Kamis, 30 Januari 2014

ZIARAH KE MASJID NABAWI TIDAK WAJIB


Oleh:Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan

 Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Sebagian jama’ah haji beranggapan bahwa bila tidak dapat ziarah ke Masjid Nabawi, maka hajinya kurang sempurna. Apakah demikian itu benar?

Jawaban
Ziarah ke Masjid Nabawi adalah sunnah, tidak wajib dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan haji. Bahkan disunnahkan ziarah ke Masjid Nabawi dalam sepanjang tahun dan tidak khusus pada waktu haji. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Tidak boleh melakukan rihlah (perjalanan) kecuali kepada tiga masjid : Masjidilharam, Masjidku dan Masjidilaqsha” [Muttafaqun ‘alaihi]

Dan jika seseorang ziarah ke Masjid Nabawi, maka disyari’atkan baginya untuk shalat dua raka’at di Raudhah kemudian mengucapkan salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dua shahabatnya, Abu Bakar dan Umar, semoga Allah meridhai keduanya.

Sebagaimana juga disyariatkan ziarah ke Baqi’ dan orang-orang yang mati syahid seraya mengucapkan salam dan mendo’akan kepada orang-orang yang diziarahi, baik para shahabat maupun yang lainnya. Sebab Nabi ziarah ke makam mereka dan mengajarkan para shahabatnya jika ziarah kubur dengan mengucapkan.

“Assalamu’alaikum ahlal diyar minal mu’minin wal muslimin wa inna insya Allah bikum lahiqun nas alullaha lana wa lakum al-afiyah”

‘Artinya : Salam sejahtera kepada anda semua wahai orang-orang mukmin dan orang-orang muslim yang menempati rumah abadi, dan sesungguhnya kami jika Allah berkehendak, maka juga akan menyusul kalian. Kami bermohon kepada Allah kesejahteraan bagi kami dan juga bagi kamu sekalian” [Hadits Riwayat Muslim]

Dan dalam riwayat lain disebutkan bahwa ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ziarah ke Baqi’, maka beliau mengatakan.

“Yarhamullah al mustaqdimin mimna wal musta’khirin Allahummaghfir li ahli baqi’ al gharqad”

“Artinya : Semoga Allah mencurahkan rahmat kepada orang-orang yang telah dahulu (meninggal) di antara kita dan juga orang-orang yang belakangan. Ya Allah, ampunilah orang-orang (yang dimakamkan) di Baqi’ Al-Gharqad”.

Dan disyariatkan juga bagi orang yang ziarah ke Madinah untuk ziarah ke masjid Quba dan shalat dua raka’at di dalamnya. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu ziarah ke masjid Quba setiap Sabtu dan shalat dua raka’at didalamnya, dan beliau berkata ; “Barangsiapa bersuci di rumahnya dengan sempurna kemudian datang ke masjid Quba lalu shalat didalamnya maka dia seperti umrah”.

Ini adalah beberapa tempat ziarah di Madinah al-Munawarah. Adapun ziarah ke masjid Tujuh, masjid Qiblatain dan tempat-tempat lain yang disebutkan sebagian penulis buku manasik dan ziarah, maka tidak ada dasarnya sama sekali dalam hal tersebut. Sebab sesungguhnya yang disyariatkan bagi orang mukmin adalah harus selalu mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak melakukan hal-hal yang bid’ah. Dan Allah adalah yang memberikan taufiq kepada kebenaran.

[Disalin dari Buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustakan Imam Asy-Syafi'i. Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamakhsyari Lc]


http://almanhaj.or.id/category/view/23/page/4



Hukum Umrah Berulang-Ulang Ketika Berada Di Mekkah

Oleh:Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan

 Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum keluar dari Mekkah ke selain tanah suci untuk melaksanakan umrah pada bulan Ramadhan dan di waktu lainnya (misalnya pada waktu ibadah haji, -peny) ?

Jawaban
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan, bahwa ulama salaf sepakat tentang makruhnya mengulang-ulang umrah dan memperbanyaknya. Baik pendapat ini diterima atau tidak diterima, maka keluarnya seseorang dari daerahnya untuk umrah, lalu keluarnya dari Mekkah ke selain tanah haram (Tan’im dan tempat miqat lain) untuk melaksanakan umrah kedua, ketiga pada bulan Ramadhan dan di waktu yang lainnya, adalah termasuk perbuatan bid’ah yang tidak dikenal pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebab pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya dikenal satu masalah yaitu masalah khusus bagi Aisyah Radhiyallahu ‘anha ketika ihram haji tamattu’ lalu haidh. Ketika Nabi Shallallahu menemuinya, maka didapatkannya dia menangis dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan sebab dia menangis, lalu Aisyah memberitahukannya kepada Nabi bahwa dia haid. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menenangkan kepadanya bahwa haidh adalah sesuatu yang telah ditetapkan Allah kepada anak-anak perempuan Bani Adam.

Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadanya untuk ihram haji. Maka Aisyah ihram haji dan menjadi haji qiran. Tetapi ketika Aisyah selesai melaksanakan haji, dia mendesak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dizinkan umrah sendiri. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkannya dan memerintahkan saudaranya, Abdurrahman bin Abu Bakar, semoga Allah meridhoi keduanya, agar menyertainya ke Tan’im. Maka Abdurrahman keluar bersama Aisyah ke Tan’im dan Aisyah Umrah.

Seandainya hal ini termasuk sesuatu yang disyariatkan dalam bentuk kemutlakan, niscaya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan para shahabat, bahkan akan menganjurkan Abdurrahman bin Abu Bakar yang keluar bersama saudarinya untuk melaksanakan umrah karena akan mendapatkan pahala. Dan telah maklum dari semua itu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mukim di Mekkah pada tahun pembebasan kota Mekkah selama sembilan belas hari, tapi beliau tidak melaksanakan umrah padahal demikian itu mudah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ini menunjukkan bahwa orang yang umrah pada bulan Ramadhan atau di waktu yang lainnya maka dia tidak mengulang-ulang umrah dengan keluar dari Mekkah ke tempat yang bukan tanah suci (miqat). Sebab demikian ini tidak sesuai sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga tidak sesuai dengan sunnah Khulafa’ur Rasyidin bahkan tidak semua shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikian juga banyak di antara menusia yang mengatakan bahwa kedatangannya untuk umrah pada bulan Ramadhan adalah diperuntukkan ibunya atau kedua orang tuanya, atau yang seperti itu. Maka kami mengatakan, bahwa menghadiahkan ibadah kepada orang-orang yang meninggal tidak disyariatkan dalam Islam. Artinya, seseorang tidak dituntut untuk mengerjakan ibadah untuk ibu atau bapak atau saudara perempuannya. Tapi jika melakukan hal tersebut diperbolehkan. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan kepada Sa’ad bin Ubadah Radhiyallahu ‘anhu menyedekahkan kebun kurmanya untuk ibunya yang telah meninggal. Dan ketika seseorang minta izin kepada Nabi seraya berkata : “Wahai Rasulullah, ibu saya meninggal mendadak dan saya kira kalau dia sempat berbicara niscaya dia akan bersedekah. Apakah saya boleh bersedekah untuk dia?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ya”. Meskipun demikian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersabda kepada para shahabatnya secara umum : “Bersedekahlah kalian untuk orang-orang yang meninggal atau untuk bapak-bapak kalian atau untuk ibu-ibu kalian!”.

Karena itu bagi para pencari ilmu dan yang lainnya wajib mengetahui perbedaan antara sesuatu yang disyari’atkan (masyru’) dan sesuatu yang diperbolehkan (jaiz). Di mana sesuatu yang disyariatkan itu berarti bahwa setiap Muslim dituntut melakukannya. Sedangkan sesuatu yang diperbolehkan adalah sesuatu yang setiap muslim tidak dituntut untuk melakukannya. Untuk lebih jelasnya saya akan mengemukakan contoh kisah seseorang yang diutus Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ekspedisi di mana dia menjadi imam shahabat-shahabatnya. Setiap dia shalat dengan mereka selalu mengakhiri bacaanya dengan qul huwallahu ahad (surat al-Ikhlas). Maka ketika kembali mereka memberitahukan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tanyakanlah kepadanya, mengapa dia selalu melakukan hal itu?” Ketika ditanya, ia menjawab : “Sesungguhnya dalam surat al-Ikhlas terdapat sifat Yang Mahapengasih, dan saya senang (mencintai) membacanya”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah mencintai dia!”.

Meski demikian, di antara sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengakhiri bacaan dalam shalatnya dengan surat al-Ikhlas dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengarahkan umatnya kepada hal tersebut. Disitulah terlihat perbedaan antara sesuatu yang diizinkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang disyariatkan yang setiap manusia dituntut melakukannya. Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan Sa’ad bin Ubadah menyedekahkan kebunnya untuk ibunya yang telah meninggal dan mengizinkan penannya yang ibunya meninggal mendadak bersedekah untuk ibunya, maka demikian itu tidak berarti disyariatkan untuk setiap manusia bersedekah untuk bapak atau ibunya yang meninggal, meskipun jika dia bersedekah akan berguna bagi orang yang disedekahinya. Sesungguhnya kita diperintahkan untuk mendo’akan bapak dan ibu kita yang telah meninggal berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Jika anak Adam meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga : shodaqoh jariyah, ilmu yang manfaat, dan anak shalih yang mendo’akannya” [HR Muslim dan lainya]

Wallahu a’lam

[Disalin dari Buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustakan Imam Asy-Syafi'i. Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamakhsyari Lc]


http://almanhaj.or.id/content/2278/slash/0/hukum-umrah-berulang-ulang-ketika-berada-di-mekkah/

Menghajikan Orang Yang Sudah Meninggal

MENGHAJIKAN ORANG YANG SUDAH MENINGGAL


Pertanyaan.
Al-Lajnatud Dâimah Lil Buhûtsil Ilmiyyah Wal Iftâ`ditanya : Ada seseorang yang berusia 25 tahun, dia meninggal sebelum melaksanakan ibadah haji. Bolehkah kita menghajikannya ? Cukupkah dengan haji saja tanpa umrah, sementara dia punya harta ?

Jawaban.
Orang yang terkena kewajiban haji dan meninggal sebelum melaksanakannya, maka boleh diambilkan dari hartanya biaya untuk menghajikan dan mengumrahkannya. Boleh juga menghajikannya tanpa mengambil harta si mayit jika ada yang mau bersedekah dengannya. Kita sudah tahu, haji itu salah rukun Islam. Kewajiban melaksanakan ibadah haji tidak bisa gugur karena meninggalnya orang yang terkena kewajiban haji. Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Shahîh beliau, bahwa :

أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ

Ada seorang wanita dari Juhainah yang mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya : “Ibuku pernah bernadzar melakukan ibadah haji, namun beliau tidak melaksanakannya sampai meninggal, apakah saya boleh menghajikannya ?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Ya, hajikanlah ia ! Bagaimana pendapatmu, jika ibumu memiliki tanggungan hutang, apakah engkau akan membayarnya, Allah lebih berhak untuk dilunasi.”[1] 

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah ditanya oleh seorang wanita dari Khats’am :

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ فِى الْحَجِّ عَلَى عِبَادِهِ أَدْرَكَتْ أَبِى شَيْخًا كَبِيرًا ، لاَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِىَ عَلَى الرَّاحِلَةِ ، فَهَلْ يَقْضِى عَنْهُ أَنْ أَحُجَّ عَنْهُ قَالَ « نَعَمْ

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban melaksanakan ibadah haji sampai ke bapakku saat beliau sudah tua renta dan tidak kuat di atas tunggangan (kendaraan-red), bolehkah saya menghajikannya ?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Hajikanlah bapakmu !”

Sedangkan tentang kewajiban umrah, adalah berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh lima Imam Ulama hadits (Imam al-Bukhâri, Muslim, Abu Dâwud, at-Tirmidzi dan Imam Ahmad-red).

عَنْ أَبِي رَزِينٍ الْعُقَيْلِيِّ أَنَّهُ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِي شَيْخٌ كَبِيرٌ لَا يَسْتَطِيعُ الْحَجَّ وَلَا الْعُمْرَةَ وَلَا الظَّعْنَ قَالَ حُجَّ عَنْ أَبِيكَ وَاعْتَمِرْ

Dari Abu Razîn al-Uqaili. Dia mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengatakan : “Sesungguhnya bapakku sudah tua, dia tidak mampu melaksanakan ibadah haji, umrah dan berkendaraan.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Hajikanlah bapakmu dan umrahkanlah dia.”

وَبِاللهِ التَّوْفِيْقُ وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

Al-Lajnatud Dâimah Lil Buhûtsil Ilmiyyah Wal Iftâ`
Ketua : Syaikh `Abdul `Azîz bin `Abdullâh bin Bâz; Wakil : Syaikh `Abdurrazâq Afîfy; Anggota : Syaikh `Abdullâh bin Qu’ûd
(Fatâwa al-Lajnatid Dâimah Lil Buhûtsil Ilmiyyah Wal Iftâ`, 11/88)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIII/1431H/2010. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Dikeluarkan oleh Imam Ahmad, 1/239-240; Imam Bukhari, 2/217-218, 7/233-234, 8/150; an Nasa’I, 5/116, hadits no. 2632; ad-Daarimi, 2/24, 183; 


http://almanhaj.or.id/content/2521/slash/0/menghajikan-orang-yang-sudah-meninggal/

BERMAKSIAT SETELAH HAJI

Oleh:Al-Lajnatud Dâimah Lil Buhûtsil Ilmiyyah Wal Iftâ


Pertanyaan.Al-Lajnatud Dâimah Lil Buhûtsil Ilmiyyah Wal Iftâ ditanya : Alhamdulillah, Allah Azza wa Jalla telah memberikan taufik kepada saya untuk melaksanakan ibadah haji setahun yang lalu. Namun sayang, beberapa bulan sepulang saya dari haji, saya terbujukan oleh setan dan melakukan beberapa perbuatan dosa besar. Saya memohon ampun kepada Allah Azza wa Jalla dan sangat menyesali perbuatan itu. Pertanyaan saya, bagaimanakah hukum ibadah haji yang pernah saya lakukan ? Apakah dianggap batal, gugur atau bagaimana, sehingga saya berkewajiban mengulanginya ? Karena ibadah haji saya itu telah sirna akibat perbuatan dosa saya ini. Ataukah ibadah saya itu tidak gugur ? dan saya cukup bertaubat saja, tidak mengulangi perbuatan dosa itu serta dosa itu tidak berpengaruh terhadap ibadah yang penah saya lakukan ? Ini yang membuat saya bingung 

Jawaban.

Jika faktanya sesuai dengan cerita anda, maka ibadah haji anda tidak batal; karena perbuatan dosa yang anda lakukan adalah setelah melakukan ibadah haji tersebut. Anda tidak berkewajiban mengqadha’. Namun anda wajib bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla, memperbanyak istighfâr, melakukan perbuatan ta’at, menyesali dosa yang pernah anda lakukan dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Semoga Allah Azza wa Jalla menerima taubat anda dan mengampuni dosa anda. Allah Azza wa Jalla berfirman : 

وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَىٰ

Dan Sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar. [Thâha/20 :82]

وَبِاللهِ التَّوْفِيْقُ وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

Al-Lajnatud Dâimah Lil Buhûtsil Ilmiyyah Wal Iftâ
Ketua : Syaikh `Abdul Azîz bin `Abdullâh bin Bâz; Wakil : Syaikh `Abdurrazâq Afîfy; Anggota : Syaikh `Abdullâh bin Ghadyân dan Syaikh `Abdullâh bin Qu’ûd
(Fatâwa al-Lajnatid Dâimah Lil Buhûtsil Ilmiyyah Wal Iftâ`, 11/111) 


http://almanhaj.or.id/content/2521/slash/0/menghajikan-orang-yang-sudah-meninggal/

Menghajikan Orang Tua Yang Sudah Wafat, Wanita Menghajikan Pria, Apakah Umrah Sama Dengan Haji?

MENGHAJIKAN IBU YANG SUDAH HAJI TUJUH KALI


Oleh:Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz


Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ibu saya telah melakukan haji sebanyak tujuh kali, apakah boleh saya menghajikan lagi?


Jawaban. 

Dibolehkan bagi seseorang menghajikan ibunya ke delapan kali atau lebih dari itu dan perbuatan tersebut termasuk birul walidain, dengan syarat orang tersebut telah menunaikan ibadah haji. Dan orang yang menghajikan ibunya akan mendapatkan pahala dari Allah. Semoga Allah selalu memberikan kefahaman dan keteguhan kita semua dalam masalah agama.

[Majalatul Buhuts wa Fatawa Syaikh Bin Baz, juz 18 hal. 118]




HUKUM WANITA MENGHAJIKAN LAKI-LAKI
Oleh:Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya :Apakah sah wanita mewakili laki-laki dalam mengerjakan haji atau umrah?


Jawaban
Boleh dan sah bagi wanita mewakili haji dan umrah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu Fatawa-nya : “Boleh bagi wanita menghajikan wanita lain berdasarkan kesepakatan para ulama, baik menghajikan anaknya maupun yang lainnya. Menurut pendapat imam empat dan jumhur ulama dibolehkan perempuan menghajikan laki-laki. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan perempuan Khutsa’miyah agar menghajikan bapaknya tatkala perempuan tersebut bertanya kepada beliau : “Wahai Rasulullah, Allah telah memerintahkan haji kepada semua hamba-Nya, sementara bapak saya sangat tua sekali, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadanya untuk menghajikan bapaknya, padahal ihramnya laki-laki lebih sempurna dari pada ihramnya perempuan.

[At-Tanbihat Syaikh Fauzan, hal. 40]




WANITA DIHAJIKAN KARENA TIDAK MAMPU NAIK KENDARAAN
Oleh:
Lajnah Dâimah Lil Buhûtsil Ilmiyyah Wal Iftâ


Pertanyaan

Lajnah Dâimah Lil Buhûtsil Ilmiyyah Wal Iftâ ditanya : Seorang laki-laki memiliki ibu tua renta yang berumur kurang labih tujuh puluh tahun dan tidak mungkin naik kendaraan walaupun jarak dekat, apabila dipaksa naik kendaraan akan berakibat lemahnya kesadaran. Padahal ia belum melaksanakan haji, apakah boleh bagi saya untuk menghajikan dari harta saya sebab saya adalah anak satu-satunya ?

Jawaban
Apabila kondisinya seperti yang saudara sebutkan, maka boleh bagi saudara menghajikan ibu saudara dengan biaya dari harta yang saudara miliki, bahkan suatu keharusan dalam rangka birrul walidain karena dia tidak mampu menunaikan haji sendiri, namun boleh juga saudara menyuruh orang lain untuk menghajikannya.


[Majalatul Buhuts wa Fatawa Lajnah Juz 13 hal.73]



MENGHAJIKAN KEDUA ORANG TUA YANG TELAH WAFAT
Pertanyaan.
Lajnah Dâimah Lil Buhûtsil Ilmiyyah Wal Iftâ ditanya : Bolehkah saya menghajikan kedua orang tua saya yang sudah meninggal tidak mampu haji karena keduanya miskin dan apa hukumnya?


Jawaban
Boleh bagi saudara untuk menghajikan kedua orang tua atau mewakilkan kepada orang lain untuk menghajikan keduanya, asalkan saudara atau orang-orang yang akan menghajikan sudah pernah menunaikan ibadah haji. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abi Daud dari Abdullah Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang yang niat ihram dengan megucapkan لَبَّيْكَ عَنْ شِبْرَمَةَ beliau bertanya :


((مَنْ شُبْرُمَةْ؟))

Siapakah Syubrumah itu?

Orang tersebut menjawab : Saudara saya atau kerabat saya”. Beliau bersabda :

((حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِنَ؟))

Apakah kamu sudah haji untuk dirimu sendiri?

Ia menjawab : Belum. Beliau Shalallahui ‘alaihi wa sallam bersabda :

((حَجِّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حَجِّ عَنْ شُبْرُمَةَ))

Hajilah untuk dirimu kemudian untuk Subrumah” [HR Ibnu Majah dan Al-Baihaqi berkata : “Sanadnya shahih dan tidak ada yang lebih shahih dari hadits ini dalam masalah ini]

[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Penerbit Darul Haq]
_______
Footnote

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- سَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ. قَالَ « مَنْ شُبْرُمَةَ ». قَالَ أَخٌ لِى أَوْ قَرِيبٌ لِى. قَالَ « حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ ». قَالَ لاَ. قَالَ « حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ ».

Artinya: “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar seorang laki-laki berkata: “Labbaika ‘an Syubrumah (Aku memenuhi panggilan-Mu atas nama Syubrumah”, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: “Siapa Syubrumah?”, laki-laki itu menjawab: “Saudaraku atau kerabatku”, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sudah berhajikah kamu?“, laki-laki menjawab: “Belum”, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Berhajilah atas dirimu kemudian hajikan atas Syubrumah“. [HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al Albani kitab Irwa Al Ghalil, 4/171]


APAKAH UMRAH SAMA DENGAN HAJI?
Pertanyaan

Ustadz mohon penjelasan tentang
1. Bagaimana hukum umroh, apakah sama dengan haji. 
2. Apakah sah umrah yang dilakukan seseorang sebelum dia menunaikan ibadah haji? Apakah dengan menunaikan ibadah umrah sudah dapat menggugurkan kewajiban haji? mengingat pelaksanaan haji menunggu daftar tunggu sampai 8 tahun bahkan lebih, sementara ajal ditangan Allah Azza wa Jalla ?

Terima kasih. Penjelasan ustad sangat kami tunggu.
A.Chamdani Purwodadi Grobogan. 
Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuhu 


Jawaban

1.
Haji dan umrah tentu tidak sama, karena haji merupakan salah satu rukun Islam sementara umrah bukan. Para Ulama sepakat tentang wajibnya haji bagi orang yang mampu, sedangkan mengenai hukum Umrah, para Ulama berbeda pendapat, apakah Umrah itu wajib atau tidak ? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Tentang hukum wajibnya Umrah, para Ulama memiliki dua pendapat. Dalam madzhab Syafi’i dan Ahmad terdapat dua pendapat, (namun) yang masyhur adalah Umrah itu wajib. Sementara pendapat kedua adalah Umrah tidak wajib. Ini adalah madzhab imam Malik rahimahullah dan Abu Hanifah rahimahullah. Pendapat ini lebih kuat karena Allah Azza wa Jalla yang mewajibkan haji dengan firman-Nya.


وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. [Ali Imran/3:97]

Tidak mewajibkan umrah. Hanya saja Allah Azza wa Jalla memerintahkan agar menyempurnakan kedua ibadah tersebut [1]. Jadi Allah Azza wa Jalla mewajibkan orang yang melaksanakan keduanya untuk menyempurnakannya. Awalnya, Allah Azza wa Jalla mewajibkan haji begitu dengan hadits-hadits shahih yang mewajibkan haji. [Majmu Fatawa 26/5] [2]

Penjelasan tentang perbedaan pendapat para Ulama tentang Umrah juga disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dalam asy-Syarhul Mumti, 7/6-8, hanya saja beliau rahimahullah berbeda pilihan dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Apa yang diyakini oleh Syaikh Utsaimin rahimahullah sejalan dengan pendapat yang dianut oleh para Ulama yang tergabung dalam Lajnah Daimah lil Buhuts wal Ifta [Fatawa Lajnah Daimah, 11/317]

2. Tentang bolehkah ibadah Umrah dilakukan oleh seseorang yang belum melaksanakan ibadah haji ? Pertanyaan ini pernah diajukan ke Lajnah Daimah. Inilah jawaban mereka, “ Seseorang boleh melaksanakan umrah sebelum ia melakukan ibadah haji, karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat berumrah sebelum melakukan ibadah haji yang wajib (lihat Fatawa Lajnah Daimah jilid 11/318). Dan menurut Imam Ibnu Abdil Bar rahimahullah bahwa ini merupakan kesepakatan para ulama. Beliau rahimahullah mengutip pendapat Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma ketika ditanya oleh Ikrimah bin Khalid Radhiyallahu anhu tentang umrah sebelum haji. Beliau Radhiyallahu anhuma menjawab : Tidak apa-apa karena Nabi umrah dan beliau belum melaksanakan haji. (syarh al-Muwatho). Namun umrah tidak menggantikan kewajiban haji, karena banyak rukun dan wajib haji tidak terdapat didalam umrah dan yang paling utama yaitu wukuf Arafah karena inilah puncak dari haji (alhajju arafah) dan ini tidak ada dalam rangkaian ibadah umrah. 

Wallahu a’lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Baqarah/2 : 196
[2]. Dinukil dari al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, 4/32



http://almanhaj.or.id/content/2522/slash/0/menghajikan-orang-tua-yang-sudah-wafat-wanita-menghajikan-pria-apakah-umrah-sama-dengan-haji/

SEBELAS ALASAN TIDAK MELAKUKAN UMRAH BERULANG KALI DI SAAT BERADA DI MEKKAH

Oleh:Ustadz Muhammad Ashim bin Musthafa

Ada satu fenomena yang umum disaksikan pada kalangan jamaah haji Indonesia dan juga negara lainnya. Saat berada di kota suci Mekkah, banyak yang berbondong-bondong menuju tanah yang halal, yaitu al hillu, Masjid ‘Aisyah di Tan’im atau Ji’ranah. Tujuannya untuk melaksanakan umrah lagi. Umrah yang mereka kerjakan bisa lebih dari sekali dalam satu hari. Dalih mereka, mumpung sedang berada di Mekkah, sepantasnya memperbanyak ibadah umrah, yang belum tentu bisa dikerjakan lagi sesudah sampai di tanah air. Atau dengan kata lain, untuk memperbanyak pahala. Saking berlebihannya, Syaikh Muhammad bin Shalih al 'Utsaimin penuh keheranan pernah menyaksikan seorang laki-laki yang sedang mengerjakan sa'i dengan rambut tersisa separo saja (sisi yang lain gundul). Syaikh 'Utsaimin pun bertanya kepadanya, dan laki-laki tersebut menjawab : “Bagian yang tak berambut ini telah dipotong untuk umrah kemarin. Sedangkan rambut yang tersisa untuk umrah hari ini”. [1]

SELAIN IKHLAS, IBADAH MEMBUTUHKAN MUTABA’AH
Suatu ibadah agar diterima oleh Allah, harus terpenuhi oleh dua syarat. Yaitu ikhlas dan juga harus dibarengi dengan mutaba’ah. Sehingga tidak cukup hanya mengandalkan ikhlas semata, tetapi juga harus mengikuti petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Disamping itu juga dengan mengetahui praktek dan pemahaman generasi Salaf dalam menjalakan ibadah haji yang pernah dikerjakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebab, generasi Salaf merupakan generasi terbaik, yang paling semangat dalam meraih kebaikan.

Umrah termasuk dalam kategori ini. Sebagai ibadah yang disyariatkan, maka harus bersesuaian dengan rambu-rambu syari'at dan nash-nashnya, petunjuk Nabi dan para sahabat, serta para pengikut mereka yang ihsan sampai hari Kiamat. Dan ittiba’ ini merupakan salah satu tonggak diterimanya amalan di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. 

Sebagai ibadah yang sudah jelas tuntunannya, pelaksanan umrah tidak lagi memerlukan ijtihad padanya. Tidak boleh mendekatkan diri kepada Allah melalui ibadah umrah dengan ketentuan yang tidak pernah digariskan. Kalau tidak mengikuti petunjuk syariat, berarti ibadah yang dilakukan menunjukkan sikap i’tida` (melampaui batas) terhadap hak Allah, dalam aspek penetapan hukum syariat, serta merupakan penentangan terhadap ketentuan Allah dalam hukumNya. Allah berfirman : "Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih" [Asy Syura /42: 21][2]

JUMLAH UMRAH RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Sepanjang hidupnya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan umrah sebanyak 4 kali. 

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ اعْتَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعَ عُمَرٍ عُمْرَةَ الْحُدَيْبِيَةِ وَعُمْرَةَ الْقَضَاءِ مِنْ قَابِلٍ وَالثَّالِثَةَ مِنْ الْجِعْرَانَةِ وَالرَّابِعَةَ الَّتِي مَعَ حَجَّتِهِ

Dari Ibnu 'Abbas, ia berkata : "Rasulullah mengerjakan umrah sebanyak empat kali. (Yaitu) umrah Hudaibiyah, umrah Qadha`, umrah ketiga dari Ji'ranah, dan keempat (umrah) yang bersamaan dengan pelaksanaan haji beliau".[3]

Menurut Ibnul Qayyim, dalam masalah ini tidak ada perbedaan pendapat [4]. Setiap umrah tersebut, beliau kerjakan dalam sebuah perjalanan tersendiri. Tiga umrah secara tersendiri, tanpa disertai haji. Dan sekali bersamaan dengan haji. 

Pertama, umrah Hudhaibiyah tahun 6 H. Beliau dan para sahabat yang berbaiat di bawah syajarah (pohon), mengambil miqat dari Dzul Hulaifah Madinah. Pada perjalanan umrah ini, kaum Musyrikin menghalangi kaum Muslimin untuk memasuki kota Mekkah. Akhirnya, terjadilah pernjanjian Hudhaibiyah. Salah satu pointnya, kaum Muslimin harus kembali ke Madinah, tanpa bisa melaksanakan umrah yang sudah direncanakan. 

Kemudian, kaum Muslimin mengerjakan umrah lagi pada tahun berikutnya. Dikenal dengan umrah Qadhiyyah atau Qadha`[5] tahun 7 H. Selama tiga hari beliau n berada di Mekkah. Dan ketiga, umrah Ji’ranah pada tahun 8 H. Yang terakhir, saat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan haji Wada’. Semua umrah yang beliau kerjakan terjadi pada bulan Dzul Qa`dah.[6]

SEBELAS ALASAN TIDAK MELAKUKAN UMRAH BERULANG KALI
Para ulama memandang, melakukan umrah berulang kali sebagai perbuatan yang makruh. Masalah ini telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Fatawanya. Keterangan beliau tersebut dikutip oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin dalam Syarhul Mumti’. [7]

Berikut ini beberapa aspek yang menjelaskan bahwa umrah berulang-ulang seperti yang dikerjakan oleh sebagian jamaah haji –sebagaimana fenomena di atas- tidak disyariatkan. 

1. Pelaksanaan empat umrah yang dikerjakan Rasulullah, masing-masing dikerjakan dengan perjalanan (safar) tersendiri. Bukan satu perjalanan untuk sekian banyak umrah, seperti yang dilakukan oleh jamaah haji sekarang ini. Syaikh Muhammad bin Shalih al 'Utsaimin menyimpulkan, setiap umrah mempunyai waktu safar tersendiri. Artinya, satu perjalanan hanya untuk satu umrah saja [8]. Sedangkan perjalanan menuju Tan’im belum bisa dianggap safar. Sebab masih berada dalam lingkup kota Mekkah. 

2. Para sahabat yang menyertai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam haji Wada’, tidak ada riwayat yang menerangkan salah seorang dari mereka yang beranjak keluar menuju tanah yang halal untuk tujuan umrah, baik sebelum atau setelah pelaksanaan haji. Juga tidak pergi ke Tan’im, Hudhaibiyah atau Ji’ranah untuk tujuan umrah. Begitu pula, orang-orang yang tinggal di Mekkah, tidak ada yang keluar menuju tanah halal untuk tujuan umrah. Ini sebuah perkara yang disepakati dan dimaklumi oleh semua ulama yang mengerti sunnah dan syariat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.[9]

3. Umrah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang dimulai dari Ji’ranah tidak bisa dijadikan dalil untuk membolehkan umrah berulang-ulang. Sebab, pada awalnya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memasuki kota Mekkah untuk menaklukannya dalam keadaan halal (bukan muhrim) pada tahun 8 H. Selama tujuhbelas hari beliau berada di sana. Kemudian sampai kepada beliau berita, kalau suku Hawazin bermaksud memerangi beliau. Akhirnya beliau mendatangi dan memerangi mereka. Ghanimah dibagi di daerah Ji’ranah. Setelah itu, beliau ingin mengerjakan umrah dari Ji’ranah. Beliau tidak keluar dari Mekkah ke Ji’ranah secara khusus. Namun, ada perkara lain yang membuat beliau keluar dari Mekkah. Jadi, semata-mata bukan untuk mengerjakan umrah.[10]

4. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, juga para sahabat -kecuali ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma- tidak pernah mengerjakan satu umrah pun dari Mekkah, meski setelah Mekkah ditaklukkan. Begitu pula, tidak ada seorang pun yang keluar dari tanah Haram menuju tanah yang halal untuk mengerjakan umrah dari sana sebelum Mekkah ditaklukkan dan menjadi Darul Islam. Karena thawaf di Ka’bah tetap masyru’ sejak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus. Bahkan sejak Nabi Ibrahim Alaihissalam. Mengerjakan thawaf tanpa umrah terlebih dahulu, sudah mengantarkan kepada sebuah ketetapan yang pasti, bahwa perkara yang disyariatkan bagi penduduk Mekkah (orang yang berada di Mekkah) adalah thawaf. Itulah yang lebih utama bagi mereka dari pada keluar dari tanah Haram untuk mengerjakan umrah. Sebab, tidak mungkin Rasulullah dan para sahabat lebih mengutamakan amalan mafdhul/ (yang nilainya kurang) -dalam hal ini thawaf- dibandingkan amalan yang lebih afdhal (umrah menurut asumsi sebagian jamaah haji). Padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memerintahkan umat untuk melakukan umrah berulang-ulang. Ucapan ini tidak mungkin dikatakan oleh seorang muslim.[11]

Ibnul Qayyim berkata,"Tidak ada umrah beliau dalam keadaan beliau keluar dari Mekkah sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan orang sekarang ini. Seluruh umrah beliau, dilangsungkan dari luar kota Mekkah menuju Mekkah (tidak keluar dahulu baru masuk kota Mekkah). Nabi pernah tinggal di Mekkah selama 13 tahun. Namun tidak ada riwayat yang menjelaskan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar kota Mekkah untuk mengerjakan umrah. 

Jadi umrah yang beliau kerjakan dan yang disyariatkan adalah, umrah orang yang memasuki kota Mekkah (berasal dari luar Mekkah), bukan umrah orang yang berada di dalamnya (Mekkah), dengan menuju daerah yang halal (di luar batas tanah haram) untuk mengerjakan umrah dari sana. Tidak ada yang melakukannya di masa beliau, kecuali 'Aisyah semata…[12]

5. Tentang umrah yang dilakukan oleh ‘Aisyah pada haji Wada’ bukanlah berdasarkan perintah Nabi. Beliau mengizinkannya setelah 'Aisyah memohon dengan sangat.[13]

Kisahnya, pada waktu menunaikan ibadah haji bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, 'Aisyah mendapatkan haidh, maka Rasulullah memerintahkan saudara ‘Aisyah yang bernama ‘Abdurrahman bin Abu Bakar mengantar ‘Aisyah ke daerah Tan’im, agar ia memulai ihram untuk umrah disana. Karena 'Aisyah menyangka, bahwa umrah yang dilakukan bersamaan dengan haji, akan batal, sehingga ia menangis. Kemudian untuk menenangkannya, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengijinkan 'Aisyah melakukan umrah lagi.

Umrah yang dilakukan ‘Aisyah ini sebagai pengkhususan baginya. Sebab, belum didapati satu pun dalil dari seorang sahabat laki-laki ataupun perempuan yang menerangkan bahwa ia pernah melakukan umrah usai melaksanakan ibadah haji, dengan memulai ihram dari kawasan Tan’im, sebagaiamana yang telah dilakukan 'Aisyah Radhiyallahu 'anha. Andaikata para sahabat mengetahui perbuatan ‘Aisyah tersebut disyariatkan juga buat mereka pasca menunaikan ibadah haji, niscaya banyak riwayat dari mereka yang menjelaskan hal itu.

Ibnul Qayyim mengatakan, (Umrah ‘Aisyah) menjadi dasar tentang umrah dari Mekkah. Tidak ada dalil bagi orang yang menilainya (umrah berulang-ulang) selainnya. Sesungguhnya Nabi dan sahabat yang bersama beliau dalam haji (Wada’) tidak ada yang keluar dari Mekkah, kecuali ‘Aisyah saja. Kemudian orang-orang yang mendukung umrah dari Mekkah, menjadikan riwayat tersebut sebagai dasar pendapat mereka. Tetapi, kandungan riwayat tersebut tidak ada yang menunjukkan dukungan terhadap pendapat mereka.[14]

Imam asy Syaukani rahimahullah berkata,"Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah berumrah dengan cara keluar dari daerah Mekkah ke tanah halal, kemudian masuk Mekkah lagi dengan niat umrah, sebagaimana layaknya yang dilakukan kebanyakan orang sekarang. Padahal, tak satupun yang sah yang menerangkan ada seorang sahabat melakukan yang demikian itu”.[15]

6. Kaum Muslimin bersilang pendapat tentang hukum umrah, apakah wajib ataukah tidak. Para ulama yang memandang umrah itu wajib seperti layaknya haji, mereka tidak mewajibkannya atas penduduk Mekkah. Imam Ahmad pernah menukil perkataan Ibnu 'Abbas: “Wahai penduduk Mekkah, tidak ada kewajiban umrah atas kalian. Umrah kalian adalah thawaf di Ka’bah”.

‘Atha bin Abi Rabah [16] –ulama yang paling menguasai manasik haji dan panutan penduduk Mekkah– berkata : “Tidak ada manusia ciptaan Allah kecuali wajib atas dirinya haji dan umrah. Dua kewajiban yang harus dilaksanakan bagi orang yang mampu, kecuali penghuni Mekkah. Mereka wajib mengerjakan haji, tetapi tidak wajib umrah, karena mereka sudah mengerjakan thawaf. Dan itu sudah mencukupi”. 

Thawus [17] berkata: “Tidak ada kewajiban umrah bagi orang yang berada di Mekkah”. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah).

Berdasarkan beberapa keterangan para ulama Salaf tersebut, menunjukkan bahwa bagi penduduk Mekkah, mereka tidak menilai sunnah, apalagi sampai mewajibkannya. Seandainya wajib, maka sudah pasti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkannya atas diri mereka dan mereka akan mematuhinya. Tetapi, tidak ada riwayat yang menjelaskan tentang orang yang berumrah dari Mekkah di masa Nabi masih hidup, kecuali ‘Aisyah saja. Kisah ini sudah dijelaskan persoalannya di atas.

Karenanya, para ulama hadits, bila ingin menulis tentang umrah dari Mekkah, mereka hanya menyinggung tentang kejadian ‘Aisyah saja. Tidak ada yang lain. Seandainya ada, pasti sudah sampai kepada kita.[18]

7. Intisari umrah adalah thawaf. Adapun sa’i antara Shafa dan Marwah bersifat menyertai saja. Bukti yang menunjukkannya sebagai penyerta adalah, sa'i tidak dikerjakan kecuali setelah thawaf. Dan ibadah thawaf ini bisa dikerjakan oleh penduduk Mekkah, tanpa harus keluar dari batas tanah suci Mekkah terlebih dahulu. Barangsiapa yang sudah mampu mengerjakan perkara yang inti, ia tidak diperintahkan untuk menempuh wasilah (perantara yang mengantarkan kepada tujuan). [19]

8. Berkeliling di Ka’bah adalah ibadah yang dituntut. Adapun menempuh perjalanan menuju tempat halal untuk berniat umrah dari sana merupakan sarana menjalankan ibadah yang diminta. Orang yang menyibukkan diri dengan sarana (menuju tempat yang halal untuk berumrah dari sana) sehingga meninggalkan tujuan inti (thawaf), orang ini telah salah jalan, tidak paham tentang agama. Lebih buruk dari orang yang berdiam di dekat masjid pada hari Jum’at, sehingga memungkinkannya bersegera menuju masjid untuk shalat, tetapi ia justru menuju tempat yang jauh untuk mengawali perjalanan menuju masjid itu. Akibatnya, ia meninggalkan perkara yang menjadi tuntutan, yaitu shalat di dalam masjid tersebut. 

9. Mereka mengetahui dengan yakin, bahwa thawaf di sekeliling Baitullah jauh lebih utama daripada sa’i. Maka daripada mereka menyibukkan diri dengan pergi keluar ke daerah Tan’im dan sibuk dengan amalan-amalan umrah yang baru sebagai tambahan bagi umrah sebelumnya, lebih baik mereka melakukan thawaf di sekeliling Ka’bah. Dan sudah dimaklumi, bahwa waktu yang tersita untuk pergi ke Tan’im karena ingin memulai ihram untuk umrah yang baru, dapat dimanfaatkan untuk mengerjakan thawaf ratusan kali keliling Ka’bah.

Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menilainya sebagai bid’ah, (sebuah perkara yang) belum pernah dikerjakan oleh generasi Salaf, tidak diperintahkan oleh al Kitab dan as Sunnah. Juga tidak ada dalil syar’i yang menunjukkan status sunnahnya. Apabila demikian adanya, berarti termasuk bid’ah yang dibenci berdasarkan kesepakatan para ulama[20]. Oleh karenanya, para generasi Salaf dan para imam melarangnya. 

Sa’id bin Manshur meriwayatkan dalam Sunan-nya dari Thawus, salah seorang murid Ibnu ‘Abbas mengatakan : 

مَا أَدْرِيْ أَيُؤْجَرُوْنَ عَلَيْهَا أَمْ يُعَذَّبُوْنَ. قِيْلَ : فَلِمَ يُعَذَّبُوْنَ؟ قَالَ : لِأَنَّهُ يَدَعُ الطَّوَافَ بِالْبَيْتِ . وَيَخْرُجُ إِلَى أَرْبَعَةِ أَمْيَالِ وَيَجِيْئُ وَإِلَى أَنْ يَجِيْئَ مِنْ أَرَبَعَةِ أَمْيَالٍ قَدْ طَافَ مِائَتَيْ طَوَافٍ. وَكُلَّمَا طَافَ بِالْبَيْتِ كَانَ أَفْضَلَ مِنْ أَنْ يَمْشِيَ فِيْ غَيْرِ شَيْئٍ

"Aku tidak tahu, orang-orang yang mengerjakan umrah dari kawasan Tan’im, apakah mereka diberi pahala atau justru disiksa". Ada yang bertanya : “Mengapa mereka disiksa?” Beliau menjawab : “Karena meninggalkan thawaf di Ka’bah. Untuk keluar menempuh jarak empat mil dan pulang (pun demikian). Sampai ia pulang menempuh jarak empat mil, ia bisa berkeliling Ka’bah sebanyak dua ratus kali. Setiap kali ia berthawaf di Ka’bah, itulah yang utama daripada menempuh perjalanan tanpa tujuan apapun”.[21] 

‘Atha` pernah berkata : “Thawaf di Ka’bah lebih aku sukai daripada keluar (dari Mekkah) untuk umrah”. [22]

10. Setelah memaparkan kejadian orang yang berumrah berulang-ulang, misalnya melakukannya dua kali dalam sehari, Syaikhul Islam semakin memantapkan pendapatnya, bahwa umrah yang demikian tersebut makruh, berdasarkan kesepakatan para imam. Selanjutnya beliau menambahkan, meskipun ada sejumlah ulama dari kalangan Syafi’iyyah dan ulama Hanabilah yang menilai umrah berulang kali sebagai amalan yang sunnah, namun pada dasarnya mereka tidak mempunyai hujjah khusus, kecuali hanya qiyas umum. Yakni, untuk memperbanyak ibadah atau berpegangan dengan dalil-dalil yang umum.[23]

Di antara dalil yang umum, hadits Nabi: 

الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا 

"Antara umrah menuju umrah berikutnya menjadi penghapus (dosa) di antara keduanya" [24]. 

Tentang hadits ini, Syaikh al 'Utsaimin mendudukkan bahwa hadits ini, mutlak harus dikaitkan dengan apa yang diperbuat oleh generasi Salaf ridhwanullah ‘alaihim [25]. Penjelasannya sudah disampaikan pada point-point sebelumnya. Ringkasnya, tidak ada contoh dari kalangan generasi Salaf dalam melaksanakan umrah yang berulang-ulang. 

11. Pada penaklukan kota Mekkah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di Mekkah selama sembilan belas hari. Tetapi, tidak ada riwayat bahwa beliau keluar ke daerah halal untuk melangsungkan umrah dari sana. Apakah Nabi tidak tahu bahwa itu masyru’ (disyariatkan)? Tentu saja tidak mungkin![26] 

LEBIH BAIK MEMPERBANYAK THAWAF
Berdasarkan alasan-alasan di atas, menjadi jelas bahwa thawaf lebih utama. Adapun berumrah dari Mekkah dan meninggalkan thawaf tidak mustahab. Dan yang disunnahkan adalah thawaf, bukan umrah. 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menambahkan : “Thawaf mengelilingi Ka’bah lebih utama daripada umrah bagi orang yang berada di Mekkah, merupakan perkara yang tidak diragukan lagi oleh orang-orang yang memahami Sunnah Rasulullah dan Sunnah Khalifah pengganti beliau dan para sahabat, serta generasi Salaf dan tokoh-tokohnya”. 

Alasannya, kata beliau rahimahullah, karena thawaf di Baitullah merupakan ibadah dan qurbah (cara untuk mendekatkan diri kepada Allah) yang paling afdhal yang telah Allah tetapkan di dalam KitabNya, berdasarkan keterangan NabiNya. Thawaf termasuk ibadah paling utama bagi penduduk Mekkah. Maksudnya, yaitu orang-orang yang berada di Mekkah, baik penduduk asli maupun pendatang. Thawaf juga termasuk ibadah istimewa yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang yang berada di kota lainnnya. 

Orang-orang yang berada di Mekkah sejak masa Rasulullah dan masa para khulafa senantiasa menjalankan thawaf setiap saat. Dan lagi, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada pihak yang bertanggung jawab atas Baitullah, agar tidak menghalangi siapapun yang ingin mengerjakan thawaf pada setiap waktu. Beliau bersabda: 

يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ لَا تَمْنَعُوا أَحَدًا طَافَ بِهَذَا الْبَيْتِ وَصَلَّى فِيْ أَيِّ سَاعَةٍ شَاءَ مِنْ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ

"Wahai Bani Abdi Manaf, janganlah kalian menghalangi seorang pun untuk melakukan thawaf di Ka'bah dan mengerjakan shalat pada saat kapan pun, baik malam maupun siang" [27] 

Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dengan berfirman : 

أَن طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

"Dan bersihkanlah rumahKu untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku', dan yang sujud" [al Baqarah/2:125]

Dalam ayat yang lain: 

أَن طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

"Dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang ruku' dan sujud" [al Hajj/22:26]

Pada dua ayat di atas, Allah menyebutkan tiga ibadah di Baitullah, yaitu : thawaf, i’tikaf dan ruku’ bersama sujud, dengan mengedepankan yang paling istimewa terlebih dahulu, yaitu thawaf. Karena sesungguhnya, thawaf tidak disyariatkan kecuali di Baitil ‘Atiq (rumah tua, Ka’bah) berdasarkan kesepakatan para ulama. Begitu juga para ulama bersepakat, thawaf tidak boleh dilakukan di tempat selain Ka'bah. Adapun i’tikaf, bisa dilaksanakan di masjid-masjid lain. Begitu pula ruku' dan sujud, dapat dikerjakan di mana saja. Nabi bersabda: 

وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَ طَهُورًا

"Dijadikan tanah sebagai masjid dan tempat pensuci bagi diriku" [HR. al-Bukhari - Muslim]

Maksudnya, Allah Subhanhu wa Ta'ala mengutamakan perkara yang paling khusus dengan tempat tersebut. Sehingga mendahulukan penyebutan thawaf. Karena ibadah thawaf hanya berlaku khusus di Masjidil Haram. Baru kemudian disebutkan i’tikaf. Sebab bisa dikerjakan di Masjidil Haram dan masjid-masjid lainnya yang dipakai kaum Muslimin untuk mengerjakan shalat lima waktu. Selanjutnya, disebutkan ibadah shalat. Karena tempat pelaksanaannya lebih umum. 

Selain itu, thawaf merupakan rangkaian manasik yang lebih sering terulang. Disyariatkan thawaf Qudum bagi orang yang baru sampai di kota Mekkah. Dan disyariatkan thawaf Wada’ bagi orang yang akan meninggalkan kota Mekkah usai pelaksanaan manasik haji. Disamping keberadaan thawaf ifadhah yang menjadi salah satu rukun haji.[28]

Secara khusus, tentang keutamaan thawaf di Baitullah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : 

مَنْ طَافَ بِهَذَا الْبَيْتِ سَبْعًا كَعِدْلِ رَقَبَةٍ 

"Barangsiapa mengelilingi rumah ini (Ka’bah) tujuh kali, seperti membebaskan satu budak belian" [29]. 

Kesimpulannya : Memperbanyak thawaf merupakan ibadah sunnah, lagi diperintahkan. Terutama bagi orang yang datang ke Mekkah. Jumhur ulama berpendapat, thawaf di Ka’bah lebih utama dibandingkan shalat di Masjidil Haram, meskipun shalat di sana sangat besar keutamaannya.[30]

Pendapat yang mengatakan tidak disyari’atkan melakukan thawaf berulangkali, inilah yang ditunjukkan oleh Sunnah Nabawiyah yang bersifat ‘amaliyah, dan didukung oleh fi’il (perbuatan) para sahabat Radhiyallahu 'anhum. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan kita agar mengikuti Sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah para khalifahnya sepeninggal beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yaitu beliau bersabda : Hendaklah kalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk dan terbimbing sepeninggalku. Hendaklah kalian menggigitnya dengan gigi gerahammu. [Sunan Abu Dawud, II/398, no. 4607; Ibnu Majah, I/16, no. 42 dan 43; Tirmidzi, V/43, no. 2673; Ahmad, IV/26.] [31]

Oleh karena itu, ketika berada di Mekkah sebelum atau sesudah pelaksanaan haji, yang paling baik bagi kita ialah memperbanyak thawaf, daripada melakukan perbuatan yang tidak ada contohnya. Wallahu a'lam bish-shawab.

Maraji : 
- Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz, Dr Abdul 'Azhim Badawi Dar Ibni Rajab, Cet. III, Th. 1421 H – 2001 M. 
- Fatawa li Ahlil Haram, susunan Dakhil bin Bukhait al Mutharrifi. 
- Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, Muassasah A-sam, Cet. I, Th. 1416 H – 1996 M. 
- Majmu al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Cet. I, Th. 1423 H. Tanpa penerbit. 
- Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, Muhammad bin Abi Bakr Ibnul Qayyim. Tahqiq Syu’aib al Arnauth dan ‘Abdul Qadir al Arnauth, Muassasah ar Risalah, Cet. III, Th. 1421 H – 2001 M.
- Shahih Sunan an Nasaa-i, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah Ma'arif, Cet. I, Th. 1419H –1998M. 
- Shahih Sunan at Tirmidzi, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah Ma'arif Cet. I, Th. 1419H – 1998M. 
- Shahih Sunan Ibni Majah, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah Ma'arif, Cet. I, Th. 1419H – 1998M.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun X/1427H/2006. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Fatawa al 'Utsaimin, 2/668.
[2]. Lihat penjelasan Dr. Muhammad bin Abdir Rahman al Khumayyis dalam adz Dzikril Jama’i Bainal Ittiba’ wal Ibtida’, halaman 7-8.
[3]. Shahih. Lihat Shahih Sunan at Tirmidzi, no. 816; Shahih Sunan Ibni Majah, no. 2450.
[4]. Zadul Ma’ad, 2/89.
[5]. Umrah ini dikenal dengan nama umrah Qadha` atau Qadhiyah, karena kaum muslimin telah mengikat perjanjian dengan kaum Quraisy. Bukan untuk mengqadha (menggantikan) umrah tahun sebelumnya yang dihalangi oleh 
kaum Quraisy. Karena umrah tersebut tidak rusak sehingga tidak perlu diganti. Buktinya, Nabi tidak memerintahkan para sahabat yang ikut serta dalam umrah pertama untuk mengulanginya kembali pada umrah ini. Oleh sebab itu, para ulama menghitung jumlah umrah Nabi sebanyak empat kali. Demikian penjelasan as Suhaili. Pendapat inilah yang dirajihkan oleh Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad, 2/86.
[6]. Majmu al Fatawa, 26/253-254; Zadul Ma’ad, 2/86.
[7]. Majmu ‘ al Fatawa, jilid 26. Pembahasan tentang umrah bagi orang-orang yang berada di Mekkah terdapat di halaman 248-290; asy Syarhul Mumti’, 7/407.
[8]. Fatawa al 'Utsaimin, 2/668, dikutip dari Fatawa li Ahlil Haram.
[9]. Majmu' al Fatawa, 26/252.
[10]. Majmu’ al Fatawa, 26/254.
[11]. Lihat Majmu’ al Fatawa, 26/256. 273.
[12]. Zaadul Ma’ad, 2/89.
[13]. Majmu' al Fatawa, 26/252.
[14]. Zaadul Ma’ad, 2/163.
[15]. Dikutip dari al Wajiz, halaman 268.
[16]. Atha bin Abi Rabah Aslam al-Qurasyi al Fihri, dari kalangan generasi Tabi'in. Berguru kepada sejumlah sahabat Nabi. Diantara mereka, Jabir bin Abdillah, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Abu Sa'id al Khudri, Abdullah bin Amr bin al Ash, Abdullah bin Zubair. Seorang Mufri Mekkah di zamannya dan dikenal sebagai orang yang paling tahu tentang manasik haji. Wafat tahun 114H
[17]. Thawus bin Kaisan al Yamani, berdarah Persia, dari kalangan generasi Tabi'in, berguru kepada sejumlah sahabat, mislnya, Ibnu Abbas, Jabir bin Abdillah, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Muad bin Jabal. Aisyah seorang ahli fiqih di zamannya. Wafat tahun 106H
[18]. Majmu' al Fatawa, 26/256-258.
[19]. Ibid, 26/262.
[20]. Ibid, 2/264.
[21]. Ibid, 26/264.
[22]. Ibid, 26/266.
[23]. Ibid, 26/270.
[24]. HR al Bukhari, no. 1773 dan Muslim, no. 1349.
[25]. Asy Syarhul Mumti’, 7/408.
[26]. Fatawa al 'Utsaimin, 2/668, dikutip dari Fatawa li Ahlil Haram.
[27]. Shahih, hadits riwayat at Tirmidzi, 869; an Nasaa-i, 1/284; Ibnu Majah, 1254
[28]. Majmu’ al Fatawa, 26/250-252 secara ringkas.
[29]. Shahih. Lihat Shahih Sunan an Nasaa-i, no. 2919.
[30]. Majmu' al Fatawa, 26/290.
[31]. Al Wajiz, halaman 268
.

 http://almanhaj.or.id/content/2576/slash/0/sebelas-alasan-tidak-melakukan-umrah-berulang-kali-saat-berada-di-mekkah/