Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
مَا مِنْ مَوُلُودٍ إِلاَّ
يُوْلَدُ عَلىَ الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ
يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَا تُنْتِجُ الْبَهِيْمَةُ
بَهِيْمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟
“Tidaklah setiap anak yang
lahir kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua
orangtuanyalah yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau
Majusi. Seperti hewan melahirkan anaknya yang sempurna, apakah kalian
melihat darinya buntung (pada telinga)?”
Hadits diriwayatkan oleh
Al-Imam Malik rahimahullahu dalam Al-Muwaththa` (no. 507); Al-Imam
Ahmad rahimahullahu dalam Musnad-nya (no. 8739); Al-Imam Al-Bukhari
rahimahullahu dalam Kitabul Jana`iz (no. 1358, 1359, 1385), Kitabut
Tafsir (no. 4775), Kitabul Qadar (no. 6599); Al-Imam Muslim
rahimahullahu dalam Kitabul Qadar (no. 2658).
Terlalu sering dan akrab pada
pendengaran manusia, teguran dan sapaan yang mengajak (memperingatkan)
kepada setiap diri, untuk menjadi seorang yang pandai mensyukuri
nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, bertakwa, bertawakal dan beribadah
hanya kepada-Nya. Namun hal ini kadang dianggap sebagai perkara yang
membosankan. Menjadi perkara yang berlalu tanpa arti, masuk telinga
kanan keluar dari telinga kiri. Semua orang paham, bahwa setiap diri
pasti mempunyai hati, dan bukan ia yang memegang kendali, sehingga
bisa bertindak semaunya sendiri.
Namun ketahuilah, Allah
Subhanahu wa Ta’ala lah yang menguasai hati manusia, yang
membolak-balikkannya, sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya. Tidak
ada seorangpun yang tahu apa yang akan terjadi. Karena bisa jadi,
peringatan yang terulang berkali-kali akan menjadi manfaat dan faedah
yang berarti, bagi orang yang ingin mengubah dan membersihkan diri
dari dosa (perbuatan keji), juga bagi orang yang ingin mendapatkan
pengajaran serta orang yang beriman dengan keimanan yang hakiki.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
عَبَسَ وَتَوَلَّى. أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى. وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى. أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى
“Dia (Muhammad) bermuka masam
dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah
kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia
ingin mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu bermanfaat
kepadanya?” (‘Abasa: 1-4)
Demikian pula pada ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan tetaplah memberi
peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi
orang-orang yang beriman.” (Adz-Dzariyat: 55)
Juga sebagaimana yang tersebut dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَذَكِّرْ إِنْ نَفَعَتِ الذِّكْرَى
“Oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat.” (Al-A’la: 9)
Pada asalnya, hati memiliki
kecenderungan dan kecondongan untuk mencintai apa yang Allah Subhanahu
wa Ta’ala cintai dan membenci apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
benci. Jika diingatkan akan keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala,
keagungan dan kebesaran, serta ayat-ayat dan tanda-tanda
kekuasaan-Nya, hati akan teringat kepada-Nya. Jika ditakut-takuti
akan berat dan sakitnya azab Allah Subhanahu wa Ta’ala, hati akan
takut kepada-Nya. Inilah hati yang mendapatkan petunjuk Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Dia memberikan petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اللهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ
الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ
الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ
وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللهِ يَهْدِي بِهِ
مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ
“Allah telah menurunkan
perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur`an yang serupa lagi
berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada
Rabbnya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu
mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia
menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.” (Az-Zumar: 23)
Namun, apabila hati telah
ternodai, berkarat seperti pada besi, diingatkan akan ayat-ayat dan
tanda-tanda kekuasaan-Nya, kepada kenikmatan-kenikmatan dan
siksaan-Nya, dia tidak akan ingat. Bahkan akan mengingkari, terus
menerus berdiri dan berjalan di atas kebatilan –baik dalam keyakinan
maupun ucapan–, di sekitar keburukan dan kerusakan ucapan dan
perbuatan… Jika demikian, ini bukanlah hati seorang muslim, seperti
yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan:
بَلْ عَجِبْتَ وَيَسْخَرُونَ. وَإِذَا ذُكِّرُوا لاَ يَذْكُرُونَ
“Bahkan kamu menjadi heran
(terhadap keingkaran mereka) dan mereka menghinakanmu. Dan apabila
mereka diberi peringatan mereka tidak mengingatnya.” (Ash-Shaffat:
12-13)
Demikian pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَإِذَا قِيلَ لَهُ اتَّقِ اللهَ أَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ بِالْإِثْمِ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ
“Dan apabila dikatakan
kepadanya: ‘Bertakwalah kepada Allah’, bangkitlah kesombongannya yang
menyebabkannya berbuat dosa.” (Al-Baqarah: 206)
Di antara sekian bentuk
peringatan yang tersebut dalam Al-Qur`an maupun dalam hadits-hadits
yang shahih adalah ajakan untuk mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa
Ta’ala, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah, dan peringatan
dari mengkufuri (mengingkari)-nya. Seperti firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلاَ تَكْفُرُونِ
“Dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari nikmat)-Ku.” (Al-Baqarah: 152)
Demikian pula adanya perintah
Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia secara umum untuk mengingat
nikmat-Nya. Karena apapun bentuknya, segala yang telah diperoleh
setiap manusia berupa kenikmatan baik yang lahir maupun yang batin,
kesehatan, kelapangan waktu maupun rizki, banyak maupun sedikit, baik
dirasakan dan disadari maupun tidak, semuanya datang dari-Nya.
Dialah yang menciptakan langit dan bumi. Dia Maha Kuasa atas segala
sesuatu. Dialah yang menganugerahkan rahmat kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا
نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللهِ يَرْزُقُكُمْ
مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ فَأَنَّى
تُؤْفَكُونَ
“Hai manusia, ingatlah akan
nikmat Allah kepadamu. Adakah pencipta selain Allah yang dapat
memberikan rizki kepada kamu dari langit dan bumi? Tidak ada
sesembahan (yang berhak disembah) kecuali Dia; maka mengapa kalian
berpaling?” (Fathir: 3)
Dari sekian nikmat Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang wajib untuk disyukuri ialah adanya anak di
tengah keluarga. Merupakan idaman, harapan dan dambaan bagi yang
telah berkeluarga, adanya anak yang dapat menjadi penghibur bagi
keduanya. Selain itu, terbetik harapan agar ia menjadi anak yang taat
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, lagi berbakti kepada orangtua, serta menjadi anak yang
baik lagi beragama.
Allah Subhanahu wa Ta’ala
menciptakan manusia melalui sebab adanya orangtua. Karena itulah
Allah Subhanahu wa ta'ala agungkan hak kedua orangtua atas anaknya
(yaitu kewajiban yang harus ditunaikan oleh seorang anak kepada kedua
orangtuanya). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat baik) kepada kedua orangtuanya.” (Al-’Ankabut: 8)
Adakah harapan dan dambaan
serta kebanggaan yang lain bagi orangtua yang muslim dan beriman,
jika anak yang lahir darinya dan dididik di atas fitrahnya, selain
mendapati anaknya menjadi anak shalih yang senantiasa mendoakan
orangtuanya, dan di hari kiamat ia menjadi sebab terangkatnya derajat
kedua orangtuanya?
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ
انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ؛ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ
عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ الَّذِي يَدْعُو لَهُ
“Apabila manusia telah mati,
terputuslah amalannya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang
bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Demikian pula sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ
لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِي الْجَنَّةِ
فَيَقُولُ: ياَ رَبِّ أَنَّى لِيْ هَذِهِ؟ فَيَقُولُ: بِاسْتِغْفَارِ
وَلَدِكَ لَكَ.
“Sesungguhnya Allah akan
mengangkat derajat seorang hamba yang shalih di jannah, kemudian ia
berkata: ‘Wahai Rabbku, dari mana ini?’ Maka Allah berfirman: ‘Dengan
sebab istighfar (permintaan ampun) anakmu untukmu’.” (HR. Ahmad)
Dan Al-Bazzar meriwayatkan dengan lafadz:
أَوْ بِدُعَاءِ وَلَدِكَ لَكَ
“Dengan sebab doa anakmu untukmu” (Lihat Ash-Shahihul Musnad, 1/383-384, cet. Darul Quds)
Memang tidak semua anak yang
lahir akan menjadi dambaan dan kebahagiaan bagi kedua orangtua. Ada
pula anak yang menjadi siksaan bagi keduanya. Oleh karena itu Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلاَدِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ
“Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya di antara istri-istri dan anak-anakmu ada yang menjadi
musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka.”
(At-Taghabun: 14)
Jika demikian, apakah yang
sudah dilakukan oleh orangtua untuk anaknya? Adakah keinginan untuk
menyenangkan anak cukup dengan mengikuti dan memenuhi segala apa yang
disenangi dan dimaui, tanpa memedulikan keselamatan agamanya?
Sudahkah seorang ayah atau ibu memberikan atau mengupayakan sesuatu
yang dapat menjadi sebab untuk menguatkan sang anak agar ia hidup dan
meninggal tetap berada di atas fitrahnya? Tidakkah seorang menyadari
bahwa orangtua menjadi sebab akan agama yang dianut anaknya? Di
manakah dia berada?
Makna dan Faedah Hadits
- Lafadz:
مَا مِنْ مَوُلُودٍ
Pada riwayat lain: كُلُّ مَوْلُودٍ, artinya setiap yang dilahirkan (bayi).
Al-Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullahu berkata: “Yaitu dari bani Adam, seperti yang tersebut
dalam riwayat dari jalan Ja’far bin Rabi’ah dari Al-A’raj dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz:
كُلُّ بَنِي آدَمَ يُوْلَدُ عَلىَ الْفِطْرَةِ
“Setiap bani Adam dilahirkan dalam keadaan fitrah.”
Demikian pula Khalid Al-Wasithi
meriwayatkan dengan lafadz yang serupa, dari Abdurrahman bin Ishaq
dari Abu Zinad dari Al-A’raj. Riwayat ini disebutkan oleh Ibnu Abdil
Bar dalam kitabnya At-Tamhid.
Sekilas, riwayat ini mengandung
kejanggalan, karena berkonsekuensi bahwa setiap yang lahir akan ada
yang menjadi Yahudi atau yang lain seperti tersebut dalam hadits.
Juga bahwa sebagian dari yang dilahirkan itu tetap menjadi seorang
muslim dan tidak terjadi padanya sesuatu (perubahan). Jawabnya
adalah, kekufuran yang terjadi (setelah bayi lahir) bukan
bawaan diri sang bayi dan tabiatnya, namun hal itu terjadi karena
adanya sebab dari luar. Jika seorang bayi selamat dari sebab
luar yang memengaruhinya, ia akan terus berada pada kebenaran
(fitrahnya). Hal inilah yang menguatkan pendapat yang benar dalam
mengartikan makna fitrah. (lihat Al-Fath, 3/303, cet. Darul Hadits,
dan At-Tamhid, 18/98, Al-Maktabah As Syamilah).
Al-Imam Muslim rahimahullahu
meriwayatkan dari jalan Abdul Aziz Ad-Darawardi, dari Al-’Ala` bin
Abdirrahman, dari ayahnya Abdurrahman bin Ya’qub, dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
كُلُّ إِنْسَانٍ تَلِدُهُ أُمُّهُ عَلَى الْفِطْرَةِ
“Setiap manusia dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan fitrah.”
- Lafadz:
يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ
“Dilahirkan dalam kedaan fitrah.”
Al-Hafizh rahimahullahu
berkata: “Yang nampak bahwa sifat ini umum pada seluruh anak yang
dilahirkan. Hal ini seperti yang ditegaskan dalam riwayat sebelumnya
(dalam Shahih Al-Bukhari hadits no. 1359), dari jalan Yunus bin Yazid
Al-Aili, dari Az-Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah dengan
lafadz:
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلىَ الْفِطْرَةِ
“Tidaklah setiap anak yang lahir, kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah.”
Dalam Shahih Muslim (Kitabul Qadar-46/bab-6/no.23) dari jalan Abu Shalih, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz:
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ
“Tidaklah setiap anak yang lahir, kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah.”
Ibnu Abdil Bar menghikayatkan
pendapat yang menyatakan bahwa hadits ini tidak berkonsekuensi
keumuman (meliputi setiap bayi). Namun maksud dari hadits ini adalah,
setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah dan ia memiliki
kedua orangtua yang keduanya beragama selain Islam, maka kedua
orangtuanyalah yang telah memindahkan fitrah (agama) anaknya kepada
agama selain Islam (Yahudi atau Nasrani). Maka perkiraan makna hadits
ini ialah: Setiap anak yang lahir dilahirkan dalam keadaan fitrah,
sedangkan kedua orangtuanya Yahudi (misalnya), maka keduanya telah
menjadikan anaknya Yahudi. Kemudian di waktu baligh, ia akan dihukumi
dengan apa yang sesuai padanya.
Untuk membantah pendapat ini, cukuplah dengan riwayat yang jelas, seperti riwayat dari jalan Ja’far bin Rabi’ah:
كُلُّ بَنِي آدَمَ يُوْلَدُ عَلىَ الْفِطْرَةِ
“Setiap bani Adam dilahirkan dalam keadaan fitrah.” (Al-Fath, 3/303)
Makna Fitrah
Para ulama salaf berbeda
pendapat dalam memaknai kata fitrah dengan pendapat yang cukup
banyak. Pendapat yang paling masyhur dalam hal ini ialah bahwa
maknanya Islam. Ibnu Abdil Bar berkata: “Pendapat inilah yang dikenal
di kalangan ulama salaf.” Para ulama sepakat pula dalam menafsirkan
makna fitrah pada ayat:
فِطْرَةَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
“(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (Ar-Rum: 30)
Yakni Islam.
Mereka berhujjah dengan ucapan
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pada akhir haditsnya. Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu berkata: Bacalah oleh kalian jika kalian berkenan:
فِطْرَةَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
Juga dengan hadits ‘Iyadh bin
Himar Al-Mujasyi’i dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman (dalam hadits qudsi):
إِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِيْنِهِمْ
“Sesungguhnya Aku ciptakan
hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan lurus bertauhid (Islam),
kemudian setan mendatangi (menggoda)nya, lalu memalingkan mereka dari
agamanya (supaya tersesat).” (HR. Muslim no. 2875)
Al-Imam Al-Bukhari
rahimahullahu juga memastikan pendapat ini, seperti yang beliau
sebutkan dalam Kitab Tafsir, surat Ar-Rum ayat 30, bahwa al-fitrah
adalah Islam. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Ucapan ini
bersumber dari Ikrimah dengan sanad yang sampai kepadanya,
sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu
dalam tafsirnya.”
Ibnu Baththal rahimahullahu
dalam syarahnya (5/417, Maktabah Syamilah) berkata setelah
menyebutkan pendapat ulama yang memaknai fitrah adalah agama Islam:
“Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Hurairah, Ikrimah, Al-Hasan
(Al-Bashri), Ibrahim (An-Nakha’i), Adh-Dhahhak, Qatadah, dan
Az-Zuhri.”
Al-Imam Ahmad rahimahullahu
berkata: “Barangsiapa yang meninggal (yakni seorang anak) dan kedua
orangtuanya dalam keadaan kafir, maka ia dihukumi sebagai anak
muslim.” Beliau berdalil dengan hadits Abu Hurairah di atas. Hal ini
menunjukkan bahwa beliau menafsirkan al-fitrah dengan Islam. Dan
inilah pendapat beliau yang terakhir dalam hal ini, sebagaimana yang
dihikayatkan oleh Muhammad bin Nashr.
Ibnu Abdil Bar dan yang lain
menyatakan adanya pendapat lain dalam masalah ini. Di antaranya
adalah ucapan Abdullah ibnul Mubarak, bahwa maksud dari hadits ini
adalah: Seorang anak yang lahir akan berada pada apa yang akan
terjadi padanya, celaka atau bahagia. Barangsiapa yang telah Allah
Subhanahu wa Ta’ala ketahui bahwa ia akan menjadi seorang muslim maka
ia dilahirkan di atas keislaman. Dan barangsiapa yang telah Allah
Subhanahu wa Ta’ala ketahui bahwa ia akan menjadi orang kafir, maka
ia dilahirkan di atas kekafiran. Seolah-olah beliau menakwilkan makna
fitrah dengan ilmu Allah.
Pendapat ini disanggah dengan
alasan, bahwa kalau memang demikian maknanya, maka sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Maka kedua orangtuanyalah yang akan
mengubah anak itu menjadi Yahudi…” menjadi tidak bermakna. Karena
kedua orangtuanya berbuat sesuatu yang telah menjadi fitrah anaknya
ketika lahir. Hal ini bertentangan dengan permisalan yang dibuat oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits (yaitu anak
lahir dalam keadaan selamat, seperti hewan lahir tanpa cacat. Kalau
kemudian terjadi buntung (putus telinganya), siapa yang berbuat?)
Sebagian ulama menyatakan,
maknanya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan kepada mereka
pengenalan dan pengingkaran (terhadap Penciptanya). Dan ketika Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengambil persaksian dari keturunan (anak-anak
Adam), semuanya berkata (menjawab): “Betul.”[1] Ahlu sa’adah
(orang-orang yang bahagia / selamat) akan menjawabnya dalam keadaan
suka (menerima). Adapun ahlu syaqawah (orang-orang yang celaka)
menjawabnya dalam keadaan terpaksa. Muhammad bin Nashr berkata: Aku
mendengar dari Ishaq bin Rahawaih bahwa dia condong kepada pendapat
ini, dan beliau menguatkannya.
Pendapat ini disanggah dengan
alasan bahwa perincian semacam ini (yaitu menjawab dengan suka atau
terpaksa) membutuhkan penukilan (dalil) yang shahih. Tidak ada yang
meriwayatkan seperti ini kecuali As-Sudi, itupun tanpa sanad. Ada
kemungkinan pula diambil dari kisah Israiliyat. Demikian kata Ibnul
Qayyim rahimahullahu, beliau dapatkan dari gurunya.
Ada pula yang berpendapat, yang
dimaksud dengan fitrah ialah Al-Khilqah (ciptaan) yaitu dilahirkan
dalam keadaan selamat, tidak tahu kekufuran dan keimanan. Kemudian ia
akan meyakini apabila telah sampai masa taklif (dibebani syariat).
Pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Abdil Bar, dengan alasan sesuai
dengan hadits (penyerupaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan lahirnya hewan yang selamat, tidak buntung), dan hal ini tidak
bertentangan dengan hadits ‘Iyadh bin Himar. Karena maksud kata
hanif dalam hadits tersebut adalah dalam keadaan istiqamah.
Pendapat ini terbantah, dengan
alasan bila yang dimaksud demikian tentu beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak mencukupkan perubahan (fitrah) kepada agama kufur
saja tanpa menyebut agama Islam. Juga, ucapan Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu dengan menyebut ayat setelah menyebutkan hadits
menjadi tidak berarti.
Termasuk yang menguatkan
pendapat yang benar dalam hal ini adalah kalimat “…maka kedua
orangtuanyalah yang akan menjadikan ia Yahudi.” Bukanlah berarti
adanya fitrah menjadi syarat, namun untuk menjelaskan apa yang akan
menghalangi sebab terjadinya. Seperti seorang anak lahir, kemudian ia
menjadi seorang Yahudi. Hal ini terjadi karena adanya perkara dari
luar fitrah yang mempengaruhi. Berbeda bila ia tetap dalam keadaan
muslim (maka ia akan tetap berada pada fitrahnya).
Ibnul Qayyim rahimahullahu
berkata: “Yang menyebabkan perselisihan para ulama dalam memaknai
kata fitrah dalam hadits ini adalah bahwa kaum Qadariyah (para
pengingkar takdir) menjadikan hadits ini sebagai hujjah (alasan),
untuk menyatakan bahwa kekufuran dan kemaksiatan terjadi bukan karena
ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi manusialah yang
memulainya. Dari sinilah, beberapa ulama berupaya untuk menyelisihi
pendapat mereka dalam menakwilkan fitrah kepada makna lain selain
makna Islam.”
Kemudian beliau berkata: “Yang
demikian itu tidak perlu. Karena ucapan-ucapan yang dinukil dari para
ulama salaf menunjukkan bahwa tidak ada di antara mereka yang
memahami lafadz fitrah selain makna Islam. Memaknakan fitrah dengan
Islam tidaklah berkonsekuensi menyepakati pendapat mereka. Karena
makna “maka kedua orangtuanyalah…dst” adalah bahwa hal itu terjadi
juga dengan takdir (ketentuan) Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dari
sinilah Al-Imam Malik rahimahullahu menyanggah mereka dengan kalimat
yang terdapat dalam riwayat lain yang di akhirnya berbunyi:
اللهُ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Allah lebih mengetahui dengan apa yang akan mereka perbuat nanti.” (Al-Fath, 3/303-305)
- Lafadz:
فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi.”
Dalam Shahih Muslim terdapat tambahan riwayat dari jalan Al-A’masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
أَوْ يُشَرِّكَانِهِ
“Menjadikannya seorang musyrik.”
Riwayat ini juga terdapat dalam
Musnad Al-Imam Ahmad, Musnad Al-Humaidi, dan Musykilul Atsar karya
Ath-Thahawi. Dalam kitab yang sama, Al-Imam Ath-Thahawi menyebutkan
riwayat dari jalan Suhail, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu:
أَوْ يُكَفِّرَانِهِ
“Menjadikannya seorang kafir.”
Ath-Thibi berkata: “(Huruf) fa`
pada kalimat ini bisa sebagai at-ta’qib (mengikuti) sababiyyah
(sebab) atau jaza` syarth muqaddar (jawaban dari kata kerja/fi’l
syarat yang diperkirakan). Maknanya, apabila (setiap anak yang lahir)
telah ditetapkan demikian (berada pada agama Islam), kemudian
terjadi perubahan (pada agamanya), maka itu disebabkan oleh
orangtuanya. Baik dengan cara pengajaran orangtua atau dorongan
(ajakan) orangtua kepadanya. Sehingga, seorang anak yang agamanya
mengikuti agama orangtuanya, (menunjukkan) bahwa hukum anak itu
seperti hukum kedua orangtuanya.”
Asal Muasal Majusi
Abu Faidh Muhammad Al-Husaini berkata dalam kitabnya Tajul ‘Arus
(1/4132, Maktabah Syamilah), menukil ucapan Al-Azhari: “Pencetus agama
Majusi adalah seorang yang kecil / pendek kedua daun telinganya. Hal
ini berdasarkan asal kata المجوس dari مِنج, artinya kecil / pendek,
dan كُوس artinya dua daun telinga. Sebagian mengatakan bahwa
Zaradusyt Al-Farisi bukanlah pencetus agama Majusi, karena ia hidup
setelah Nabi Ibrahim 'alaihis salam, sedangkan Majusi adalah agama
lama (yang terdahulu). Hanya saja ia menjadi pembaru, menampakkan
serta menyebarkannya.
Penyerupaan Kaum Qadariyah sebagai Majusi Umat Ini
Adapun hadits yang menyebutkan adanya penyerupaan kaum Qadariyyah
(para pengingkar takdir) dengan Majusi, seperti yang tersebut dalam
hadits Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:
الْقَدَرِيَّةُ مَجُوسُ هَذِهِ الْأُمَّةِ
“Al-Qadariyah majusinya umat ini.” (HR. Abu Dawud)
Karena kaum Majusi memiliki
keyakinan adanya dua hal yang mendasar, adanya dua pencipta / dewa,
yaitu Cahaya dan Kegelapan. Cahaya yang mendatangkan (menciptakan)
kebaikan, sedang kegelapan yang mendatangkan (menciptakan) keburukan.
Demikian pula dengan kaum Qadariyah, mereka meyakini bahwa kebaikan
itu Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menciptakannya. Sedangkan
keburukan, manusia atau setanlah yang menciptakannya. Keyakinan
seperti adalah keyakinan yang batil (salah), karena segala sesuatu
apapun bentuknya (kebaikan / keburukan), Allah Subhanahu wa
Ta’ala-lah yang menciptakannya. Sebagaimana yang Allah Subhanahu wa
Ta’ala beritakan dalam Al-Qur`an:
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan takdir (ketentuan / ketetapan).” (Al-Qamar: 49)
- Lafadz:
كَمَا تُنْتِجُ الْبَهِيْمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ
“Seperti hewan yang melahirkan seekor hewan yang sempurna, apakah kalian melihat padanya ada buntung (perubahan)?”
Makna جَمْعَاءَ yaitu, tidak
ada sesuatu pun dari badannya yang hilang. Dinamai demikian karena
terkumpulnya seluruh anggota badan (tidak ada yang kurang/buntung).
Makna جَدْعَاءَ yaitu, yang putus (buntung) telinganya.
Ath-Thibi berkata: “Kata ini
menjelaskan tentang selamatnya hewan tersebut dari cacat. Dalam
lafadz ini terdapat penguat bahwa setiap orang yang melihat kepada
hewan (yang baru lahir), ia akan mengatakan hal itu, karena nampak
keselamatannya (tidak ada cacatnya).”
Pada lafadz ini terdapat
isyarat kepada bahwa ketetapan mereka di atas kekufuran adalah
disebabkan oleh ketulian (tidak mau mendengar) perkara yang benar
(al-haq).
Makna هَلْ تُحِسُّونَ yaitu,
apakah kalian melihat, berasal dari kata الْإِحْسَاسُ yaitu rasa.
Maksudnya adalah pengetahuan terhadap sesuatu, yang dengannya
menghendaki / menginginkan bahwa hewan yang lahir itu dalam keadaan
sempurna (tidak cacat / buntung). Hanya saja, setelah itu
pemiliknyalah yang menjadikan hewan tersebut menjadi buntung / putus
telinganya, bukan bawaan dari lahir. Seperti yang dikatakan oleh Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu setelah menyebutkan hadits, beliau
membaca:
فِطْرَةَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَ تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
“(Tetaplah atas) fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada
perubahan pada ciptaan Allah, itulah agama yang lurus.” (Ar-Rum: 30)
Lafadzﯠ ﯡ ﯢ ﯣﯤ maknanya adalah
لاَ تَبْدِيلَ لِدِيْنِ اللهِ “Tidak ada perubahan pada agama Allah”,
sebagaimana yang dikatakan oleh Ibrahim An-Nakha’i, Mujahid, Ikrimah,
Qatadah, dan Sa’id bin Jubair. (Lihat Al-Fath, 3/306, 8/630)
Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah tentang Hadits Ini
Sebuah pertanyaan pernah diajukan kepada Al-Lajnah: Ada sebuah hadits
yang mulia berbunyi: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah,
maka kedua orangtuanya-lah yang akan menjadikannya sebagai seorang
Yahudi, Majusi atau Nasrani.” Dan hadits lain berbunyi: “Setiap jiwa
yang lahir telah ditetapkan rizki dan amalannya, apakah ia celaka
ataukah bahagia.” Bagaimana perincian dan penjelasannya, serta apa
perbedaan antara kedua hadits ini?
Jawabannya:
Pertama, hadits yang
pertama diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Ath-Thabarani dalam
Al-Mu’jam Al-Kabir, dan Al-Imam Muslim rahimahullahu meriwayatkan
dengan lafadz: “Setiap manusia dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan
fitrah.”
Al-Imam Al-Bukhari
rahimahullahu meriwayatkan dengan lafadz: “Setiap anak dilahirkan
dalam keadaan fitrah maka kedua orangtuanyalah yang akan
menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi, sebagaimana hewan
yang melahirkan anaknya, apakah kamu melihat darinya perubahan
(buntung)?”
Makna hadits ini adalah bahwa
setiap manusia dilahirkan (ditetapkan) berada pada fitrahnya (Islam),
namun perlu adanya pengajaran kepadanya dengan perbuatan (untuk
tetap senantiasa berada dalam Islam). Maka barangsiapa yang telah
Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan keadaannya sebagai orang yang
beruntung (Islam), Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mempersiapkan
baginya seorang yang mengajarinya kepada jalan yang benar, dan
menjadilah anak itu siap untuk melakukan kebaikan. Barangsiapa yang
Allah Subhanahu wa Ta’ala telantarkan dan tetapkan sebagai orang yang
celaka, Dia akan jadikan sebab orang yang akan mengubah fitrahnya
sehingga mampu mengubah ketetapan fitrahnya. Hal ini sebagaimana yang
tersebut dalam hadits, yaitu adanya peranan kedua orangtua dalam
mengubah anaknya (yang berfitrah Islam) menjadi orang yang beragama
Yahudi, Nasrani atau Majusi.
Kedua, dalam Shahih
Al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bercerita
kepada kami dan beliau adalah orang yang benar lagi dibenarkan:
-Al-Hadits-. Makna ketetapan seseorang itu celaka atau bahagia, hal
itu merupakan ketetapan yang azali (abadi) berdasarkan ilmu Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang telah mendahuluinya. Keadaan akhir hidup
seseorang juga sesuai dengan ilmu Allah yang telah mendahuluinya.
Ketiga, dengan
menelaah makna hadits yang pertama dan kedua di atas serta
memerhatikan pertanyaan yang diajukan, disimpulkan bahwa kedua hadits
tersebut tidak terdapat pertentangan di dalamnya. Karena
sesungguhnya manusia diciptakan di atas ketetapan fitrah yang baik.
Jika dia dijadikan sebagai orang yang bahagia sebagaimana ketetapan
ilmu Allah, maka akhir hidupnya ditetapkan menjadi husnul khatimah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mempersiapkan orang yang akan
menunjukinya kepada jalan kebaikan. Sebaliknya, jika keberadaanya
sebagai orang yang celaka sebagaimana ketetapan ilmu Allah maka akhir
hidupnya ditetapkan menjadi celaka. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga
akan mendatangkan baginya seorang yang akan memalingkan dirinya dari
jalan kebaikan, menemani dan mengajaknya pada jalan keburukan, dan
selalu menyertainya hingga ditetapkan baginya akhir hidup yang buruk.
Telah banyak dalil yang
menyebutkan adanya ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
mendahului sebelum penciptaan manusia, baik kebahagiaan atau
keburukan. Dalam Shahih Al- Bukhari dan Shahih Muslim dari ‘Ali bin
Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda:
“Tidaklah setiap jiwa yang
ditiupkan ruh padanya kecuali Allah tetapkan tempatnya dari penghuni
jannah atau neraka, dan telah ditetapkan sebagai seorang yang celaka
atau bahagia.” Kemudian seorang sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah,
apakah kita hanya berdiam saja (pasrah) dengan apa yang telah menjadi
ketetapan Allah dan meninggalkan amal perbuatan (berusaha)?” Beliau
bersabda: “Beramallah (berusahalah), setiap kalian akan dimudahkan
dengan apa yang telah ditetapkan baginya. Orang-orang yang ditetapkan
bahagia mereka akan dimudahkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan
yang mulia. Adapun orang-orang yang telah ditetapkan celaka akan
dimudahkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk.” Kemudian
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala:
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى. وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (jannah).”
Hadits di atas menerangkan
bahwa celaka dan bahagia merupakan suatu ketetapan Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Dan hal itu ditentukan sesuai dengan amal perbuatan. Setiap
orang akan dimudahkan untuk menjalankan amal perbuatan sebagaimana
yang telah ditentukan baginya, yang mana hal tersebut akan menjadi
sebab dia bahagia atau celaka.
Wabillahi taufiq. Semoga Allah
Subhanahu wa Ta’ala mencurahkan shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga beserta sahabat
beliau seluruhnya.
Al-Lajnah Ad Da’imah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta`
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Wakil: Abdurrazzaq ‘Afifi
Anggota Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud. (Fatawa Al-Lajnah, 5/343-345, Maktabah Syamilah)
Walaupun setiap anak lahir akan
berada pada fitrahnya, namun orangtua memiliki peran yang besar.
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Sebagian ulama berkata:
‘Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menanyakan tanggung
jawab orangtua atas (pendidikan) anak, sebelum menanyakan kepada anak
atas baktinya kepada orangtua. Karena, sebagaimana orangtua memiliki
hak atas anaknya (yaitu kewajiban yang harus ditunaikan oleh seorang
anak kepada orangtuanya), anak juga memiliki hak atas orangtuanya
(berupa kewajiban yang harus ditunaikan oleh orangtua kepada anak).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu.” (At-Tahrim: 6)
Barangsiapa yang menelantarkan
anak dari pendidikan (agama) yang akan bermanfaat baginya, serta
membiarkannya hidup sia-sia tanpa guna, ia telah melakukan kesalahan
yang fatal. Karena, kerusakan yang terjadi pada kebanyakan anak
berasal dari orangtua dan ketidakpedulian mereka atas pendidikan anak
mereka. Mereka tidak mengajari anak tentang perkara-perkara yang
Allah Subhanahu wa ta'ala wajibkan dan yang Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam sunnahkan. Mereka telah menyia-nyiakan anak-anak
sewaktu kecilnya. Dengan sebab itu, orangtua tidak memperoleh manfaat
(kebaikan) untuk dirinya sendiri. Dengan sebab itu pula, anak tidak
akan memberi manfaat kepada orangtuanya kala mereka telah lanjut
usia. Seperti adanya anak yang membalas kejelekan orangtua dengan
kedurhakaannya. Bisa jadi anak akan berkata: “Wahai ayahku, engkau
telah berbuat jelek di masa kecilku, maka akupun mendurhakaimu di
masa tuamu. Engkau telah sia-siakan diriku di masa kecilku, akupun
menyia-nyiakanmu di masa tuamu.”
Oleh karena itu, orangtua
hendaknya mencurahkan tenaga dan upaya untuk mendidik anak-anaknya.
Hidayah (petunjuk) itu berada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Manusia tidak akan mampu memberi hidayah kepada dirinya sendiri,
terlebih lagi memberi hidayah kepada orang lain.
Inilah Nuh, salah seorang nabi
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau tidak mampu memberi hidayah kepada
anaknya. Beliau berharap sangat agar anaknya ikut bersamanya dan
bukan bersama orang-orang kafir, sebagaimana Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
وَهِيَ تَجْرِي بِهِمْ فِي
مَوْجٍ كَالْجِبَالِ وَنَادَى نُوحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ
يَابُنَيَّ ارْكَبْ مَعَنَا وَلاَ تَكُنْ مَعَ الْكَافِرِينَ. قَالَ
سَآوِي إِلَى جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ الْمَاءِ قَالَ لاَ عَاصِمَ
الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللهِ إِلاَّ مَنْ رَحِمَ وَحَالَ بَيْنَهُمَا
الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِينَ
“Dan Nuh memanggil anaknya yang
berada di tempat yang jauh terpencil: ‘Hai anakku, naiklah (ke
kapal) bersama kami dan janganlah engkau berada bersama orang-orang
kafir.’ Anaknya menjawab: ‘Aku akan mencari perlindungan ke gunung
yang dapat melindungiku dari air bah.’ Nuh berkata: ‘Tidak ada yang
melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah saja yang Maha
Penyayang.’ Gelombang pun menjadi penghalang antara keduanya, maka
jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (Hud:
42-43)
Seorang salaf yang bernama
Syu’bah bin Al-Hajjaj berkata: “Telah lahir anakku lalu aku beri nama
Sa’d (kebahagiaan). Namun ia tidak bahagia dan tidak pula
beruntung.” Beliau pernah berkata kepada anaknya: “Pergilah engkau
(belajar) kepada Hisyam Ad-Dustuwa`i.” Anak itu menyahut: “Saya ingin
melepas burung merpati.”
Demikian pula penuturan Isma’il
bin Ibrahim bin Miqsam, seorang lelaki yang shalih. Di antara
anak-anaknya ada yang bernama Ibrahim, namun ia menjadi seorang yang
berpemikiran Jahmiyah tulen (pengikut Jahm bin Shofwan, yang memiliki
aqidah menolak nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
sifat-sifat-Nya) dan berpendapat bahwa Al-Qur`an adalah mahkluk.
Hidayah berada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun seorang hamba harus menempuh sebab. Jika
Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki kebaikan kepadanya (anak),
tentulah dia akan tunduk kepada nasihat. Namun jika Dia menghendaki
lain, maka ia akan berada di atas kebatilan. Seorang penyair berkata:
Jika perangai itu adalah perangai yang jelek
Maka tidak ada pendidikan maupun pendidik yang berguna
(Sebagian dinukil dari Nashihati lin Nisa`, hal.75-76, cet. Darul Haramain)
Tiada permohonan yang pantas
kecuali meniru apa yang telah diucapkan oleh orang-orang shalih
kepada Rabb mereka dalam doanya, sebagaimana firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala:
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا
هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ
وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Dan orang-orang yang berkata:
‘Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan
keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami
sebagai imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Furqan: 74)
Wallahu a’lam bish-shawab.
______________
[1] Seperti yang tersebut dalam surat Al-A’raf ayat 172:
أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى
“Bukankah Aku ini Rabb kalian?” Mereka menjawab: “Benar.”
Sumber: www.asysyariah.com
http://faisalchoir.blogspot.sg/2012/01/orangtua-sebab-sang-anak-berada-pada_08.html