuk dijadikan kendaraan utama para sultan tersebut.

Kalau saja saat itu sudah ada KPK, mungkin Sri Sultan sudah diseret KPK karena menerima hadiah barang mewah, dari penjajah pula. Hadiah yang diberikan penjajah tentu bukan tanpa maksud. Pasti ada tujuan-tujuan berupa mengekalkan kolonialisme di Nusantara. Siapapun yang menerima hadiah dari penjajah untuk mengekalkan kolonialisasi di daerah jajahannya, layak disebut sebagai pengkhianat.

Seandainya Jacob Mossel masih hidup dan melihat barang mewah yang dihadiahkannya kepada Sultan masih terawat, mungkin ia akan merasa senang. Tetapi, ketika ia melihat benda itu diperlakukan sebagai benda bertuah, bahkan air cuciannya diperebutkan banyak orang, mungkin ia akan tertawa terkekeh-kekeh melihat betapa bodohnya bangsa koeli van Jogja ini.

Boleh jadi Jacob Mossel juga akan terheran-heran dan bertanya-tanya, apakah tidak ada orang berpendidikan di nusantara ini, sehingga perilaku bodoh yang merendahkan martabat bangsa terus berlangsung tanpa ada yang memberi pencerahan sama sekali?

Kenyataannya, perilaku bodoh yang merendahkan martabat bangsa, bahkan menghancurkan keimanan itu justru diagung-agungkan sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia yang luhur dan harus dilestarikan. Padahal, bangsa lain sudah mampu menciptakan pesawat terbang,  berbagai jenis mobil, dan mampu membangun budaya disiplin yang tinggi, eh…, bangsa kita boro-boro bikin mobil, disuruh sabar mengantre saja tidak bisa, disuruh tertib berkendaraan saja tidak bisa, bahkan air jamasan (bekas cucian) kereta kuda  saja diperebutkan, dan dijadikan objek wisata, dibiayai pula oleh pemerintah.

Ramai-ramai mengusung kemusyrikan

Kalau sudah seperti itu maka berbagai elemen, dari penguasa, seniman, budayawan, pelaku adat, dan pengelola media massa secara beramai-ramai mengusung kemusyrikan, kemaksiatan, dan kemunkaran yang merusak iman, atas nama adat, tradisi, dan budaya. Pada dasarnya mereka kalau mengaku beragama Islam (dan itu memang mayoritas, karena penduduk Indonesia ini mayoritas Muslim, termasuk pejabatnya pula) maka mereka jelas-jelas mlenteti (tidak mentaati sambil masih pula bernada meremehkan) Allah Ta’ala, yang telah memberikan segalanya: hingga mereka bisa hidup, bahkan punya jabatan, berpangkat, bisa jalan-jalan ke sana sini, tertawa-tawa dan sebagainya; namun Allah Ta’ala yang Maha Pemurah itu bukan dibalas dengan rasa syukur, justru diplenteti.

Mana buktinya?

Buktinya, mereka telah melanggar aturan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala menyuruh manusia ini untuk bertolong menolong dalam kebaikan dan taqwa. Sebaliknya, melarang bertolong menolong dalam dosa dan pelanggaran.

وَتَعاَوَنُوْا عَلىَ الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلىَ اْلاِثْمِ واَلْعُدْوَانِ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ اْلِعقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS Al-Maaidah: 2).

Di kala manusia tolong menolong dalam keburukan, maka telah dikecam oleh Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an:

اْلمُنَافِقُوْنَ وَاْلمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ يَأْمُرُوْنَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ اْلمَعْرُوْفِ وَيَقْبِضُوْنَ أَيْدَيْهِمْ نَسُوْا  الله فَنَسِيَهُمْ إِنَّ اْلمُنَافِقِيْنَ هُمُ اْلفَاسِقُوْنَ
67.  Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma’ruf dan mereka menggenggamkan tangannya[648]. mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik. (QS At-Taubah/ 9: 67).
[648]  Maksudnya: berlaku kikir

Kalau sudah demikian, apakah kemusyrikan itu tidak bisa diberantas? Insya Allah bisa.

Ada pejabat yang begitu terpilih, maka program 100 hari yang dicanangkannya adalah menebang pohon tempat kemusyrikan di alun-alun Purwokerto Jawa Tengah. Reaksi para pendukung kemusyrikan pun berdatangan dari berbagai kalangan, dari DPRD, Keuskupan Purwokerto, seniman budayawan, dan aneka macam orang yang mendukung kemusyrikan dengan dalih cagar budaya dan semacamnya. Tetapi  Bupati Banyumas, Drs. H. Mardjoko, M.M. tetap tegas:

’’Ada kepercayaan dua pohon beringin itu tak boleh ditebang. Itu tidak mutlak benar. Sekarang perlu disesuaikan,’’ kata Mardjoko di depan peserta dialog kampus di gedung rektorat Unsoed, Sabtu lalu (16 Mei 2008).  Dialog bertema ’’Banyumasku Kampusku Ukir Prestasi, Sejahterakan Rakyat Pribumi’’ itu digelar bersamaan dengan peluncuran USP Koperasi Kampus. Bupati Mardjoko menegaskan kawasan alun-alun Purwokerto tetap akan ditata. Jalan tengah disatukan, dua pohon beringin ditebang.  (Warta Purbalanjar, Mon May 19, 2008 10:30 pm)

Apakah benar, keberatan mereka itu dilatar belakangi pelestarian kemusyrikan?

Ya. Buktinya, apa yang ditulis di situs Keuskupan Purwokerto sebagai berikut:
Rupanya ribut-ribut soal pohon beringin alun-alun itu menyusup dan menjadi perbincangan warga Wisma Kasepuhan. Kang Warto ikutan mendengarkan dan mencermati.”Waktu saya kecil, setiap kali wetonan, Simbok saya membuat bubur abang putih,” begitu Romo Sepuh memulai bercerita.”Simbok bilang, Le, iki gawa lan dekek ngisor wit ringin kana,” tambahnya. (Sesaji Romo Sepuh untuk Pohon Beringin, Selasa, 25 November 2008 05:45:31 – oleh : kangwarto, Keuskupan Purwokerto, keuskupan%20protes%20beringin%20ditebang.htm).

Perkataan “Le, iki gawa lan dekek ngisor wit ringin kana” (Nak, ini bawa dan taruh di bawah pohon beringin sana) itu adalah praktek sesaji. Judulnya itu sendiri adalah cerita tentang sesaji. Jelas itu adalah kemusyrikan, dosa terbesar yang tak diampuni, bila pelakunya belum bertaubat benar-benar dan tak mengulanginya.

Menghadapi halangan dan protes yang mengusung kemusyrikan semacam itu, perlu ada landasan legalnya. Dalam kasus ini, ternyata kemudian ada surat dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah.

Dalam surat dari BP3 Jawa Tengah tentang alun-alun Purwokerto menyebutkan bahwa (1) Alun-alun Purwokerto Kabupaten Banyumas merupakan Benda Cagar Budaya yang dilindungi UU No 5/1992 sehingga dalam upaya revitalisasinya memperhatikan nilai penting sebagai simbolisme religius, nilai penting kota bersejarah, dan nilai penting sebagai landmark kota. (2) Revitalisasi alun-alun dapat dilaksanakan sesuai gambar perencanaan landscape alun-alun Purwokerto Kabupaten Banyumas Tahun 2008 dengan memperhatikan: a. Jalan aspal ditengah alun-alun dihilangkan dan dapat dibuat akses tapak jalan dari coneblock dengan ketinggian yang selaras dengan lahan alun-alun; b. Pohon beringin kurung dan beringin batur tetap dipertahankan, dalam arti beringin kurung yang mati diganti baru; c. Pagar beringin kurung dapat diganti dengan bentuk yang dikonsultasikan lebih dahulu dengan BP3 Jateng; d. Jika ada perubahan-perubahan dari rencana supaya dikonsultasikan dengan BP3 Jateng. (kamar Puisi, ALUN-ALUN YANG UNIK ITU KINI TELAH HILANG, di 03:57 Diposkan oleh Ryan Rachman )

Ketika ada tekad bulat, ternyata ada jalan pula. Tidak mudah memang, untuk menyingkirkan daki-daki yang mengotori bahkan merusak keimanan di negeri ini. Tetapi kalau saja ada pejabat yang berani bertindak, walau bukan karena memberantas kemusyrikan, tetapi untuk menata kota agar lebih baik, ternyata bisa berjalan pula, bahkan ada pula yang mendukungnya. Dalam kasus ini, Muhammadiyah Purwokerto mendukungnya:

PURWOKERTO (KR)-

Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Banyumas secara resmi telah menyampaikan surat dukungan atas rehab Alun-alun Purwokerto oleh Pemkab/Bupati Banyumas, Mardjoko, Kamis (28/8). Alasan Muhammadiyah Banyumas mendukung rehab alun-alun tersebut karena secara kemanfaatan, alun-alun yang sekarang telah 90 persen direhab lebih bermanfaat bagi sebagian besar masyarakat Banyumas ketimbang sebelumnya.

Dalam surat tersebut diuraikan kemanfaatan yang bisa diambil dari rehab tersebut antara lain, luas alun-alun menjadi bertambah dan memudahkan masyarakat untuk menggunakannya dalam berbagai kepentingan, seperti untuk Salat Idul Fitri maupun Idul Adha. Selain itu, setelah rehab dilakukan sebagai area publik alun-alun tak lagi menjadi seperti pasar yang semrawut karena banyaknya Pedagang Kaki Lima (PKL).

Ketua PDM Kabupaten Banyumas H Ahmad Kifni yang menandatangani surat tersebut mengatakan, wajah Alun-alun Purwokerto sebagai kawasan publik sekarang ini sudah lebih baik dari sebelum direhab. Dengan begitu maka rehab yang dilakukan Pemkab Banyumas dinilai sebagai upaya positif untuk terciptanya revitalisasi fungsi alun-alun yang sesungguhnya, yakni sebagai kawasan publik. Adanya rehab tingkat kenyamanan alun-alun menjadi tampak dibanding sebelumnya yang terkesan kumuh. (kedaulatan rakyat online, 30/08/2008 07:29:52 ).

Apakah karena Bupati itu dari Muhammadiyah?

Wallahu a’lam. Yang jelas, beliau kabarnya dari hasil pemilihan, sedang bendera yang beliau bawa saat itu adalah PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) yang notabene bukan partai Islam.

     Bukan dari partai Islam saja bisa berbuat dalam hal ini walau tidak untuk menghilangkan kemusyrikan, namun punya akibat baik bagi Islam; apalagi mestinya dari partai-partai Islam atau bahkan yang menyebut diri partai da’wah. Seharusnya lebih teguh lagi.

Mudah-mudahan pelaksanaan dan dukungan itu merupakan perbuatan yang termasuk dipuji oleh Allah Ta’ala, kebalikan dari kecaman yang tersebut di atas:

وَاْلمُؤْمِنُوْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِياَءُ بَعْضٍ يَأْمُرُوْنَ بِاْلمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ اْلمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكَاةَ وَيُطِيْعُوَنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ أُوْلَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS At-taubah/ 9: 71).

Bibit-bibit dan potensi iman untuk menegakkan kebenaran dan memberantas keburukan masih ada. Pendukungnya pun ada. Semoga potensi iman itu tidak tertelan oleh hingar bingar dunia yang amat menggoda ini, hingga justru –yang tampaknya ngetren kini— potensi iman itu  digadaikan demi sesuap nasi. Makanya hanya pohon beringin ditebang saja ributnya memenuhi bumi Banyumas –bahkan mungkin Indonesia–, sampai keuskupan pun ikut bicara. Sementara itu keimanan manusia ini dicabuti dari dada-dada Muslimin setiap saat, diganti dengan kemusyrikan ditambah dengan kemusyrikan baru (sepilis – sekulerisme, pluralisme agama alias menyamakan semua agama, dan liberalisme–) dan aneka perangkat kemaksiatan serta perusakan iman lewat televisi dan aneka media massa bahkan lewat pendidikan tinggi Islam se-Indonesia dan pendidikan umum; mereka diam saja, sampai ulama-ulamanya. Kecuali hanya sedikit orang saja.

     Mereka yang memprotes-protes atas ditebangnya pohon beringin itu, karena membela keyakinan syetan, maka akal sehatnya tidak dipakai. Sehingga walaupun dengan dalih yang dicanggih-canggihkan, maka tetap saja tidak memakai akal dan tak konsisten. Kalau memang konsisten, mestinya mereka setiap hari mengajukan protes dan menjadi penunggu hutan-hutan di Indonesia. Pohon-pohon yang umurnya ratusan tahun, dengan alasan cagar budaya atau benda purbakala, maka mesti mereka tunggui, siapa saja tidak boleh menebangnya. Juga pohon-pohon tua yang ada di pinggir-pinggir jalan. Tidak boleh ada petugas yang menebangnya. Siapa yang menebangnya, walau petugas, akan diadukan ke polisi untuk diadili dan dipenjarakan.

    Kalau itu diberlakukan, maka akibatnya, di sana-ini akan banyak pohon tumbang, jalanan terhalang, dan para pengikut ajaran syetan itu akan dikutuk manusia di mana-mana, sekaligus bersama syetan-syetannya.

    Oleh karena itu, mereka yang mempertahankan pohon beringin (dengan latar belakang demit-demitnya yang dipertahankan) itu, mereka sebenarnya tidak lebih dari orang-orang yang berebut tai kerbau di Solo Jawa Tengah setiap malam tanggal satu Suro (Muharram) itu. Sesama rekannya pun mereka berebut tai, sampai-sampai air bekas cucian kereta kuda pun diperebutkan. Itulah sebenarnya mutu mereka. Sehingga ketika duduk di DPRD misalnya, ataupun jadi seniman, budayawan, wartawan, dan bahkan menguasai media massa, bahkan mungkin memimpin masyarakat, ya akan berlaku seperti para perebut air bekas cucian kereta itu, kalau memang keyakinan kemusyrikannya sama. Hanya saja ucapannya dicanggih-canggihkan, agar kelihatannya pakai otak gitu lho.  (haji/tede)
_____________
Sumber: http://nahimunkar.com/219/mengagungkan-budaya-adat-melestarikan-syirik-dan-maksiat/
http://faisalchoir.blogspot.sg/2011/12/mengagungkan-budaya-adat-melestarikan.html

Tinggalkan Segala Tradisi Yang Syirik

Pendahuluan

Sudah bukan hal yang baru di masyarakat seantero jagat Nusantara ini, adat dan tradisi yang membudaya melekat pada setiap diri invidu diaplikasikan dalam bentuk kesehariannya, tidak saja dalam acara seremonial tetapi juga dalam sikap hidup mereka. Dimana kebanyakan semua itu dilakukan baik secara sadar atau tanpa sadar sebagai perwujudan pemberian penghormatan terhadap adat istiadat, tradisi dan budaya yang diwarisi secara turun temurun dari generasi kegenerasi. Bahkan dewasa ini semakin digalakkan dengan dukungan dan peran aktif Pemerintah dengan dalih melestarikan budaya bangsa serta motif ekonomi sebagai obyek wisata.

Adat istiadat dan budaya yang dianggap sebagai tradisi yang telah mendarah daging di dalam kehidupan sebagian masyarakat negeri ini menurut sejarah sebagai warisan baik dari kultur nenek moyang manusia primitif dengan kepercayaannya pada animisme dan dinamisme, kemudian dari agama para leluhur sebelum datangnya Islam yang membawa agama tauhid.

Berbagai tradisi yang berasal dari masyarakat jahiliyah dari generasi kegenerasi terus dipertahankan malah ditumbuh kembangkan dengan dalih melestarikan adat budaya bangsa, dan agar nampak seperti tradisi islam, maka diberi hiasan dan label islam seperti dimasukkannya doa-doa bercirikan islam. Sehingga tanpa disadari oleh masyarakat awam bahwa tradisi dari adat istiadat dan budaya yang selama ini dilakoni mereka merupakan sesuatu yang tidak sesuai dan bertentangan dengan syari’at islam. Karena didalamnya kalau tidak mengandung kesyirikan, pasti ia mengandung kebid’ahan.

Tradisi adat istiadat dan budaya yang mengandung kesyirikan dan bid’ah yang dilakukan kebanyakan masyarakat sampai saat sekarang ini tidak saja dilakukan secara tertutup dan tersembunyi oleh orang perorang, tetapi malah dilakukan secara demonstratif dan terbuka dengan cara berjama’ah serta dijadikan agenda khusus oleh pemerindah daerah dengan dalih untuk menarik kunjungan wisata, namun ternyata apa yang diharapkan sama sekali tidak sebagaimana mestinya.

Berbagai Ragam Tradisi Warisan Budaya Yang Tidak Sesuai Syari’at Islam Yang Berkembang di Masyarakat.

Tidak hanya seperti yang sering kita lihat tayangan di layar kaca yang menampilkan berbagai aktivitas tradisi adat istiadat dan budaya yang berkembang di seluruh pelosok tanah air, malah secara langsung kadang-kadang kita ikut didalam melakukan tradisi adat istiadat dan budaya dengan mencontoh sebagaimana yang dilakukan oleh para orang tua pendahulu kita.

Sekiranya tradisi adat istiadat dan budaya tersebut tidak ada kaitannya dengan keyakinan kaum muslimin yang notabene sebagai umat terbesar di negeri ini, maka tidaklah menjadi persoalan .Namun karena tradisi adat istiadat dan budaya yang mewarnai kehidupan banyak orang tersebut lebih menonjolkan segi-segi ritual dan perwujudan dari pengakuan adanya suatu kekuatan yang diakui keberadaannya selain Allah, maka masalahnya menjadi lain dan serius untuk diperhatikan. Sebab didalam tradisi adat istiadat dan budaya tersebut menyentuh hal-hal yang bersifat sangat sensitif yaitu adanya kandungan syirik dan bid’ah di dalamnya yang sangat terlarang dalam islam.

Banyak contoh tradisi dimasyarakat islam di negeri ini disemua tempat sebagai adat istiadat dan budaya warisan yang terus dilestarikan keberadaannya meskipun di dalamnya penuh diliputi ritual-ritual syirik berupa penyembahan kepada sesuatu selain Allah Yang Maha Pencipta. Tradisi budaya syirik tersebut antara lain :

1. Tradisi Pesta Sedekah laut

Tradisi Pesta Sedekah laut novieffendi.com
Pesta laut banyak diselenggarakan oleh kalangan masyarakat nelayan yang berdomisili di daerah pesisir/pantai dan biasanya dilakukan setiap setahun sekali dengan ritual melarungkan atau menghanyutkan sesajen ( sesajian ) yang terdiri dari berbagai makanan dan hewan yang telah disembelih (kerbau, kambing atau ayam ). Sesajen yang disiapkan dalam sebuah perahu kecil yang sengaja disiapkan untuk itu diarak beramai-ramai oleh penduduk ketengah laut dengan menggunakan perahu/kapal layaknya karnaval perahu /kapal hias, sesampai ditengah laut sesajen dilarung/dihanyutkan. Namun sebelumnya seorang tokoh kampung terlebih dahulu membacakan doa-doa secara islami yang bercampur dengan mantera-mantera.

Pesta/sedekah laut tersebut dimaksudkan untuk memberikan sesembahan kepada makhluk halus/jin yang mereka sebut sebagai dewa penguasa laut sebagai ucapan rasa syukur dan terimakasih atas rezeki yang diberikan kepada para nelayan berupa hasil tangkapan. Selain itu juga dimaksudkan untuk meredam kemarahan penguasa laut yang dapat membahayakan keselamatan para nelayan selama melaut menangkap ikan. Memberikan sesajen juga sebagai persembahan kepada penguasa laut agar hasil tangkapan para nelayan selama setahun kedepan akan meningkat.

Pesta atau sedekah laut berasal dari kepercayaan pemujaan dewi laut serta dewi perikanan, dimana pemujaan tersebut agar nelayan mendapatkan hasil tangkapan yang banyak., oleh penduduk pesisir yang terus dilestarikan dari generasi kegenerasi berikutnya meskipun mereka menganut Islam.

2. Tradisi Pesta Sedekah Bumi

Tradisi Pesta Sedekah Bumi- novieffendi.com
Masyarakat yang hidup dengan mata pencaharian sebagai petani selepas dari panen dan menjelang musim tanam yang baru, menyelenggarakan pesta sedekah bumi dengan menyelenggarakan keramaian berupa pertunjukan wayang semalam suntuk.

Didalam pesta sedekah bumi tersebut pen duduk menyiapkan berbagai rupa sesajen.Sesajen tersebut dipersembahkan oleh penduduk kepada yang mereka sebut sebagai roh halus atau jin penguasa bumi sebagai bentuk rasa terimakasih karena telah memberikan hasil bumi kepada mereka serta berharap hasil bumi yang mereka usahakan akan berlipat ganda, selain itu juga agar penduduk terhindar dari berbagai bentuk bencana.

Selain sesajen tidak ketinggalan disiapkan pula nasi tumpeng.Dalam pemberian sesajen tersebut acara juga dilakukan ritual berupa pembacaan doa yang bercampur dengan mantera-mantera. Pesta sedekah bumi ini juga dimaksudkan untuk meredam kemarahan para roh halus dan jin penguasa bumi dengan memberikan.

Dalam puncaknya acara ritual sedekah bumi di akhiri dengan melantunkan doa bersama-sama oleh masyarakat setempat dengan dipimpin oleh sesepuh adat. Doa dalam sedekah bumi tersebut umumnya dipimpin oleh sesepuh kampung yang sudah sering dan terbiasa mamimpin jalannya ritual tersebut. didalam lantunan doa  berkolaborasi antara lantunan kalimat kalimat Jawa dan dipadukan dengan doa yang bernuansa Islami. (katanya....??)

Ritual sedekah bumi yang sudah menjadi rutinitas bagi masyarakat jawa ini merupakan salah satu jalan dan sebagai simbol penghormatan manusia terhadap tanah yang menjadi sumber kehidupan.

Upacara ritual sedekah bumi bersumber dari kepercayaan nenek moyang pada masa hindu dan budha yang mempercayai akan dewi padi yang dipuja pada musim-musim menanam padi, panen dan menyimpan padi dalam lumbung.

3. Tradisi Tumbal ( Mengorbankan ternak hewan sembelihan )

Tradisi Tumbal ( Mengorbankan ternak hewan sembelihan ) novieffendi.com
Ritual mempersembahkan tumbal atau sesajen kepada makhuk halus atau jin yang dianggap sebagai penunggu atau penguasa tempat tertentu . Mereka meyakini makhluk halus tersebut memiliki kemampuan untuk memberikan kebaikan atau menimpakan malapetaka kepada siapa saja, sehingga dengan mempersembahkan tumbal atau sesajen mereka berharap dapat meredam kemarahan makhluk halus itu dan agar segala permohonan mereka dipenuhinya. Tumbal yang diberikan biasanya dalam bentuk hewan ternak yang sengaja dikorbankan/disembelih dengan maksud sebagai persembahan kepada makhluk halus atau jin yang diyakini sebagai penunggu atau penguasa sesuatu tempat.
Pemberian tumbal yang dilakukan antara lain :
  • Tumbal hewan ternak untuk keperluan pembangunan proyek-proyek besar, seperti jembatan, pelabuhan laut, pelabuhan udara, gedung-gedung, stadion, menara-menara . Hewan ternak yang dikorbankan sebagai tumbal dapat berupa kerbau, sapi atau kambing yang disembelih yang kepalanya ditanamkan dalam lubang pada saat pemancangan tiang utama yang tentunya dilakukan dengan upacara adat/ritual tertentu. Selanjutnya diadakan selamatan dengan membacakan doa secara islami dengan suguhan beruapa makanan dengan lauk pauk utamanya dari daging hewan tumbal.
  • Tumbal untuk kawah gunung berapi. Dimana hewan yang dijadikan tumbal secara hidup-hidup dilemparkan kedalam kawah bersama-sama dengan sesajen lainnya berupa makanan dan buah-buahan sertahasil bumi lainnya, yang tentunya tidak ketinggalan pula nasi tumpeng.
4. Tradisi Pesta Adat Tahunan

Tradisi Pesta Adat Tahunan novieffendi.com
Pada setiap masyarakat suku dan daerah memiliki pesta adat tahunan yang rutin oleh masyarakatnya. Belakangan tradisi pesta adat tahunan tersebut dikaitkan penyelenggaraannya dengan peringatan dengan hari ulang tahun Kabupaten atau kota.

Sebagai contoh di beberapa kabupaten di Kalimantan Timur seperti di Kabupaten Kutai Kertanegara, Kutai Timur, Kabupaten Berau dan ditempat lain, setiap penyelenggaraan peringatan hari jadi kabupaten diisi dengan kegiatan utamanya pesta adat, dimana dalam pesta adat tersebut pasti diselenggarakan upacara yang bersifat magis dan sakral serta sangat kental dengan aroma peninggalan zaman nenek moyang yang mempunyai kepercayaan animisme dan dinamisme serta tidak ketinggalan pula pengaruh agama hindu dan budha.

Dalam ritualnya tidak pernah ketinggalan yang namanya memberikan sesajen dan bepalas benua, juga tarian-tarian belian memanggil roh-roh penguasa bumi. Seluruh tokoh-tokoh atau para pemuka adat dari suku-suku di pedalaman aktif terlibat dalam prosesi dan ritual penyembahan kepada yang mereka namakan roh-roh ghaib/halus penguasa alam semesta agar para penduduk negeri dapat diberikan perlindungan darei segala bentuk bencana sebagai akibat kemarahan yang ditimbulkan oleh roh-roh jahat.

5. Tradisi Tepung Tawar

Tradisi Tepung Tawar novieffendi.com
Dibanyak tempat masyarakat mengenal pula yang namanya tradisi budaya tepung tawar, dan konon tepung tawar ini berasal dari kebudayaan nenek moyang dizamannya animisme dan dinamisme. Tepung tawar ada yang dalam bentuk menaburkan beras kuning dan ada pula dengan cara memercikkan air yang diberi wewangian. Dengan tepung tawar tersebut dimaksudkan agar diberikan keselamatan dan kesehatan serta juga dimaksudkan mengembalikan semangat kepada seseorang.

Upacara ritual pemberian tepung tawar ini dilakukan hampir pada setiap kesempatan adanya acara-acara seperti menyambut kedatangan tamu yang dihormati, menyambut orang-orang yang baru pulang haji, menyambut pengantin pria. Tepung tawar juga tidak ketinggalan dilakukan pada saat memberikan nama kepada bayi. Tepung tawar ini disertai dengan pembacaan shalawat oleh orang bertugas menaburkan bunga atau memercikan air yang diberi wewangian.

Tradisi tepung tawar ini asal muasalnya bersumber dari kepercayaan pada dewi padi.

6. Tradisi Menyediakan Sesajen Untuk Persembahan Kepada makhluk halus yang ditakuti.

Tradisi Menyediakan Sesajen Untuk Persembahan Kepada makhluk halus yang ditakuti.
Di banyak tempat di negeri ini masih banyak dari penduduknya yang masih terikat dengan tradisi memberikan sesajian (sesajen) kepada roh atau makhluk halus yang diyakini sering menimbulkan bermacam gangguan antara lain timbulnya penyakit pada seseorang yang tidak sembuh . Untuk keperluan penyembuhan tersebut maka perlu diberikan sesajen. Para makhluk halus tersebut diyakini bertempat tinggal dipohon-pohon besar dan tempat-tempat angker. Sesajen biasanya disediakan dalam suatu keranjang yang disebut ancak dan ditempatkan/digantungkan di pohon atau tempat-tempat dimana makhluk halus tersebut tinggal sebagai penunggunya.

Dibeberapa tempat di Kalimantan Timur penduduknya mempercayai adanya makhluk-makhluk halus yang dianggap dapat menimbulkan gangguan,sehingga untuk menghindarkan gangguan makhluk halus tersebut diberikanlah sesajen yang disebut piduduk. Setiap menyelenggarakan hajatan apa saja tidak pernah tertinggal yang namanya menyediakan piduduk, lagi-lagi dalam acara perkawinan. Kebanyakan mereka menganggap bahwa tanpa disediakan piduduk dikhawatirkan makhluk halus akan mengganggu acara yang sedang berlangsung, sehingga akan timbul sesuatu yang tidak diharapkan.

Selain dari itu di kalangan masyarakat asli yang berdiam di Pulau Kalimantan terdapat tradisi untuk memberi makan peliharaan leluhur nya yang diyakini sebagai seekor buaya siluman. Pemberian makan peliharaan tersebut berupa nasi ketan yang disajikan diatas piring, diatasnya diberi sebutir telur dan juga sesisir pisang. Sajian tersebut dibuang diair yang mengalir. Ritual memberi makan peliharaan tersebut lazimnya dilakukan setiap akan diadakannya hajatan seperti acara perkawinan, kalau peliharaan tersebut tidak diberi makan, maka ia akan mengganggu dan menimbulkan musibah.


7. Mendatangai Tempat-Tempat/Kuburan Yang Dikramatkan Untuk Meminta Pertolongan

Mendatangai Tempat-Tempat/Kuburan Yang Dikramatkan Untuk Meminta Pertolongan
Mendatangi tempat-tempat atau kuburan yang dikramatkan yang banyak dilakukan oleh sebagian orang sekarang ini termasuk tradisi yang diwarisi dari leluhur. Dimana sebelum Islam masuk di Nusantara , masyarakatnya sangat menghormati dan mengagung-agungkan tempat-tempat yang dianggap kramat, termasuk kuburan orang-orang yang dianggap sakti pada zamannya. Ditempat-tempat kramat atau dikubur-kubur yang dikramatkan tersebut banyak orang datang membawa berbagai sesajen seperti bunga-bungaan kemudian mereka meminta pertolongan/menyampaikan hajatnya .

Banyak orang beranggapan bahwa tempat-tempat kramat yang ditunggui oleh jin setan, lelembut dan roh-roh halus atau kuburan orang sakti dapat memberikan pertolongan dan memberikan perlindungan dari berbagai keburukan.

Tradisi syirik seperti ini terus berlanjut sampai dewasa ini namun yang didatangi adalah kuburan orang-orang shaleh atau para wali yang dikramatkan orang.


8. Tradisi Penghormatan Atas Bunga-bungaan.

Tradisi Penghormatan Atas Bunga-bungaan
Status bunga-bungaan ditengah-tengah sebagian besar masyarakat mendapatkan tempat secara khusus, sehingga dalam hal-hal yang bersifat sakral dan ritual bunga-bungaan tidak pernah dilupakan. Setiap upacara hajatan seperti siraman atau mandi-mandi bagi calon pengantin dan upacara tingkepan atau mandi-mandi bagi wanita yang hamil, memandikan jenazah, hiasan usungan/tandu jenazah, menaburkan bunga pada saat ziarah di kubur. Bunga juga dijadikan untuk sesajen seperti meletakkannya dipersimpangan-persimpangan jalan yang dianggap sering terjadinya kecelakaan. Bunga juga dianggap dapat memberikan perlindungan dari kecelakaan sebagaimana yang diyakini oleh para banyak kalangan sopir dan pemilik mobil. Bunga juga dijadikan sarana nazar dengan menempatkan/menggantungkannya di mimbar-mimbar masjid tempat khatib berkhotbah.

Bunga-bungaan dijdikan pula sebagai sarana untuk mengobati orang-orang yang sakit yang datang kedukun, bunga-bungaan juga dijadikan sebagai sarana untuk keperluan mantera-mantera mencari jodoh sampai menjadi alat untuk menyantetJenis- jenis bunga-bungaan yang berbau harum dianggap mempunyai nilai magis antara lain bunga kantil (cempaka ),kenanga, melati, mawar juga yang lainnya, sehingga bunga-bungaan tersebut bernilai tinggi dibandingkan dengan yang lainnya. Bunga-bungaan memang memiliki nilai estitika/keindahan dimata manusia dan dijadikan sebagai pengharum sehingga dijadikan sebagai hiasan untuk memperindah suasana dan ruangan, tetapi oleh sebagian kalangan kedudukan bunga mempunyai nilai magis dan sakral, sehingga dijadikan perantara dan persembahan kepada makhluk halus berupa jin yang ditakuti.

9. Tradisi Penghormatan atas Benda-benda Pusaka dan Batu Cincin

Tradisi Penghormatan atas Benda-benda Pusaka dan Batu Cincin
Banyak diantara masyarakat yang mengaku sebagai seorang yang muslim, sangat memberikan penghormatan yang tingi dan malah memuja-muja benda-benda pusaka peninggalan para leluhurnya maupun peninggalan raja-raja zaman dahulu baik berupa senjata seperti keris dan tombak, maupun benda-benda lainnya seperti gamelan, gong, kereta dan bahkan kerbau yang dianggap turunan dari kerbau dari zaman kerajaan dianggap kramat dan bertuah. 

Pada waktu-waktu tertentu tidak saja orang-orang dari kraton yang mengadakan upacara membersihkan dan memandikan benda-benda pusaka kraton, namun perorangan yang memiliki dan menyimpan benda-benda pusaka seperti keris dan tombak juga mengadakan ritual memandikan dan membersihkan sebagai bentuk wujud perhatian dan pemeliharaana atas benda pusaka tersebut.

Masyarakat berkeyakinan apabila benda-benda pusaka tersebut tidak dimandikan dan dibersihkan rohnya akan menimbulkan gangguan kepada pemilik dan keluarganya.Selain keyakinan akan benda-benda pusaka, kebanyakan masyarakat juga memiliki keyakinan bahwa cincin yang bermatakan batu-batu khusus mempunyai khasiat dan juga memilki ruh yang dapat mendatangkan kebaikan dan manfaat serta juga dapat mendatangkan kemudharatan, cincin dengan batu permata tertentu diyakini dapat dijadikan penyembuh berbagai macam penyakit. Karenanya tidaklah mengherankan mereka mereka yang mempunyai kepercayaan terhadap cincin yang bermatakan batu tidak sungkan mengeluarkan uang yang besar untuk membelinya. Tetapi tentunya berbeda dengan batu permata sebagai hiasan yang memang memiliki nilai harga yang tinggi seperti intan, jamrud, rubby dan yang lain-lainnya yangh dijual ditoko-toko permata.

10. Tradisi Memperingati Hari Kematian.

Tradisi Memperingati Hari Kematian
Animisme dan dinamisme kepercayaan jahiliyah yang dianut nenek moyang masyarakat dinegeri ini sebelum datangnya Islam, meyakini bahwa bahwa arwah yang telah dicabut dari jasadnya akan gentayangan disekitar rumah selama tujuh hari (7), kemudian setelahnya akan meninggalkan tempat tersebut akan kembali pada hari ke empat puluh hari, hari keseratus setelah kematian dan pada hari keseribunya setelah kematian. Atau mereka meyakini bahwa arwah akan datang setiap tanggal dan bulan dimana dia meninggal ia akan kembali ketempat tersebut, sehingga masyarakat pada saat itu ketakutan akan gangguan arwah tersebut dan membacakan mantra mantra sesuai keyakinan mereka.

Setelah Islam mulai masuk dibawa oleh para Ulama yang berdagang ketanah air ini, mereka memandang bahwa ini adalah suatu kebiasaan yang MENYELISIHI SYARI'AT ISLAM, lalu mereka berusaha menghapusnya dengan PERLAHAN, dengan cara memasukan BACAAN BACAAN berupa kalimat kalimat THOYYIBAH sebagai pengganti mantra mantra yang tidak dibenarkan menurut ajaran Islam dengan harapan supaya mereka bisa berubah sedikit demi sedikit dan meninggalkan acara tersebut menuju ajaran Islam yang murni. AKAN TETAPI SEBELUM TUJUAN AKHIR INI TERWUJUD, dan acara pembacaan kalimat kalimat thoyyibah ini sudah menggantikan bacaan mantra mantra yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, PARA ULAMA YANG BERTUJUAN BAIK INI MENINGGAL DUNIA, sehingga datanglah generasi selanjutnya yang mereka ini tidak mengetahui tujuan generasi AWAL yang telah mengadakan acara tersebut dengan maksud untuk meninggalkan secara perlahan. Jadilah peringatan kematian itu menjadi tahlilan.

11.Tradisi Nasi Tumpeng

Tradisi Nasi Tumpeng
Masyarakat di pulau Jawa, Bali dan Madura memiliki kebiasaan membuat tumpeng untuk kenduri atau merayakan suatu peristiwa penting. Meskipun demikian kini hampir seluruh rakyat Indonesia mengenal tumpeng. Falsafah tumpeng berkait erat dengan kondisi geografis Indonesia, terutama pulau Jawa, yang dipenuhi jajaran gunung berapi. Tumpeng berasal dari tradisi purba masyarakat Indonesia yang memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam para hyang, atau arwah leluhur (nenek moyang).

Setelah masyarakat Jawa menganut dan dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu, nasi yang dicetak berbentuk kerucut dimaksudkan untuk meniru bentuk gunung suci Mahameru, tempat bersemayam dewa-dewi.

Meskipun tradisi tumpeng telah ada jauh sebelum masuknya Islam ke pulau Jawa, tradisi tumpeng pada perkembangannya diadopsi dan dikaitkan dengan filosofi Islam Jawa, dan dianggap sebagai pesan leluhur mengenai permohonan kepada Yang Maha Kuasa. Maka bila seseorang berhajatan dengan menyajikan Tumpeng, maksudnya adalah memohon pertolongan kepada Yang Maha Pencipta agar kita dapat memperoleh kebaikan dan terhindar dari keburukan, serta memperoleh kemuliaan yang memberikan pertolongan. Dan itu semua akan kita dapatkan bila kita mau berusaha dengan sungguh-sungguh

Tumpeng merupakan bagian penting dalam perayaan kenduri tradisional. Perayaan atau kenduri adalah wujud rasa syukur dan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa atas melimpahnya hasil panen dan berkah lainnya. Karena memiliki nilai rasa syukur dan perayaan, hingga kini tumpeng sering kali berfungsi menjadi kue ulang tahun dalam perayaan pesta ulang tahun.

Dalam kenduri, syukuran, atau slametan, setelah pembacaan doa, tradisi tak tertulis menganjurkan pucuk tumpeng dipotong dan diberikan kepada orang yang paling penting, paling terhormat, paling dimuliakan, atau yang paling dituakan di antara orang-orang yang hadir. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang tersebut. Kemudian semua orang yang hadir diundang untuk bersama-sama menikmati tumpeng tersebut. Dengan tumpeng masyarakat menunjukkan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan sekaligus merayakan kebersamaan dan kerukunan.


12. Tradisi Siraman/mandi Untuk Calon Pengantin/Wanita Hamil 

Tradisi Siraman mandi Untuk Calon Pengantin atau Wanita Hamil
Siraman menurut sebutan dalam bahasa jawanya dan mandi-mandi sebutan dalam bahasa banjar, merupakan upacara mandi bagi calon mempelai wanita dan pria sebelum dilakukannya hari pernikahan, dimana masing-masingh calon pengantin dimandikan dengan air bunga-bungaan oleh para keluarga yang telah berfumur dan menguasai tata cara ritualnya.Upacara ritual siraman atau mandi-mandi bagi calon pengantin ini dimaksudkan untuk membersihkan jiwa dan raga dari segala bentuk kekotoran, agar begitu memasuki perkawinan dalam keadaan suci dan bersih.

Di dalam tradisi suku Banjar upacara ritual mandi-mandi juga dilakukan terhadap wanita yang tengah hamil dengan usia kandungan 6 -7 bln. Dikalangan masyarakat Jawa ritual seperti ini disebut dengan tingkepan. Ritual ini dimaksudkan agar janin yang dikandung mendapatkan perlindungan dan dapat lahir dengan selamat. Dalam ritual siraman atau mandi-mandi ini tentunya tidak pernah dilupakan menyiapkan sesajen bagi para makhluk halus agar sipengantin atau perempuan yang hamil yang menjalani prosesi mandi-mandi tidak mendapatkan gangguan sehingga selamat sampai melahirkan.

13. Tradisi mendatangi dukun

Tradisi mendatangi dukun
Sebenarnya dukun dan perdukunan bukanlah sesuatu yang baru atau asing dalam sejarah kehidupan manusia. Keberadaannya sudah sangat lama dikenal bahkan sebelum datangnya Islam dan diutusnya Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kala itu, perdukunan benar-benar mendapat tempat di hati banyak orang. Karena mereka meyakini, para dukun mempunyai pengetahuan tentang ilmu ghaib. Orang-orang pun berduyun-duyun mendatanginya, mengadukan segala permasalahan yang dihadapinya untuk kemudian menjalankan petuah-petuahnya. Yang diistilahkan dukun itu sendiri adalah orang-orang yang mengabarkan hal-hal yang akan terjadi di kemudian hari, melalui bantuan setan yang mencuri-curi dengan berita dari langit.

Maka, dukun adalah orang-orang yang mengaku dirinya mengetahui ilmu ghaib, sesuatu yang tidak tersingkap dalam pengetahuan banyak manusia. Di Indonesia, praktik perdukunan memiliki akar kuat dalam sejarah bangsa, bahkan dukun dan politik merupakan gejala sosial yang lazim. Kontestasi politik untuk merebut kekuasaan pada zaman kerajaan di Indonesia pramodern selalu ditopang kekuatan magis.Semuanya ini memberikan gambaran yang nyata, bahwa perdukunan memang sudah dikenal lama oleh masyarakat kita. Dan ilmu ini pun turun-menurun saling diwarisi oleh anak-anak bangsa, hingga saat ini para dukun masih mendapatkan tempat bukan saja di sisi masyarakat tradisional, tetapi juga di tengah lingkungan modern.

14. Tradisi Penggunaan Jimat Penangkal.

Tradisi Penggunaan Jimat Penangkal
Banyak diantara masyarakat baik yang hidup diperkotaan maupun dipedesaan yang mempunyai keyakinan bahwa sesuatu benda yang dijadikan jimat mengandung khasiat dapat memberikan manfaat kepada penggunanya sesuai dengan tujuan penggunaannya. Ada jimat yang diyakini dapat melindungi seseorang dari gangguan makhluk halus, ada jimat yang dapat memberikan kekuatan dan daya tahan pada tubuh sehingga mempan terhadap berbagai senjata, ada jimat sebagai penglaris usaha, ada jimat sebagai guna-guna.

Jimat merupakan tradisi yang diwarisi dari zaman jahiliyah yang di Indonesia populer dengan sebutan animisme dan dinamisme. Benda apapun yang digunakan dan diyakini mempunyai kemampuan untuk memberikan kemaslahatan dan melindungi dari kemudharatan sekalipun itu ayat-ayat al-Qur’an namanya tetap jimat. Keyakinan para nenek moyang dan para leluhur terdahulu bahwa sesuatu benda yang dijadikan jimat mengandung kekuatan magis sehingga mereka menggantungkan kemampuan benda yang dijadikan jimat tersebut untuk memberikan kemanfaatan pada dirinya sesuai dengan kebutuhannya.

Di Zaman modern ini penggunaan gelang dan kalung sebagai jimat telah dimodifikasi menjadi gelang dan kalung kesehatan yang dijual di toko-toko dan mall dengan harga yang tingi. Gelang dan kalung tersebut dikampanyekan mengandung bahan yang memiliki kekuatan/energi yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Namun sangat disayangkan gelang dan kalung kesehatan tersebut bukan bersumber dari hasil penelitian dari ahli kedokteran.

15. Tradisi Meyakini Hari-Hari dan Bulan-Bulan Tertentu Sebagai Hari/Bulan Yang Tidak Baik Untuk Melangsungkan Pernikahan Dan Hajat-hajat Lainnya

Tradisi Meyakini Hari-Hari dan Bulan-Bulan Tertentu Sebagai Hari/Bulan Yang Tidak Baik
Pada sebagian kalangan masyarakat meyakini bahwa ada hari dan bulan tertentu yang sial dan nahas, sehingga hari dan bulan tersebut harus dihindari untuk melangsungkan berbagai kegiatan terutama untuk keperluan melangsungkan hajat pernikahan. Mereka pantang untuk memilih hari dan bulan yang diyakini sebagai hari dan bulan yang sial, karena apabila pernikahan dilakukan pada hari dan bulan sial tersebut kelak akan berakibatfatal terhadap rumah tangga tersebut, kemungkinan terhadinya perceraian sangat besar. Begitu juga apabila memulai suatu pekerjaan seperti membangun rumah, perniagan dan lain-lainnya akan tidak mendapatkan keberuntungan.
Melakukan perjalanan jauh pada hari-hari yang dianggap sial dan nahas juga dihindari. Hari-hari yang dianggap sial dan nahas antara lain hari kelahiran, hari selasa dan hari rabu. Sedangkan bulan yang dianggap bulan yang tidak baik untuk pernikahan antara lain bulan Syawal, Muharram dan Safar menurut penanggalan tahun Hijriyah.
Hari-hari dan bulan-bulan yang sial dan nahas itu yang diyakini oleh kebanyakan orang-orang dari masyarakat suku jawa didasarkan kepada ramalan buku primbon peninggalan nenek moyang yang terus dilestarikan.

16. Tradisi Percaya Kepada Ramalan Primbon, Zodiak, Feng-Shui dan Shio


 Tradisi Percaya Kepada Ramalan Primbon, Zodiak, Feng-Shui dan Shio
Tidak sedikit orang-orang dari kalangan Muslim mempercayai akan ramalan-ramalan dari kitab primbon peninggalan nenek moyang masyarakat Jawa dari zaman dahulu, ramalan bintang (zodiak) yang bersumber dari ajaran Yunani kuno dan ramalan feng-shui serta ramalan shio yang bersumber dari kepercayaan cina.

Ramalan-ramalan tersebut diatas pada umumnya membicarakan sesuatu hal yang ghaib tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Padahal tidak seorangpun yang mengetahui tentang hal yang ghaib kecuali Allah Yang Maha Mengetahui.

Percaya kepada ramalan-ramalan berarti mengakui bahwa ada sesuatu selain Allah yang mengetahui hal-hal yang ghaib, hal ini sama artinya mengakui bahwa Allah itu mempunyai sekutu-sekutu. Perbuatan ini merupakan perbuatan syirik.

17. Percaya Kepada Sesuatu Yang Dapat Mendatangkan Kesialan ( Tatthayyur )

Percaya Kepada Sesuatu Yang Dapat Mendatangkan Kesialan

Sebagian masyarakat banyak yang mempercayai hal-hal yang seperti ini, misalnya pada saat berjalan ditengah jalan menemui ular yang melintas di jalan dari sebelah kiri sebagai tanda akan adanya kesialan atau datangnya nahas, menabrak kucing hingga mati pada saat berkendaraan sebagai tanda akan terjadinya kecelakaan bagi si pengendara, kejatuhan cicak di dalam rumah sebagai bentuk kesialan .
Mempercayai adanya kesialan atau akan datangnya nahas dari tanda-tanda yang ditemui adalah bentuk dari perbuatan syirik. Karena kemaslahatan dan kemudharatan yang menimpa seseorang itu datangnya dari Allah Yang Maha Pencipta , bukan datang dari makhluk.

Syirik Perbuatan Yang Tidak Diampuni

Syirik bukanlah hanya sekedar diartikan dengan seseorang menyembah berhala atau mengakui ada pencipta selain Allah. Meskipun menyembah berhala memang termasuk syirik. Namun kesyirikan sebenarnya lebih luas daripada itu. Yaitu yang berkaitan dengan masalah ibadah, jika ada satu ibadah dipalingkan kepada selain Allah, itu pun sudah termasuk syirik.
Syirik merupakan bahaya yang terbesar dan penyakit yang paling berbahaya. Syirik sebagai penyakit hati, karena sumber kesyirikan bermula dari keyakinan (i’tiqad) yang ada di dalam hati

Berbagai tradisi warisan budaya yang selama ini masih banyak dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat yang mengaku dirinya sebagai muslim, ternyata mengandung kesyirikan yang nyata. Karena dalam tradisi tersebut mengandung banyak sekali perilaku keyakinan bahwa ada kekuatan atau kekuasaan lain selain Allah yang dapat memberikan kemaslahatan dan kemudharatan bagi manusia.

Dilihat dari segi syari’at agama perbuatan yang mempercai adanya kekuatan lain yang dapat menimbulkan kemudharatan dan dapat memberian perlindungan kepada manusia sebagai makhluk adalah suatu perbuatan yang sama dengan mengadakan tandingan atas Allah Yang Maha Esa. Kepercayaan ini dinamakan syirik. Karena syirik itu tidak hanya sebatas menyembah atau sujud kepada selain Allah Subhanahu Wata’ala, tetapi segala macam perbuatan yang mengarah kepada pengakuan adanya kekuatan dan kekuasaan lain yang menyamai kekuasaan dan kekuatan Allah Subhanahu Wata’ala dikatagorikan dengan syirik.

Islam telah mensyari’atkan sebagai kewajiban yang mutlak tanpa bisa ditawar-tawar bagi setiap pemeluknya untuk mentauhidkan Allah Yang Maha Esa, baik tauhid Uluhiyah yaitu mengesakan Allah Subhanahu Wata’ala dengan segala bentuk ibadah yang lahir maupun bathin, dalam wujud ucapan maupun perbuatan, lalu menolak segala bentuk ibadah terhadap selain Allah Ta’ala bagaimanapun bentuk dan perwujudannya.

Islam juga mensyari’atkan kewajiban mutlak bagi pemeluknya untuk mentauhidkan Allah dalam tauhid Rububiyah, yaitu pengakuan sejati bahwa Allah adalah Rabb dari segala sesuatu dan raja dari segala sesuatu,pencipota dan pemelihara segala sesuatu, yang berhak mengatur segala sesuatu. Allah tidak memilki sekutu dalam kekuasaannya, tidak ada yang menolong-Nya, karena Dia Lemah ( tapi justeru Dia Maha Mampu), Tidak ada yang bisa menolak keputusan-Nya. Tidak ada yang bisa melawan-Nya, tidak ada yang bbisa menandingi-Nya. Tidak ada yang bisa nenentang-Nya

Syaikh Al- Allamah Hafizh bin Ahmad Al-Hikami dalam buku Pintar Aqidah Ahlussunnah, menyebutkan bahwa kebalikan/lawan dari tauhid Uluhiyah adalah syirik.Syirik sendiri ada dua macam,pertama adalah syirik besar yang berlawanan secara totaliktas dengan tauhid uluhiyah. Yang kedua adalah syirik kecil yang bisa merusak kesempurnaan tauhid..Selanjutnya dijelaskan dalam buku tersebut bahwa syirik besar terjadi apabila seorang hamba menjadikan selain Allah sebagai sekutu-Nya yang ia menyamakannya dengan Rabbul ‘alamin, mencintainya seperti mencintai Allah, takut kepadanya seperti takutnya kepada Allah.minta perlindungan dan berdoa kepadanya . Takut dan berharap kepadanya, mencinta dan bertawakkal kepadanya, menaatinya dalam bermaksiat kepada Allah, atau mengikutinya meski berlawanan dengan keridhaan Allah.

Atas dasar itu maka bandingkanlah apa yang dilakukan oleh kebanyakan orang-orang yang mempunyai tradisi menyediakan sesajen bagi roh-roh halus, ghaib, jin dan syetan atau sesuatu yang dianggap dapat mendatangkan marabahaya/kemudharatan kalau tidak diberikan sesajen, dan akan terlindungi oleh mereka apabila disediakan piduduk. Sangatlah jelas dan nampak terang benderang tidak terselubung bahwa apa yang diperbuat itu suatu kesyirikan besar.

Sungguh manusia sudah berbuat keterlaluan dan melakukan sesuatu yang tidak ada tuntunannya kecuali hanya sekedar mengikuti hawa nafsu yang didalamnya ada bisikan dan godaan syetan yang dilaknat, dan itu mereka lakukan berdasarkan tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang yang masih jahiliyah, tidak kenal akan tauhid, atau mereka ikuti dari meniru perbuatan orang-orang non muslim.

Mengingat bahwa perbuatan tradisi kebanyakan orang banjar dengan menmyediakan piduduk sebagai bentuk persembahan kepada makhluk selain Allah, maka ini merupakan syirik yang digolongkan dalam syirik besar (akbar). Karena dalam syirik akbar ini seseorang hamba menjadikan selain Allah sebagai sekutu-Nya yang ia menymakannya dengan Rabbul ‘alamin, mencintainya seperti mencintai Allah, takut kepadanya seperti takutnya kepada Allah, minta perlindun gan dan berdoa kepadanya.

Mereka-mereka yang terbiasa dengan pekerjaan berbuat syirik kepada Allah dengan menyediakan piduduk, diancam oleh Allah berupa ancaman tidak akan diberikan ampunan, sebagaimana dengan melakukan perbuatan dosa lainnya selain syirik. Ini ditegaskan dalam al-Qur’an surah An- Nisaa ayat 48 :
إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاء وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.(QS. An Nisaa: 48 )

Terhadap orang-orang yang berbuat syirik disebut Allah sebagai orang yang tersesat sejauh-jauhnya sebagaima bunyiAl-Qur’an surah An-Nisaa’ ayat 116 :

إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاء وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيدًا
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. (QS. An Nisaa: 116 )

Orang-orang yang melakukan kesyirikan seperti mereka-mereka yang mempertahankan budaya tradisi syirik dalam kehidupannya sehari-hari diancam oleh Allah SubhanahuWata’ala dengan hukuman api neraka, sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an surah Al-Maa-idah ayat 72 :
- إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّهُ عَلَيهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ 
Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.(QS. Al Maa’idah : 72 )

Hadits Rasullullah shallallahu’alaihi wa salam juga menyinggung hal yang sama sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah radhyallahu’anhu :

صحيح مسلم ١٢٤: حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا جَرِيرٌ وَقَالَ عُثْمَانُ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُرَحْبِيلَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ قَالَ أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ قَالَ قُلْتُ لَهُ إِنَّ ذَلِكَ لَعَظِيمٌ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ مَخَافَةَ أَنْ يَطْعَمَ مَعَكَ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ أَنْ تُزَانِيَ حَلِيلَةَ جَارِكَ
Shahih Muslim 124: dari Abdullah dia berkata, "Aku bertanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, "Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Kamu membuat tandingan bagi Allah (syirik), sedangkan Dialah yang menciptakanmu." Aku berkata, "Sesungguhnya dosa demikian memang besar. Kemudian apa lagi?" Beliau bersabda: "Kemudian kamu membunuh anakmu karena khawatir dia makan bersamamu." Aku bertanya lagi, "Kemudian apa lagi?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. bersabda: "Kamu berzina dengan isteri tetanggamu."

Kepada mereka-mereka akhlus syirik yang meskipun tanpa sadar telah melakukan kesyirikan karena kejahilannya terhadap ilmu agama, maka tidak ada cara lain yang harus dipilih dan ditempuh kecuali melakukan taubat meminta ampun atas prilaku sesat yang telah dilakukan, karena taubat dapat menghapus segala dosa, karena Allah telah menjanjikannya dalam Al-Qur’an sesuai dengan yang tercantum dalam surah Az-Zumar ayat 53:

-قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa ] semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS.Az-Zumar : 53 )

Menurut Allah Ta’ala setiap orang bertaubat niscaya mendapatkan ampunan termasuk mereka yang melakukan kesyirikan, asalkan mereka bertaubat sebelum nafasnya tinggal ditenggorokan ( sebelum ajal/kematian ) dan matahari terbit dari sebelah barat (kiamat). Apabila mati dalam keadaan syirik dan tidakbertaub at sebelumnya maka Allah tidak akan mengampuninya lagi.

P e n u t u p

Sebagian besar masyarakat Muslim beranggapan bahwa yang namanya menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala dengan sesuatu selain-Nya yang lazim dinamakan syirik itu hanya terbatas pada penyembahan kepada berhala-berhala atau patung-patung sebagaimana yang dilakukan oleh kaum musyrikin Arab pada zaman Rasullullah shallallahu’alahi wa sallam . Pengertian syirik itu sesungguhnya sangatlah luas mencakup segala hal yang berkaitan dengan keyakinan mendudukkan sesuatu selain Allah sejajar dengan kedudukan Allah subhanahu wa ta’ala.

Perbuatan syirik yang banyak dilakukan oleh sebagian masyarakat Muslim di negeri ini adalah warisan peninggalan nenek moyang yang hidup di zaman kepercayaan animisme, dinamisme dan hindu serta budha. Peninggalan dari nenek moyang tersebut hingga sekarang terus dilestarikan sebagai tradisi budaya meskipun budaya dan tradisi tersebut sangat bertentangan dengan aqidah Islam yang mentauhidkan Allah.

Masyarakat Muslim yang masih kental mempertahankan budaya tradisi warisan nenek moyang mereka menganggap bahwa melestarikan tradisi budaya bangsa perlu dilakukan karena dianggap mempunyai keariban local, mereka samasekali tidak mau mengindahkan larangan agama.

Masyarakat Muslim yang masih memegang teguh warisan budaya syirik tersebut seyogyanya segera bertaubat dan menuntut ilmu agama khususnya ilmu tauhid, ilmu tentang mengesakan Allah. Insya Allah akan selamatlah kelak dari siksa api neraka . Bersegeralah meninggalkan segala bentuk tradisi syirik yang samasekali tidak memberikan manfaat.
( Wallahu’alam )

Sumber :
1.Al-Qur’an dan Terjemahan, www.Salafi-Db
2.Ensiklopedi Hadits Kitab 9 Imam, www.Lidwa-Pusaka.com
3.Parasit Akidah,A.D.El.Marzdedeq, Syaamil
4.Kitab Tauhid ( Terjemahan) , Syaikh Muhammad bin Abdul Wahb ab at Tamimi, Darul Ilmi
5. Artikel www.yufidia.com

Oleh: Musni Japrie
di http://al-luluwalmarjan.blogspot.com/2012/10/tinggalkan-segala-bentuk-tradisi-yang.html
http://www.novieffendi.com/2013/01/tinggalkan-segala-tradisi-yang-syirik.html