Penulis: Ummu Ayyub
Muroja’ah: Ustadz Subhan Khadafi, Lc.
Data
sensus penduduk di negeri ini menunjukkan bahwa sebagian besar
penduduknya beragama islam. Ini adalah sebuah realita yang seharusnya
dengannya kita bisa melihat adanya sebuah generasi yang tangguh, tetapi
ternyata tidak.
Mari kita lihat keadaan diri dan anak-anak
kita. Kenyataannya masih sangat sedikit yang benar-benar serius
memperhatikan pendidikan. Sebagian besar acuh dan tidak peduli…
Mungkin banyak yang merasa keberatan dengan pernyataan di atas dan menyanggah: “TIDAK!
Saya memperhatikan pendidikan anak-anak saya! Saya akan melakukan
segalanya demi pendidikan mereka. Seandainya harus menjual tanah, saya
akan melakukannya untuk bisa menyekolahkan mereka sampai jadi sarjana!
Biarpun saya cuma lulusan SMP, tapi saya ingin anak saya berpendidikan
tinggi!”
Seperti inilah yang kebanyakan kita
pahami tentang kewajiban mendidik anak, yaitu menyekolahkan anak
sampai tinggi, atau bagaimana supaya anak menjadi cerdas, pintar, dan
tidak gagap teknologi.
Untuk bisa menyekolahkan anak sampai
sarjana, kita rela menjual tanah atau cari hutangan tapi untuk agama
mereka kita tidak peduli.
Kita bisa geger ketika melihat
nilai matematika anak kita dapat angka 3, lalu segera keliling cari
tempat kursus yang bagus untuknya. Tapi kita tidak peduli (baca: tidak
geger) ketika anak kita diajari pelajaran PPKN di sekolah; anak kita
diajari bahwa agama di Indonesia ini ada lima dan semua agama itu
sama. Semuanya mengajarkan kebaikan, jadi harus saling menghormati.
Padahal telah nyata kebenaran bahwa agama yang Allah subhanahu wa
ta’ala ridhoi hanyalah islam. Kata “hanyalah” menunjukkan bahwa tidak
ada yang lain. Hal ini termasuk hal yang besar bagi seorang muslim
yang tidak layak untuk disepelekan karena ini menyangkut aqidah
seseorang.
Kebanyakan dari kita, seandainya pun
memperhatikan kelakuan anak, berkelakuan baik yang dimaksud tolok
ukurnya adalah masyarakat. Jadi ketika melihat putri kesayangan
jalan-jalan ke mall dengan pakaian ‘pas-pasan’ bersama teman
laki-lakinya, ini -menurut pengertian di sini- masih termasuk dalam
kriteria ‘berkelakuan baik dan tidak nakal’ karena masyarakat
menganggap wajar bagi seorang ABG. Atau ketika putra kesayangan
membeli majalah untuk melihat horoscope (ramalan bintang), ini juga
masih masuk dalam kriteria ‘berkelakuan baik dan tidak nakal’ karena
masyarakat juga menganggap ini adalah hal yang lumrah. Padahal jika
dilihat dari tolok ukur yang benar, keduanya bertentangan dengan
syariat.
Wahai para pendidik!
Sikap mendidik yang seperti ini secara tidak langsung seperti kita mengatakan pada anak kita: “Wahai anakku! Kejarlah duniamu! Lupakan akhiratmu!”
Padahal tentang kehidupan dunia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Seandainya
dunia sebanding dengan satu sayap sayap lalat di sisi Allah, niscaya
Dia tidak akan memberikan seteguk air pun bagi seorang kafir.” (HR. At-Tirmidzi, dia berkata, “Hadits hasan shahih”)
Bahkan Allah membenci orang yang pandai dalam urusan dunia tapi bodoh dalam urusan akhirat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang pandai dalam urusan dunia namun bodoh dalam urusan akhiratnya.” (Shahih Jami’ Ash Shaghir)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya:
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar Rum:7)
Ayat di atas merupakan peringatan keras bagi orang yang hanya mementingkan urusan dunia sedangkan urusan akhiratnya dilupakan.
Adapun para ulama menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut,
Ibnu Katsir rahimahullah
berkata: “Umumnya manusia tidak memiliki ilmu melainkan ilmu duniawi.
Memang mereka maju dalam bidang usaha, akan tetapi hati mereka
tertutup, tidak bisa mempelajari ilmu dienul islam untuk kebahagiaan
akhirat mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/428)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah
berkata: “Pikiran mereka hanya terpusat kepada urusan dunia sehingga
lupa urusan akhiratnya. Mereka tidak berharap masuk surga dan tidak
takut neraka. Inilah tanda kehancuran mereka, bahkan dengan otaknya
mereka bingung dan gila. Usaha mereka memang menakjubkan seperti
membuat atom, listrik, angkutan darat, laut dan udara. Sungguh
menakjubkan pikiran mereka, seolah-olah tidak ada manusia yang mampu
menandinginya, sehingga orang lain menurut pandangan mereka adalah
hina. Akan tetapi ingatlah! Mereka itu orang yang paling bodoh dalam
urusan akhirat dan tidak tahu bahwa kepandaiannya akan merusak
dirinya. Yang tahu kehancuran mereka adalah insan yang beriman dan
berilmu. Mereka itu bingung karena menyesatkan dirinya sendiri. Itulah
hukuman Allah bagi orang yang melalaikan urusan akhiratnya, akan
dilalaikan oleh Allah ‘azza wa jalla dan tergolong orang fasik.
Andaikan mereka mau berpikir bahwa semua itu adalah pemberian Allah
‘azza wa jalla dan kenikmatan itu disertai dengan iman, tentu hidup
mereka bahagia. Akan tetapi lantaran dasarnya yang salah, mengingkari
karunia Allah, tidaklah kemajuan urusan dunia mereka melainkan untuk
merusak dirinya sendiri.” (Taisir Karimir Rahman 4/75)
Dunia oh… dunia!
Membuat lalai para pengejarnya!
Perhatikanlah
dalam hadis ini bagaimana Allah subhanahu wa ta’ala mengancam dengan
kehinaan jika umat islam sibuk dalam urusan dunia dan lalai dari
urusan akhirat!
Diriwayatkan oleh ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda yang artinya:
“Apabila
kalian berjual beli dengan sistem ‘inah (satu barang dengan dua
harga-termasuk salah satu jenis riba) dan kalian sibuk dengan urusan
peternakan serta urusan pertanian dan kalian meninggalkan jihad,
niscaya Allah akan timpakan kerendahan kepada kalian yang tidak akan
dicabut dari kalian sebelum kalian kembali kepada agama kalian.” (Riwayat Abu Daud (3462) dan riwayat ini shahih)
Wahai pendidik!
Untuk
mengangkat umat ini dari kehinaan Allah telah memberi solusi, yaitu
dengan kembali pada dien yang lurus. Kondisi kaum muslimin saat ini
masih jauh dari nilai-nilai islam. Kita bisa melihat saat adzan dzuhur
dikumandangkan, masjid-masjid sepi dari para jamaah padahal pada
waktu yang bersamaan pasar-pasar dan jalan-jalan ramai dipenuhi oleh
kaum muslimin. Kita juga bisa melihat orang-orang yang berusaha untuk
berpegang teguh pada sunnah dianggap aneh. Seperti misalnya celana
cingkrang (di atas mata kaki), jenggot, jilbab syar’i, tidak mau
berjabat tangan dengan lawan jenis, menjauh dari ibadah-ibadah yang
tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan masih banyak lagi. Ini adalah keadaan yang menyedihkan karena syariat islam dipandang asing oleh pemeluknya sendiri.
Mari kita belajar dari doa Nabi Ibrohim ‘alaihissalam.
Ketika beliau berdoa tentang anak dan keturunannya, pandangannya jauh
kedepan. Tidak sekedar pada kenikmatan-kenikmatan dunia. Tetapi yang
beliau harapkan adalah agar Allah menjadikan mereka sebagai umat yang
tunduk patuh pada-Nya, mengutus rasul pada mereka sehingga tidak
tersesat dalam kegelapan, menjauhkan mereka dari dosa terbesar yang
membinasakan (syirik).
Demikianlah wahai para pendidik!
Tujuan kita adalah tujuan yang mulia!
Mengajak generasi meniti jalan yang lurus untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
Tujuan
kita bukan sekedar berapa nilai matematika anak kita, bagaimana
kemampuan bahasa inggrisnya, dapat rangking berapa, bisa masuk
universitas mana, bisa kerja dimana, bisa belikan kita mobil berapa,
atau bisa jadi pejabat tidak.
Tidak sependek itu!
Tidak
sekedar anak kita bisa menyelesaikan ujian akhir semester dengan
sukses dan melupakan yang lain padahal ada ujian yang menanti yang jauh
lebih besar ketika kita ditanya siapa Robbmu, apa agamamu, dan siapa
nabimu.
Maka seharusnya kita segera mempersiapkan diri.
Mendidik diri-diri kita dan keluarga untuk kembali pada dien ini.
Menempuh jalan yang lurus meski jalan itu terasa asing karena sedikitnya pengikut.
Kembali pada al Quran dan as Sunnah dengan pemahaman salafush sholih.
Terangkatnya kemuliaan umat ini adalah dengan kembali pada dien yang lurus. Bukan dengan harta atau kekuasaan.
Seandainya mulia itu dengan kekuasaan, tentu Fira’un termasuk ke dalam orang-orang yang mulia.
Seandainya mulia itu dengan harta, tentu Qorun lebih mulia dari kita.
Kita jadi sadar bahwa ternyata memang masih sedikit yang benar-benar memperhatikan pendidikan generasi ini.
Duhai pendidik sejati! Kemana harus dicari?
Wallahu a’lam
***
Artikel www.muslimah.or.id
http://muslimah.or.id/akhlak-dan-nasehat/mendidik-bukan-hanya-sekedar-menyekolahkan.html