Sabtu, 30 November 2013

Meraih Hidayah dengan Dakwah Salafiyah


Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc

Nikmat Hidayah di Tengah Beragam Dakwah
Hidayah merupakan nikmat yang paling berharga dalam kehidupan ini. Setiap muslim sejati pasti mendambakan hidayah. Dengan hidayah itu, ia akan berbahagia dalam kehidupan dunia yang sedang dijalaninya dan dalam kehidupan akhirat yang kelak akan dihadapinya. Terlebih belakangan ini, manakala beragam dakwah semakin meruak di tengah umat. Masing-masing menyeru kepada manhaj (prinsip beragama) yang diusung dan mengklaim sebagai satu-satunya jalan menuju hidayah. Ikhwanul Muslimin (IM) dengan ‘Tarbiyah’-nya, Hizbut Tahrir (HT) dengan gerakan ‘Syabab’-nya, Jama’ah Tabligh (JT) dengan aktivitas ‘Khuruj’-nya, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dengan gebyar ‘Penegakan Syariat Islam’-nya, JIL (Jaringan Islam Liberal) dengan ‘Islam warna-warni’-nya, dan sebagainya. Semuanya saling berlomba untuk mengenalkan dakwahnya dan menyeru umat kepadanya.

Fenomena di atas —tak bisa dimungkiri— cukup membingungkan kebanyakan ‘orang awam’. Bahkan, sebagian pegiat dakwah (dai) tidak mampu memilahnya. Berbagai ungkapan kebingungan pun muncul, “Saya harus ikut yang mana?” atau, “Saya jadi bingung, karena penampilannya sepintas mirip”, “Mana yang benar?”, “Mana yang dapat mengantarkan kepada hidayah?” dan berbagai kalimat lainnya.

Namun, tak semua orang bisa mendapatkan nikmat hidayah, karena hidayah adalah milik Allah Subhanahu wa ta'ala. Dia Maha Berhak memberikannya kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:

“Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (Fathir: 8)

Tidak mengherankan, Allah Subhanahu wa ta'ala memerintahkan setiap hamba untuk memohon hidayah tersebut di setiap rakaat dalam shalatnya.

“Berilah kami hidayah (kepada) jalan yang lurus.” (al-Fatihah: 6)

Bahkan Allah Subhanahu wa ta'ala memerintahkannya untuk memohon keteguhan hati (istiqamah) di atas hidayah tersebut manakala telah diraihnya.

“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau sesatkan hati-hati kami setelah Engkau beri kami hidayah dan karuniakanlah kepada kami kasih sayang dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau adalah Dzat Yang Maha Pemberi.” (Ali Imran: 8)

Dakwah Salafiyah, Jalan Menuju Hidayah
Para pembaca yang mulia, sesungguhnya dakwah yang harus diikuti dan dapat mengantarkan kepada hidayah hanyalah dakwah salafiyah. Mengapa? Karena dakwah salafiyah adalah kelanjutan dakwah Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam, bukan dakwah yang muncul belakangan. Asasnya adalah Al-Qur’anul Karim, bimbingan (sunnah) Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam, dan prinsip salafush shalih (pendahulu terbaik umat ini dari kalangan sahabat Rasulullah, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in). Misinya adalah mengajak umat manusia untuk memahami dan menjalani agama Islam sebagaimana yang dipahami dan dijalani Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam dan as-salafush shalih.

Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
سَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثَةٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً. قِيلَ: مَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ
“Umatku akan terpecah-belah menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka, kecuali satu golongan.” Beliau ditanya, “Siapakah dia, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “(Golongan) yang berada di atas apa yang aku dan para sahabatku berada.” (Hasan, HR. at-Tirmidzi dalam Sunan-nya “Kitabul Iman Bab Iftiraqul Hadzihil Ummah”, dari sahabat Abdullah bin Amr bin al-‘Ash c)[1]

Targetnya di dunia adalah terciptanya kehidupan Islami yang penuh barakah, bersendikan iman dan amal saleh. Sebagaimana firman Allah Ta'ala:

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang saleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah hanya kepada-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan-Ku.” (an-Nur: 55)

Adapun targetnya di akhirat adalah mendapatkan ridha Allah Subhanahu wa ta'ala dan masuk ke dalam surga (al-Jannah) yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta'ala:

“Dan orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan sahabat Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga (al-Jannah) yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal abadi di dalamnya. Itulah kesuksesan yang agung.” (at-Taubah: 100)[2]

Syiar utamanya adalah kembali kepada Al-Qur’anul Karim dan bimbingan (sunnah) Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam, dengan pemahaman as-salafush shalih (pendahulu terbaik umat ini dari kalangan sahabat Rasulullah, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in) dalam setiap permasalahan agama. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta'ala:

“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisa: 59)

“Dan barang siapa menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk, dan mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman[3], Kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”(an-Nisa’: 115)

Demikian pula sabda Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِيْنَ، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Sesungguhnya siapa saja di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, niscaya akan melihat perselisihan yang banyak (dalam memahami agama ini). Oleh karena itu, wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnah (bimbingan)ku dan sunnah al-Khulafa’ ar-Rasyidin yang terbimbing. Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian (maksudnya, berpeganglah erat-erat dengannya, pen.)… (Sahih, HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, ad-Darimi, Ibnu Majah, dan yang lainnya dari sahabat al-‘Irbadh bin Sariyah z. Lihat Irwa’ul Ghalil, hadits no. 2455)

Seruannya senantiasa tegak di atas ilmu (bashirah). Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:
“Katakanlah, ‘Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku menyeru (kalian) kepada Allah dengan ilmu yang nyata. Mahasuci Allah dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik’.” (Yusuf: 108)

Adapun jalan (thariqah)nya senantiasa terbimbing di atas hikmah, pengajaran yang baik, dan diskusi ilmiah dengan cara yang baik pula. Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (an-Nahl: 125)

Lebih dari itu, dakwah salafiyah adalah dakwah bijak yang sangat memerhatikan hubungan antara hamba dengan Allah Subhanahu wa ta'ala dan hamba dengan sesamanya. Sifatnya terbuka untuk seluruh umat manusia sepanjang masa (universal), dan tidak bersifat eksklusif atau kekelompokan (hizbiyah).

Dengan dakwah salafiyah, umat manusia —yang sebelumnya berada dalam jurang kejahiliahan— terbimbing meraih hidayah. Sekian banyak orang yang sebelumnya tenggelam dalam bid’ah dan kesesatan mendapatkan hidayah kepada as-Sunnah. Dua kekaisaran adikuasa dunia saat itu (Romawi dan Persia) dapat ditaklukkan dan tidak sedikit dari mereka yang mendapatkan hidayah Islam. Demikian pula negeri-negeri kafir yang sebelumnya dipenuhi kesyirikan dan kemaksiatan berubah menjadi negeri tauhid dan takwa yang berlimpah rahmat.

Demikianlah dakwah salafiyah. Tidaklah masuk kepada sebuah pribadi kecuali membuatnya penuh rahmat. Tidaklah masuk ke dalam keluarga kecuali membuat mereka penuh rahmat. Tidaklah masuk kepada suatu kaum kecuali membuat mereka penuh rahmat. Bahkan, tidaklah masuk ke sebuah negeri melainkan membuatnya penuh rahmat. Sejarah telah mencatat bahwa dakwah salafiyah merupakan rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil ‘alamin).

Dakwah Salafiyah di Mata Sebagian Masyarakat
Di mata sebagian masyarakat, dakwah salafiyah tak ubahnya aliran atau sekte sesat. Terkhusus belakangan ini, seiring semakin berkembangnya berbagai aliran dan sekte sesat, baik yang baru atau sekadar berganti baju. Dengan informasi yang sangat terbatas atau setengah-setengah, mereka cenderung emosi atau mengedepankan sikap curiga dengan dalih kewaspadaan. Prinsip ‘pukul rata’ dengan dalil-dalil keumuman atau hukum mayoritas pun menjadi alasan dalam menyikapi semua itu.

Para pembaca yang mulia, alasan atau cara pandang sebagian masyarakat dalam menilai dan menyikapi dakwah salafiyah di atas, tidak bisa dibenarkan secara syar’i. Adalah dilarang dalam agama kita yang mulia untuk menilai dan menyikapi sesuatu dengan informasi yang sangat terbatas atau setengah-setengah. Bahkan, Islam membimbing umatnya agar mengedepankan sikap ilmiah dan proporsional dalam menilai serta bersikap. Semua itu kelak akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah Rabb semesta alam. Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (al-Isra: 36)

Demikianlah, Islam melarang umatnya menilai dan bersikap dengan menggunakan dalil-dalil keumuman atau hukum mayoritas, karena itu merupakan prinsip kaum jahiliah yang dahulu dijadikan alasan untuk menentang dakwah para rasul yang mulia.

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Di antara prinsip kaum jahiliah adalah menilai kebenaran dengan jumlah mayoritas dan kesalahan dengan jumlah minoritas. Menurut mereka, segala sesuatu yang diikuti kebanyakan orang berarti benar, sedangkan yang diikuti segelintir orang berarti salah. Inilah patokan yang ada pada mereka dalam menilai kebenaran dan kesalahan. Padahal patokan tersebut tidak benar, karena Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:
“Dan jika kamu menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (al-An’am: 116)

Allah Subhanahu wa ta'ala juga berfirman:
“Tetapi mayoritas manusia itu tidak mengetahui.” (al-A’raf: 187)

“Dan Kami tidak mendapati mayoritas mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati mayoritas mereka orang-orang yang fasik.” (al-A’raf: 102)

dan sebagainya.” (Syarh Masail al-Jahiliyyah, hlm. 60)

Maka dari itu, sedikitnya pengikut suatu dakwah, tidak lazimnya cara ibadah yang dilakukan (tidak seperti kebanyakan orang), atau penampilan yang berbeda dengan keumuman, bukanlah alasan untuk memvonis salah atau sesatnya sebuah dakwah. Bukankah dakwah para rasul yang mulia —di awal kemunculannya— juga tidak umum dan tidak lazim di mata kaumnya?! Bukankah tidak sedikit dari para rasul tersebut yang dimusuhi dan ditentang dakwahnya? Sebagian mereka hanya diikuti segelintir orang. Bahkan, sebagian lainnya tak ada yang mengikutinya! Namun, semua itu tidak mengurangi nilai dakwah yang mereka emban. Tidak pula menjadikan dakwah mereka divonis salah atau sesat. Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:

“Dan tidaklah beriman bersamanya (Nuh) kecuali sedikit.” (Hud: 40)

Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
عُرِضَتْ عَلَيَّ اْلأُمَمُ، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّهْطُ، وَالنَّبِيَّ وَمعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ، وَالنَّبِيَّ وَلَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ
“Telah ditampakkan kepadaku beberapa umat, maka aku melihat seorang nabi yang bersamanya kurang dari sepuluh orang, seorang nabi yang bersamanya satu atau dua orang, dan seorang nabi yang tidak ada seorang pun yang bersamanya.” (HR. al-Bukhari no. 5705, 5752, dan Muslim no. 220, dari sahabat Abdullah bin Abbas)

Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alusy Syaikh rahimahullah berkata, “Hadits ini mengandung bantahan terhadap orang yang berdalil dengan hukum mayoritas dan beranggapan bahwa kebenaran itu selalu bersama jumlah yang banyak. Padahal tidaklah demikian adanya. Yang semestinya adalah mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah bersama siapa saja dan di mana saja.” (Taisir al-‘Azizil Hamid, hlm. 106)

Menelisik Kehidupan Komunitas Salafi
Pembahasan tentang komunitas salafi (orang-orang yang menyambut dakwah salafiyah dan berupaya meniti jejak as-salafush shalih dalam kehidupan beragama) tidak bisa dipisahkan dengan dakwah salafiyah, karena keduanya saling terkait.

Dalam kehidupan bermasyarakat, tak bisa dimungkiri bahwa komunitas salafi sering mendapatkan perlakuan yang berbeda di tengah masyarakatnya. Sebabnya bermacam-macam. Bisa jadi, karena informasi yang sangat terbatas atau setengah-setengah tentang mereka. Bisa jadi, karena dianggap tidak lazim cara ibadah yang dilakukan (tidak seperti kebanyakan orang). Bisa jadi, karena penampilan mereka yang berbeda dengan keumuman. Bisa jadi pula, karena anggapan bahwa mereka seperti malaikat, yang tak mungkin terjatuh dalam dosa dan maksiat.

Sebab yang pertama, kedua, dan ketiga, alhamdulillah telah dibahas dalam sub judul sebelum ini. Adapun sebab yang ketiga, berikut inilah pembahasannya.

Para pembaca yang mulia, sesungguhnya manusia —setinggi apapun keimanannya— tak sama dengan malaikat. Manusia adalah makhluk yang berkarakter dasar amat zalim (zhalum) dan amat bodoh (jahul). Bahkan, mayoritas mereka lalai dari ayat-ayat Allah Subhanahu wa ta'ala. Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:

“Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (al-Ahzab: 72)

“Dan sesungguhnya mayoritas dari manusia benar-benar lalai dari ayat-ayat Kami.” (Yunus: 92)

Adapun malaikat adalah makhluk yang tak pernah mendurhakai Allah sesaat pun. Mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya. Bahkan, mereka selalu bertasbih kepada Allah Subhanahu wa ta'ala malam dan siang tiada henti-hentinya. Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:

“(Para malaikat itu) tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (at-Tahrim: 6)

“Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” (al-Anbiya: 20)

Demikian pula dengan komunitas salafi. Layaknya manusia, mereka tidak akan luput dari kesalahan dan dosa. Di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri. Ada yang pertengahan dan ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan. Hal ini mengingatkan kita akan firman Allah Subhanahu wa ta'ala:

“Kemudian Kitab (Al-Qur’an) itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, di antara mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan[4] dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (Fathir: 32)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Mereka semua termasuk yang dipilih Allah Subhanahu wa ta'ala untuk mewarisi Al-Kitab (Al-Qur’an), walaupun tingkatan dan keadaan mereka berbeda-beda. Masing-masing mendapatkan porsi tertentu untuk mewarisi Al-Kitab, termasuk orang yang menganiaya diri sendiri. Karena prinsip keimanan, ilmu tentang keimanan, dan pengamalan tentang keimanan yang masih tersisa pada diri orang (yang menganiaya diri sendiri) tersebut merupakan bentuk pewarisan Al-Kitab tersebut. Karena maksud dari mewarisi Al-Kitab di sini adalah mengilmui dan mengamalkannya, mempelajari lafadz-lafadznya, dan mendulang makna yang dikandungnya.” (Taisir al-Karimirrahman, tafsir surah Fathir: 32)

Mungkin ada yang menyoal, “Apa ruginya jika dianggap seperti malaikat, bukankah itu sebagai rekomendasi?”

Memang, sepintas lalu terkesan sebagai rekomendasi. Namun, jika dicermati dengan saksama justru sebaliknya. Anggapan tersebut malah merugikan komunitas salafi itu sendiri. Bahkan, merugikan dakwah salafiyah yang merupakan jalan menuju hidayah.

Mengapa demikian? Karena anggapan tersebut berawal dari sikap berlebihan (ghuluw) dalam merekomendasi. Adalah nyata bahwa kesudahan ghuluw adalah petaka.

Berikutnya, ketika anggapan tersebut menjadi keyakinan di masyarakat, kemudian di antara komunitas salafi ada yang terjatuh dalam kesalahan atau dosa, masalahnya justru akan berbeda. Berbagai ungkapan kekecewaan akan bermunculan. “Masak orang salafi demikian?!” atau “Kelihatannya saja alim, tapi nyatanya zalim!”, “Penampilannya layaknya malaikat, tapi hakikatnya penjahat!”

Rekomendasi berbalik menjadi isolasi (pemboikotan). Kepercayaan berbalik menjadi kebencian. Dakwah salafiyah pun jadi perbincangan. Padahal sekiranya pelakunya itu anggota masyarakat selain mereka, kemungkinan besar tidak ada ungkapan seperti itu.

Para pembaca yang mulia, apabila kita memerhatikan dengan saksama fenomena di atas, ada beberapa pelajaran berharga yang dapat kita ambil. Di antaranya:

1. Bagi komunitas salafi, hendaknya menjaga nama baik dakwah salafiyah, dengan berupaya menjalankan segala ketaatan dan menjauhkan diri dari segala kemaksiatan. Berakhlak mulia, berkata santun, bijak dalam berdakwah, dan tidak menjadi juru fitnah yang membuat orang lari dari dakwah salafiyah.

2. Bagi masyarakat, hendaknya tidak berlebihan menyikapi komunitas salafi. Tidak berlebihan dalam merekomendasi dan tidak berlebihan pula mengkritisi mereka. Sikap ilmiah dan proporsional sangat dibutuhkan dalam semua itu.

3. Kesalahan oknum dari komunitas salafi tidak berarti dakwah salafiyah yang diikutinya salah atau sesat, karena keadaan oknum dapat berubah-ubah seiring naik dan turunnya keimanan. Adapun keadaan dakwah salafiyah tidak berubah dan senantiasa di atas kemuliaan.

Demikianlah yang dapat kami sajikan dalam kesempatan kali ini. Semoga menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi pencari kebenaran.

Amin, ya Rabbal ‘Alamin…

Catatan Kaki:

[1] Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad ad-Dahlawi al-Madani t berkata, “Hadits ini adalah nash (dalil, pen.) bagi apa yang diperselisihkan karena dengan tegas Rasul shallallahu'alaihi wa sallam menjelaskan tiga hal:
  • 1. Umat Islam sepeninggal beliau akan berselisih serta bergolong-golongan yang berbeda pemahaman dan pendapat dalam memahami agama. Semuanya masuk neraka, karena masih berselisih dalam permasalahan agama walaupun telah datang (kepadanya) keterangan dari Rabb semesta alam.
  • 2. Ada satu golongan yang diselamatkan oleh Allah Subhanahu wa ta'ala karena mereka berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam, serta mengamalkan keduanya tanpa takwil dan penyimpangan.
  • 3. Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam telah menentukan golongan yang selamat di antara sekian banyak golongan itu. Golongan yang selamat itu hanya satu. Mereka memiliki ciri-ciri yang khusus, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam sendiri (dalam hadits tersebut) yang tidak lagi membutuhkan takwil dan tafsir. (Tarikh Ahlil Hadits, hlm. 78—79)
Tentunya, golongan yang ditentukan Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam itu adalah yang mengikuti dakwah salafiyah karena jalan yang mereka tempuh dalam kehidupan beragama ini adalah jalan Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam dan para sahabatnya (as-salafush shalih).

[2] Dalam ayat ini Allah l tidak mengkhususkan ridha dan jaminan al-Jannah (surga)-Nya untuk para sahabat Muhajirin dan Anshar (as-Salaf) semata. Akan tetapi, orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pun mendapatkan ridha Allah Subhanahu wa ta'ala dan jaminan al-Jannah seperti mereka.

[3] Al-Imam Ibnu Abi Jamrah al-Andalusi t berkata, “Para ulama telah menjelaskan makna firman Allah Subhanahu wa ta'ala (di atas) bahwa yang dimaksud orang-orang mukmin di sini adalah para sahabat Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam dan generasi pertama dari umat ini.” (al-Marqat fi Nahjis Salaf Sabilun Najah, hlm. 36—37)

[4] Yang dimaksud dengan orang yang menganiaya dirinya sendiri ialah orang yang lemah dalam mengerjakan suatu kewajiban dan masih melakukan sesuatu yang diharamkan. Yang dimaksud pertengahan ialah orang-orang yang mengerjakan semua kewajiban dan meninggalkan semua yang diharamkan, namun terkadang dia meninggalkan sesuatu yang sunnah dan mengerjakan sesuatu makruh. Adapun yang dimaksud dengan orang-orang yang lebih dahulu dalam berbuat kebaikan ialah orang-orang yang mengerjakan semua kewajiban dan yang disunnahkan, serta meninggalkan segala sesuatu yang haram, makruh, dan sebagian hal yang mubah. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surah Fathir ayat 32)

Sumber: Majalah AsySyariah Edisi 064
 http://faisalchoir.blogspot.com/2012/07/meraih-hidayah-dengan-dakwah-salafiyah.html

Inilah Alasan Mengapa Harus Memulai Puasa Ramadhan dan Hari Raya Bersama Pemerintah

Shaum Ramadhan dan Hari Raya Bersama Penguasa, Syi’ar Kebersamaan Umat Islam

Penulis : Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc
Taat kepada pemerintah dalam perkara kebaikan. Inilah salah satu prinsip agama yang kini telah banyak dilupakan dan ditinggalkan umat. Yang kini banyak dilakukan justru berupaya mencari keburukan pemerintah sebanyak-banyaknya untuk kemudian disebarkan ke masyarakat. Akibat buruk dari ditinggalkannya prinsip ini sudah banyak kita rasakan. Satu di antaranya adalah munculnya perpecahan di kalangan umat Islam saat menentukan awal Ramadhan atau Hari Raya.
Bulan suci Ramadhan merupakan bulan istimewa bagi umat Islam. Hari-harinya diliputi suasana ibadah; shaum, shalat tarawih, bacaan Al-Qur`an, dan sebagainya. Sebuah fenomena yang tak didapati di bulan-bulan selainnya. Tak ayal, bila kedatangannya menjadi dambaan, dan kepergiannya meninggalkan kesan yang mendalam. Tak kalah istimewanya, ternyata bulan suci Ramadhan juga sebagai salah satu syi’ar kebersamaan umat Islam. Secara bersama-sama mereka melakukan shaum Ramadhan; dengan menahan diri dari rasa lapar, dahaga dan dorongan hawa nafsu sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, serta mengisi malam-malamnya dengan shalat tarawih dan berbagai macam ibadah lainnya. Tak hanya kita umat Islam di Indonesia yang merasakannya. Bahkan seluruh umat Islam di penjuru dunia pun turut merasakan dan memilikinya.
Namun syi’ar kebersamaan itu kian hari semakin pudar, manakala elemen-elemen umat Islam di banyak negeri saling berlomba merumuskan keputusan yang berbeda dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan. Keputusan itu terkadang atas nama ormas, terkadang atas nama parpol, dan terkadang pula atas nama pribadi. Masing-masing mengklaim, keputusannya yang paling benar. Tak pelak, shaum Ramadhan yang merupakan syi’ar kebersamaan itu (kerap kali) diawali dan diakhiri dengan fenomena perpecahan di tubuh umat Islam sendiri. Tentunya, ini merupakan fenomena menyedihkan bagi siapa pun yang mengidamkan persatuan umat.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Mungkin anda akan berkata: “Itu karena adanya perbedaan pendapat di antara elemen umat Islam, apakah awal masuk dan keluarnya bulan Ramadhan itu ditentukan oleh ru`yatul hilal (melihat hilal) ataukah dengan ilmu hisab?”. Bisa juga anda mengatakan: “Karena adanya perbedaan pendapat, apakah di dunia ini hanya berlaku satu mathla’ (tempat keluarnya hilal) ataukah masing-masing negeri mempunyai mathla’ sendiri-sendiri?” 
Bila kita mau jujur soal penyebab pudarnya syi’ar kebersamaan itu, lepas adanya realita perbedaan pendapat di atas, utamanya disebabkan makin tenggelamnya salah satu prinsip penting agama Islam dari hati sanubari umat Islam. Prinsip itu adalah memuliakan dan menaati penguasa (pemerintah) umat Islam dalam hal yang ma’ruf (kebaikan).
Mungkin timbul tanda tanya: “Apa hubungannya antara ketaatan terhadap penguasa dengan pelaksanaan shaum Ramadhan?”
Layak dicatat, hubungan antara keduanya sangat erat. Hal itu karena:
  1. Shaum Ramadhan merupakan syi’ar kebersamaan umat Islam, dan suatu kebersamaan umat tidaklah mungkin terwujud tanpa adanya ketaatan terhadap penguasa.
  2. Penentuan pelaksanaan shaum Ramadhan merupakan perkara yang ma’ruf (kebaikan) dan bukan kemaksiatan. Sehingga menaati penguasa dalam hal ini termasuk perkara yang diperintahkan dalam agama Islam. Terlebih ketika penentuannya setelah melalui sekian proses, dari pengerahan tim ru‘yatul hilal di sejumlah titik di negerinya hingga digelarnya sidang-sidang istimewa.
  3. Realita juga membuktikan, dengan menaati keputusan penguasa dalam hal pelaksanaan shaum Ramadhan dan penentuan hari raya ‘Idul Fithri, benar-benar tercipta suasana persatuan dan kebersamaan umat. Sebaliknya, ketika umat Islam berseberangan dengan penguasanya, perpecahan di tubuh mereka pun sangat mencolok. Maka dari itu, menaati penguasa dalam hal ini termasuk perkara yang diperintahkan dalam agama Islam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَىاللهَ، وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيْرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ عَصَى أَمِيْرِي فَقَدْ عَصَانِي
Barangsiapa menaatiku berarti telah menaati Allah. Barangsiapa menentangku berarti telah menentang Allah. Barangsiapa menaati pemimpin (umat)ku berarti telah menaatiku, dan barangsiapa menentang pemimpin (umat)ku berarti telah menentangku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani berkata: “Di dalam hadits ini terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para penguasa dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam), karena di dalam perpecahan terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, juz 13, hal. 120)
Mungkin ada yang bertanya, “Adakah untaian fatwa dari para ulama seputar permasalahan ini?” Maka jawabnya ada, sebagaimana berikut ini:
Fatwa Para Ulama Seputar Shaum Ramadhan Bersama Penguasa
-Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Seseorang (hendaknya) bershaum bersama penguasa dan jamaah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung.” Beliau juga berkata: “Tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama Al-Jama’ah.” (Majmu’ Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juz 25, hal. 117)
-Al-Imam At-Tirmidzi berkata: “Sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits ini[1] dengan ucapan (mereka): ‘Sesungguhnya shaum dan berbukanya itu (dilaksanakan) bersama Al-Jama’ah dan mayoritas umat Islam’.” (Tuhfatul Ahwadzi juz 2, hal. 37. Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 443)
-Al-Imam Abul Hasan As-Sindi berkata: “Yang jelas, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini (menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan, berbuka puasa/Iedul Fithri dan Iedul Adha, -pen.) keputusannya bukanlah di tangan individu. Tidak ada hak bagi mereka untuk melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini dikembalikan kepada penguasa dan mayoritas umat Islam. Dalam hal ini, setiap individu pun wajib untuk mengikuti penguasa dan mayoritas umat Islam. Maka dari itu, jika ada seseorang yang melihat hilal (bulan sabit) namun penguasa menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam permasalahan itu.” (Hasyiyah ‘ala Ibni Majah, lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 443)
-Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkata: “Dan selama belum (terwujud) bersatunya negeri-negeri Islam di atas satu mathla’ (dalam menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan, -pen.), aku berpendapat bahwa setiap warga negara hendaknya melaksanakan shaum Ramadhan bersama negaranya (pemerintahnya) masing-masing dan tidak bercerai-berai dalam perkara ini, yakni shaum bersama pemerintah dan sebagian lainnya shaum bersama negara lain, baik mendahului pemerintahnya atau pun belakangan. Karena yang demikian itu dapat mempertajam perselisihan di tengah masyarakat muslim sendiri. Sebagaimana yang terjadi di sebagian negara Arab sejak beberapa tahun yang lalu. Wallahul Musta’an.” (Tamamul Minnah hal. 398)
-Beliau juga berkata: “Inilah yang sesuai dengan syariat (Islam) yang toleran, yang di antara misinya adalah mempersatukan umat manusia, menyatukan barisan mereka serta menjauhkan mereka dari segala pendapat pribadi yang memicu perpecahan. Syariat ini tidak mengakui pendapat pribadi –meski menurut yang bersangkutan benar– dalam ibadah yang bersifat kebersamaan seperti; shaum, Ied, dan shalat berjamaah. Tidakkah engkau melihat bahwa sebagian shahabat radhiallahu ‘anhum shalat bermakmum di belakang shahabat lainnya, padahal sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, dan keluarnya darah dari tubuh termasuk pembatal wudhu, sementara yang lainnya tidak berpendapat demikian?! Sebagian mereka ada yang shalat secara sempurna (4 rakaat) dalam safar dan di antara mereka pula ada yang mengqasharnya (2 rakaat). Namun perbedaan itu tidaklah menghalangi mereka untuk melakukan shalat berjamaah di belakang seorang imam (walaupun berbeda pendapat dengannya, -pen.) dan tetap berkeyakinan bahwa shalat tersebut sah. Hal itu karena adanya pengetahuan mereka bahwa bercerai-berai dalam urusan agama lebih buruk daripada sekedar berbeda pendapat. Bahkan sebagian mereka mendahulukan pendapat penguasa daripada pendapat pribadinya pada momen berkumpulnya manusia seperti di Mina. Hal itu semata-mata untuk menghindari kesudahan buruk (terjadinya perpecahan) bila dia tetap mempertahankan pendapatnya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud (1/307), bahwasanya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu shalat di Mina 4 rakaat (Zhuhur, ‘Ashar, dan Isya’ -pen). Maka shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengingkarinya seraya berkata: “Aku telah shalat (di Mina/hari-hari haji, -pen.) bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar dan di awal pemerintahan ‘Utsman 2 rakaat, dan setelah itu ‘Utsman shalat 4 rakaat. Kemudian terjadilah perbedaan di antara kalian (sebagian shalat 4 rakaat dan sebagian lagi 2 rakaat, -pen.), dan harapanku dari 4 rakaat shalat itu yang diterima adalah yang 2 rakaat darinya.”
Namun ketika di Mina, shahabat Abdullah bin Mas’ud justru shalat 4 rakaat. Maka dikatakanlah kepada beliau: “Engkau telah mengingkari ‘Utsman atas shalatnya yang 4 rakaat, (mengapa) kemudian engkau shalat 4 rakaat pula?!” Abdullah bin Mas’ud berkata: “Perselisihan itu jelek.” Sanadnya shahih. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Ahmad (5/155) seperti riwayat di atas dari shahabat Abu Dzar radhiallahu ‘anhu.
Maka dari itu, hendaknya hadits dan atsar ini benar-benar dijadikan bahan renungan oleh orang-orang yang (hobi, -pen.) berpecah-belah dalam urusan shalat mereka serta tidak mau bermakmum kepada sebagian imam masjid, khususnya shalat witir di bulan Ramadhan dengan dalih beda madzhab. Demikian pula orang-orang yang bershaum dan berbuka sendiri, baik mendahului mayoritas kaum muslimin atau pun mengakhirkannya dengan dalih mengerti ilmu falaq, tanpa peduli harus berseberangan dengan mayoritas kaum muslimin. Hendaknya mereka semua mau merenungkan ilmu yang telah kami sampaikan ini. Dan semoga ini bisa menjadi obat bagi kebodohan dan kesombongan yang ada pada diri mereka. Dengan harapan agar mereka selalu dalam satu barisan bersama saudara-saudara mereka kaum muslimin, karena tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama Al-Jama’ah.” (Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 444-445)
-Asy-Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu pernah ditanya: “Jika awal masuknya bulan Ramadhan telah diumumkan di salah satu negeri Islam semisal kerajaan Saudi Arabia, namun di negeri kami belum diumumkan, bagaimanakah hukumnya? Apakah kami bershaum bersama kerajaan Saudi Arabia ataukah bershaum dan berbuka bersama penduduk negeri kami, manakala ada pengumuman? Demikian pula halnya dengan masuknya Iedul Fithri, apa yang harus kami lakukan bila terjadi perbedaan antara negeri kami dengan negeri yang lainnya? Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas engkau dengan kebaikan.”
Beliau menjawab: “Setiap muslim hendaknya bershaum dan berbuka bersama (pemerintah) negerinya masing-masing. Hal itu berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ، وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
Waktu shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan (waktu) berkurban/Iedul Adha di hari kalian berkurban.”
Wabillahit taufiq. (Lihat Fatawa Ramadhan hal. 112)
-Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu ditanya: “Umat Islam di luar dunia Islam sering berselisih dalam menyikapi berbagai macam permasalahan seperti (penentuan) masuk dan keluarnya bulan Ramadhan, serta saling berebut jabatan di bidang dakwah. Fenomena ini terjadi setiap tahun. Hanya saja tingkat ketajamannya berbeda-beda tiap tahunnya. Penyebab utamanya adalah minimnya ilmu agama, mengikuti hawa nafsu dan terkadang fanatisme madzhab atau partai, tanpa mempedulikan rambu-rambu syariat Islam dan bimbingan para ulama yang kesohor akan ilmu dan wara’-nya. Maka, adakah sebuah nasehat yang kiranya bermanfaat dan dapat mencegah (terjadinya) sekian kejelekan? Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufiq dan penjagaan-Nya kepada engkau.”
Beliau berkata: “Umat Islam wajib bersatu dan tidak boleh berpecah-belah dalam beragama. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا وَصَّى بِهِ نُوْحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَى وَعِيْسَى أَنْ أَقِيْمُوا الدِّيْنَ وَلاَ تَتَفَرَّقُوا فِيْهِ
Dia telah mensyariatkan bagi kalian tentang agama, apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepadamu, Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu:’ Tegakkanlah agama dan janganlah kalian berpecah-belah tentangnya’.” (Asy-Syura: 13)
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا
Dan berpegang-teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)
وَلاَ تَكُوْنُوا كَالَّذِيْنَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih setelah keterangan datang kepada mereka, dan bagi mereka adzab yang pedih.” (Ali ‘Imran: 105)
Sehingga umat Islam wajib untuk menjadi umat yang satu dan tidak berpecah-belah dalam beragama. Hendaknya waktu shaum dan berbuka mereka satu, dengan mengikuti keputusan lembaga/departemen yang menangani urusan umat Islam dan tidak bercerai-berai (dalam masalah ini), walaupun harus lebih tertinggal dari shaum kerajaan Saudi Arabia atau negeri Islam lainnya.” 
(Fatawa Fi Ahkamish Shiyam, hal. 51-52)
-Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal-Ifta`: “…Dan tidak mengapa bagi penduduk negeri manapun, jika tidak melihat hilal (bulan tsabit) di tempat tinggalnya pada malam ke-30, untuk mengambil hasil ru`yatul hilal dari tempat lain di negerinya. Jika umat Islam di negeri tersebut berbeda pendapat dalam hal penentuannya, maka yang harus diikuti adalah keputusan penguasa di negeri tersebut bila ia seorang muslim, karena (dengan mengikuti) keputusannya akan sirnalah perbedaan pendapat itu. Dan jika si penguasa bukan seorang muslim, maka hendaknya mengikuti keputusan majelis/departemen pusat yang membidangi urusan umat Islam di negeri tersebut. Hal ini semata-mata untuk menjaga kebersamaan umat Islam dalam menjalankan shaum Ramadhan dan shalat Id di negeri mereka. Wabillahit taufiq, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wasallam.
Pemberi fatwa: Asy-Syaikh Abdur Razzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Mani’. (Lihat Fatawa Ramadhan hal. 117)
Demikianlah beberapa fatwa para ulama terdahulu dan masa kini seputar kewajiban bershaum bersama penguasa dan mayoritas umat Islam di negerinya. Semoga menjadi pelita dalam kegelapan dan ibrah bagi orang-orang yang mendambakan persatuan umat Islam.
Mungkin masih ada yang mengatakan bahwasanya kewajiban menaati penguasa dalam perkara semacam ini hanya berlaku untuk seorang penguasa yang adil. Adapun bila penguasanya dzalim atau seorang koruptor, tidak wajib taat kepadanya walaupun dalam perkara-perkara kebaikan dan bukan kemaksiatan, termasuk dalam hal penentuan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan ini.
Satu hal yang perlu digarisbawahi dalam hal ini, jika umat dihadapkan pada polemik atau perbedaan pendapat, prinsip ‘berpegang teguh dan merujuk kepada Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam’ haruslah senantiasa dikedepankan. Sebagaimana bimbingan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kalam-Nya nan suci:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا
Dan berpegang-teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)
Al-Imam Al-Qurthubi berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan kepada kita agar berpegang teguh dengan Kitab-Nya (Al-Qur`an) dan Sunnah Nabi-Nya, serta merujuk kepada keduanya di saat terjadi perselisihan. Sebagaimana Dia (juga) memerintahkan kepada kita agar bersatu di atas Al-Qur`an dan As-Sunnah baik secara keyakinan atau pun amalan…” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/105)
Para pembaca yang mulia, bila anda telah siap untuk merujuk kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah maka simaklah bimbingan dari Al-Qur`an dan As-Sunnah berikut ini:
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيَّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُوْلِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan Ulil Amri di antara kalian.” (An-Nisa`: 59)
-Al-Imam An-Nawawi berkata: “Yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan untuk ditaati dari kalangan para penguasa dan pemimpin umat. Inilah pendapat mayoritas ulama terdahulu dan sekarang dari kalangan ahli tafsir dan fiqih serta yang lainnya.”(Syarh Shahih Muslim, juz 12, hal. 222)
Adapun baginda Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau seringkali mengingatkan umatnya seputar permasalahan ini. Di antaranya dalam hadits-hadits beliau berikut ini:
1. Shahabat ‘Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu berkata:
يَا رَسُوْلَ اللهِ! لاَ نَسْأَلُكَ عَنْ طَاعَةِ مَنِ اتَّقَى، وَلَكِنْ مَنْ فَعَلَ وَفَعَلَ- فَذَكَرَ الشَّرَّ- فَقَالَ: اتَّقُوا اللهَ وَاسْمَعُوا وَأَطِيْعُوا
Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya kepadamu tentang ketaatan (terhadap penguasa) yang bertakwa. Yang kami tanyakan adalah ketaatan terhadap penguasa yang berbuat demikian dan demikian (ia sebutkan kejelekan-kejelekannya).” Maka Rasulullah bersabda: “Bertakwalah kalian kepada Allah, dengarlah dan taatilah (penguasa tersebut).” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitab As-Sunnah, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah Fitakhrijis Sunnah, 2/494, no. 1064)
2. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَكُوْنُ بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ، لاَيَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ، وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِيْ، وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ، قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِيْ جُثْمَانِ إِنْسٍ. قَالَ (حُذَيْفَةُ): قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلأَمِيْرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ!
Akan ada sepeninggalku nanti para imam/penguasa yang mereka itu tidak berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti cara/jalanku. Dan akan ada di antara para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan namun berbadan manusia.” Hudzaifah berkata: “Apa yang kuperbuat bila aku mendapatinya?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hendaknya engkau mendengar dan menaati penguasa tersebut walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu dirampas olehnya, maka dengarkanlah (perintahnya) dan taatilah (dia).” (HR. Muslim dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman, 3/1476, no. 1847)
3. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
شِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهُ! أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لاَ، مَا أَقَامُوا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
Seburuk-buruk penguasa kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian mencaci mereka dan mereka pun mencaci kalian.” Lalu dikatakan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, bolehkah kami memerangi mereka dengan pedang (memberontak)?” Beliau bersabda: “Jangan, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Dan jika kalian melihat mereka mengerjakan perbuatan yang tidak kalian sukai, maka bencilah perbuatannya dan jangan mencabut/meninggalkan ketaatan (darinya).” (HR. Muslim, dari shahabat ‘Auf bin Malik, 3/1481, no. 1855)
Para ulama kita pun demikian adanya. Mereka (dengan latar belakang daerah, pengalaman dan generasi yang berbeda-beda) telah menyampaikan arahan dan bimbingannya yang amat berharga seputar permasalahan ini, sebagaimana berikut:
-Shahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata: “Urusan kaum muslimin tidaklah stabil tanpa adanya penguasa, yang baik atau yang jahat sekalipun.” Orang-orang berkata: “Wahai Amirul Mukminin, kalau penguasa yang baik kami bisa menerimanya, lalu bagaimana dengan yang jahat?” Ali bin Abi Thalib berkata: “Sesungguhnya (walaupun) penguasa itu jahat namun Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap memerankannya sebagai pengawas keamanan di jalan-jalan dan pemimpin dalam jihad…” (Syu’abul Iman, karya Al-Imam Al-Baihaqi juz 13, hal.187, dinukil dari kitab Mu’amalatul Hukkam, karya Asy-Syaikh Abdus Salam bin Barjas hal. 57)
-Al-Imam Ibnu Abil ‘Iz Al-Hanafi berkata: “Adapun kewajiban menaati mereka (penguasa) tetaplah berlaku walaupun mereka berbuat jahat. Karena tidak menaati mereka dalam hal yang ma’ruf akan mengakibatkan kerusakan yang jauh lebih besar dari apa yang ada selama ini. Dan di dalam kesabaran terhadap kejahatan mereka itu terdapat ampunan dari dosa-dosa serta (mendatangkan) pahala yang berlipat.” (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 368)
-Al-Imam Al-Barbahari berkata: “Ketahuilah bahwa kejahatan penguasa tidaklah menghapuskan kewajiban (menaati mereka, -pen.) yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan melalui lisan Nabi-Nya. Kejahatannya akan kembali kepada dirinya sendiri, sedangkan kebaikan-kebaikan yang engkau kerjakan bersamanya akan mendapat pahala yang sempurna insya Allah. Yakni kerjakanlah shalat berjamaah, shalat Jum’at dan jihad bersama mereka, dan juga berpartisipasilah bersamanya dalam semua jenis ketaatan (yang dipimpinnya).” (Thabaqat Al-Hanabilah karya Ibnu Abi Ya’la, 2/36, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah, hal. 14)
-Al-Imam Ibnu Baththah Al-Ukbari berkata: “Telah sepakat para ulama ahli fiqh, ilmu, dan ahli ibadah, dan juga dari kalangan Ubbad (ahli ibadah) dan Zuhhad (orang-orang zuhud) sejak generasi pertama umat ini hingga masa kita ini: bahwa shalat Jum’at, Idul Fitri dan Idul Adha, hari-hari Mina dan Arafah, jihad, haji, serta penyembelihan qurban dilakukan bersama penguasa, yang baik ataupun yang jahat.” (Al-Ibanah, hal. 276-281, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah hal. 16)
-Al-Imam Al-Bukhari berkata: “Aku telah bertemu dengan 1.000 orang lebih dari ulama Hijaz (Makkah dan Madinah), Kufah, Bashrah, Wasith, Baghdad, Syam dan Mesir….” Kemudian beliau berkata: “Aku tidak melihat adanya perbedaan di antara mereka tentang perkara berikut ini –beliau lalu menyebutkan sekian perkara, di antaranya kewajiban menaati penguasa (dalam hal yang ma’ruf)–.” (Syarh Ushulil I’tiqad Al-Lalika`i, 1/194-197)
-Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani berkata: “Di dalam hadits ini (riwayat Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah di atas, -pen.) terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para penguasa dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam), karena di dalam perpecahan terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, juz 13, hal. 120)
Para pembaca yang mulia, dari bahasan di atas dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwasanya:
  1. Shaum Ramadhan merupakan syi’ar kebersamaan umat Islam yang harus dipelihara.
  2. Syi’ar kebersamaan tersebut akan pudar manakala umat Islam di masing-masing negeri bercerai-berai dalam mengawali dan mengakhiri shaum Ramadhannya.
  3. Ibadah yang bersifat kebersamaan semacam ini keputusannya berada di tangan penguasa umat Islam di masing-masing negeri, bukan di tangan individu.
  4. Shaum Ramadhan bersama penguasa dan mayoritas umat Islam merupakan salah satu prinsip agama Islam yang dapat memperkokoh persatuan mereka, baik si penguasa tersebut seorang yang adil ataupun jahat. Karena kebersamaan umat tidaklah mungkin terwujud tanpa adanya ketaatan terhadap penguasa. Terlebih manakala ketentuannya itu melalui proses ru‘yatul hilal di sejumlah titik negerinya dan sidang-sidang istimewa.
  5. Realita membuktikan, bahwa dengan bershaum Ramadhan dan berhari-raya bersama penguasa (dan mayoritas umat Islam) benar-benar tercipta suasana persatuan dan kebersamaan umat. Sebaliknya ketika umat Islam berseberangan dengan penguasanya, suasana perpecahan di tubuh umat pun demikian mencolok. Yang demikian ini semakin menguatkan akan kewajiban bershaum Ramadhan dan berhari-raya bersama penguasa (dan mayoritas umat Islam).
Wallahu a’lam bish-shawab.
 ________________
[1] Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ, وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ, وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
Shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan (waktu) berkurban/ Iedul Adha di hari kalian berkurban.”
[2] Beliau merupakan salah satu ulama yang berpendapat bahwasanya pelaksanaan shaum Ramadhan dan Idul Fithri di dunia ini hanya dengan satu mathla’ saja, sebagaimana yang beliau rinci dalam kitab Tamamul Minnah hal. 398. Walaupun demikian, beliau sangat getol mengajak umat Islam (saat ini) untuk melakukan shaum Ramadhan dan Iedul Fithri bersama penguasanya, sebagaimana perkataan beliau di atas.

Fatwa Ulama Islam Tentang Penentuan Awal Ramadhan dan Ied


Redaksi Buletin Al Atsariyah

Sudah menjadi polemik berkepanjangan di negeri kita, adanya khilaf sepanjang tahun tentang penentuan hilal (awal) bulan Romadhon. Karenanya, kita akan menyaksikan keanehan ketika kaum muslimin terkotak, dan terpecah dalam urusan ibadah mereka. Ada yang berpuasa –misalnya- tanggal 12 September karena mengikuti negeri lain; ada yang puasa tanggal 13 karena mengikuti pemerintah; ada yang berpuasa tanggal 14, karena mengikuti negeri yang lain lagi, sehingga terkadang muncul beberapa versi. Semua ini timbul karena jahilnya kaum muslimin tentang agamanya, dan kurangnya mereka bertanya kepada ahli ilmu. Nah, manakah versi yang benar, dan sikap yang lurus bagi seorang muslim dalam menghadapi khilaf seperti ini? Menjawab masalah ini, tak ada salahnya –dan memang seyogyanya- kita kembali kepada petunjuk ulama’ kita, karena merekalah yang lebih paham agama.

Pada kesempatan ini, kami akan mengangkat fatwa para ulama’ Islam yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta’, yang beranggotakan: Syaikh Abdul Aziz bin Baz (Ketua), Abdur Razzaq Afifiy (Wakil Ketua), Abdullah bin Ghudayyan (staf), Abdullah bin Mani’ (Staf), dan Abdullah bin Qu’ud (Staf). Fatwa berikut ini kami nukilkan dari kitab yang berjudul “Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah”, (hal. 94-), kecuali fatwa Syaikh Nashir Al-Albaniy. 

Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah (no. 10973) 

Soal: ” Ada sekelompok orang yang multazim, dan berjenggot di negeri kami; mereka menyelisihi kami dalam sebagian perkara, contohnya puasa Romadhon. Mereka tak puasa, kecuali jika telah melihat hilal (bulan sabit kecil yang muncul di awal bulan) dengan mata kepala. Pada sebagian waktu, kami puasa satu atau dua hari sebelum mereka di bulan Romadhon. Mereka juga berbuka satu atau dua hari setelah (masuknya) hari raya…”  

Al-Lajnah Ad-Da’imah menjawab:

“Wajib mereka berpuasa bersama kaum manusia, dan sholat ied bersama kaum muslimin di negeri mereka berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- (yang artinya), “Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah (berhari raya) karena melihatnya. Jika ada mendung pada kalian, maka sempurnakanlah jumlah (Sya’ban 30 hari, pen)”.Muttafaqun alaihi [HR. Al-Bukhoriy (1810), dan Muslim (1081)]

Maksudnya disini adalah perintah puasa dan berbuka (berhari raya), jika nyata adanya ru’yah (melihat hilal) dengan mata telanjang, atau dengan menggunakan alat yang membantu ru’yah (melihat hilal) berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- (yang artinya), “(Waktu) Puasa pada hari mereka berpuasa, dan berbuka (berhari raya) pada hari mereka berbuka (berhari raya), dan berkurban pada hari mereka berkurban”.[HR. Abu Dawud (2324), At-Tirmidziy (697), dan Ibnu Majah (1660). Lihat Ash-Shohihah (224)]

Hanya kepada Allah kita meminta taufiq dan semoga Allah memberi sholawat kepada Nabi klta -Shollallahu ‘alaihi wasallam-,keluarga serta para sahabatnya”. 

Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah (no. 313)

Soal: “Kami mendengar dari siaran radio berita permulaan masuknya puasa di Kerajaan Saudi Arabia, di waktu kami tidak melihat adanya hilal di Negeri Sahil Al-Aaj, Guinea, Mali, dan Senegal; walaupun telah ada perhatian untuk melihat hilal. Oleh sebab itu, terjadi perselisihan diantara kami. Maka diantara kami ada yang berpuasa, karena bersandar kepada berita yang ia dengar dari siaran radio, namun jumlah mereka sedikit. diantara kami; Ada yang menunggu sampai la melihat hilal di negerinya, karena mengamalkan firman Allah -Subhanahu wa Ta’la- (yang artinya), “Barang siapa diantara kalian yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”; sabda Nabi –Shollallahu ‘alaihi wasallam- (yang artinya), “Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah (berhari raya) karena melihatnya”. dan sabda Nabi–Shollallahu ‘alaihi wasallam- (yang artinya), “Bagi setiap daerah ada ru’yahnya”. sungguh telah terjadi perdebatan yang sengit antara dua kelompok ini.maka berilah fatwa kepada kami tentang hal tersebut. 

Al-Lajnah Ad-Da’imah menjawab:

“Tatkala orang-orang dahulu dari kalangan para ahli fiqhi berselisih di dalam masalah ini; setiap orang diantara mereka memiliki dalil, maka -jika telah nyata terlihatnya hilal, baik melalui radio, atau yang lainnya di selain tempatmu-, wajib bagi kalian untuk mengembalikan masalah puasa atau tidak kepada penguasa umum (tertinggi) di negara kalian. jika ia (pemerintah) telah memutuskan berpuasa atau tidak, maka wajib atas kalian untuk mentaatinya, karena sesungguhnya keputusan penguasa akan menghilangkan adanya perselisihan didalam masalah seperti ini. Atas dasar ini, pendapat untuk berpuasa atau tidak akan bersatu, karena mengikuti keputusan kepala negara kalian; masalah akhirnya bisa terselesaikan. Adapun kalimat yang berbunyi, “bagi setiap tempat memiliki ru’yah”, ini bukanlah hadits dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-. Itu hanyalah merupakan ucapan kelompok yang menganggap berbedanya matla’ (waktu & tempat munculnya) hilal dalam memulai puasa Ramadhan dan akhirnya.

Hanya kepada Allah kita meminta taufiq dan semoga Allah memberi sholawat kepada Nabi klta –Shollallahu ‘alaihi wasallam-, keluarga serta para sahabatnya”. 

Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah (no. 313)

Soal : Diantara perkara yang tak mungkin untuk melihat hilal dengan mata telanjang sebelum umurnya mencapai 30 jam. Setelah itu, tidak mungkin melihatnya, karena kondisi cuaca. Dengan memandang kondisi seperti ini, apakah mungkin bagi penduduk Inggris untuk menggunakan ilmu falak bagi negeri ini dalam menghitung waktu yang memungkinkan untuk melihat bulan baru (hilal), dan waktu masuknya bulan Romadhon, ataukah wajib bagi kami melihat bulan baru (hilal) sebelum kami memulai puasa Ramadhan yang penuh berkah?

Jawab: “Boleh menggunakan alat-alat pengintai (teropong) untuk melihat hilal; namun tidak boleh bersandar kepada ilmu-ilmu falaq untuk menetapkan awal bulan ramadhan yang suci dan idul fitri, karena sesungguhnya Allah -Subhanahu wa Ta’la- tidak mensyari’atkan bagi kita hal tersebut, baik dalam Kitab-Nya, maupun sunnah Nabi-Nya -Shollallahu ‘alaihi wasallam-. Hanyalah disyariatkan bagi kita untuk menetapkan awal bulan Ramadhan dan akhirnya dengan melihat hilal bulan ramadhan pada awal puasa; Demikian pula melihat hilal Syawwal untuk berbuka dan bersatu dalam melaksanakan sholat idul fitri. Allah –Subhanahu wa Ta’la- telah menjadikan bulan sabit (hilal) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji. Maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk menentukan waktu ibadah dengan cara apapun, selain dengan melihat hilal dari ibadah-ibadah, seperti puasa Ramadhan, hari ‘ied, ibadah haji, puasa untuk kaffarah (tebusan) membunuh, puasa kaffarah zhihar, dan lain sebagainya.

Allah -Ta’ala-’ berfirman (yang artinya), “Barang siapa diantara kalian yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. [(QS. Al-Baqoroh: 185)]

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit (hilal) itu, maka katakanlah, “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia, dan haji”.[(QS. Al-Baqoroh: 189)]

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda (yang artinya), “Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah (berhari raya) karena melihatnya. Jika ada mendung di atas kalian, maka sempurnakanlah jumlah (Sya’ban) 30 hari”.


Berdasarkan hal itu, orang yang tak melihat hilal di tempatnya, baik ketika kondisi cuaca cerah, atau pun cuaca mendung, maka wajib baginya untuk menyempurnakan bilangan hari menjadi 30 hari, jika orang lain di tempat lain tak melihat hilal. Apabila telah nyata bagi mereka terlihatnya hilal di luar negeri mereka, maka harus bagi mereka mengikuti sesuatu yang telah diputuskan oleh pimpinan umum (penguasa tertinggi) yang muslim di negeri mereka tentang bolehnya puasa, dan berhari raya, karena keputusan penguasa dalam masalah seperti ini, akan menghilangkan khilaf diantara para ahli fiqih dalam memandang perbedaan tempat atau tidak”. 

Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah (no. 388)

Soal: “Bagaimana pandangan Islam tentang perbedaan hari raya kaum muslimin: Iedul Fithri, dan Iedul Adhha. Di samping itu, telah diketahui bahwa hal itu bisa mengantarkan kepada pelaksanaan puasa pada hari yang haram puasa padanya, yaitu hari ied; mengantarkan kepada pelaksanaan buka puasa (hari raya) pada hari yang masih wajib berpuasa di dalamnya? Kami mengharapkan jawaban yang memuaskan dalam masalah penting ini agar menjadi hujjah di sisi Allah”.

Jawab: “Jika mereka berselisih dalam perkara yang ada diantara mereka, maka mereka (harus) berpegang dengan keputusan penguasa di negara mereka, jika penguasanya adalah muslim, karena keputusan penguasa ini akan menghilangkan khilaf, dan mengharuskan ummat untuk mengamalkannnya. Jika penguasa bukan muslim, maka mereka harus memegang keputusan Mejelis Islamic Centre di negeri mereka, demi menjaga persatuan dalam puasa mereka di bulan Romadhon, dan pelaksanaan sholat ied di negeri mereka”. 

Fatwa Syaikh Nashir Al-Albaniy -rahimahullah-

Syaikh Nashir Al-Albaniy-rahimahullah- berkata dalam Tamam Al-Minnah (hal. 398-399), “Sampai nanti negeri-negeri Islam bisa bersatu di atas hal itu (puasa & hari raya, ed), maka sesungguhnya sekarang aku memandang wajib bagi rakyat di setiap negara untuk berpuasa bersama negara (pemerintah)nya; tidak berpuasa sendiri-sendiri. Akhirnya, sebagian rakyat berpuasa bersama negara (pemerintah)nya, dan sebagian lagi puasa bersama negara lain”; negara (pemerintah) lebih dahulu berpuasa ataukah terlambat, karena di dalam hal ini terdapat sesuatu yang bisa memperluas perselisihan di sebuah rakyat sebagaimana yang terjadi di sebagian negeri-negeri Arab sejak beberapa tahun yang silam, Wallahul Musta’an”.

Inilah beberapa fatwa ulama kita yang menjelaskan bahwa seorang muslim seharusnya berpuasa dan berhari raya ied bersama pemerintah demi menyatukan langkah. Di lain sisi, ia merupakan jalan Ahlus Sunnah sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam dalam Al-Aqidah Al-Wasithiyyah.
Sumber: Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 30 Tahun I

Untuk Risalah lengkap dengan tulisan Arab, Klik http://almakassari.com/?p=170


Fatwa MUI tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawal & Dzulhijjah

KEPUTUSAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor 2 Tahun 2004
Tentang
PENETAPAN AWAL RAMADHAN, SYAWAL, DAN DZULHIJJAH 
Majelis Ulama Indonesia,
MENIMBANG:
  • (a) bahwa umat Islam Indonesia dalam melaksanakan puasa Ramadan, salat Idul Fitr dan Idul Adha, serta ibadah-ibadah lain yang terkait dengan ketiga bulan tersebut terkadang tidak dapat melakukannya pada hari dan tanggal yang sama disebabkan perbedaan dalam penetapan awal bulan-bulan tersebut;
  • (b) bahwa keadaan sebagaimana tersebut pada huruf a dapat menimbulkan citra dan dampak negatif terhadap syi’ar dan dakwah Islam;
  • (c) bahwa Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pada tanggal 22 Syawwal 1424 H/16 Desember 2003 telah menfatwakan tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah, sebagai upaya mengatasi hal di atas;
  • (d) bahwa oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah dimaksud untuk dijadikan pedoman.

MENGINGAT:

1. Firman Allah SWT (Subhanahu wa Ta’ala), antara lain :
  • (QS Yunus [10]: 5) : Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu…
  • (QS. an-Nisa’ [4]: 59) : Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan ulil-amri di antara kamu.
2. Hadis-hadis Nabi s.a.w. (shallallahu ‘alaihi wa sallam), antara lain :
  • (H.R. Bukhari Muslim dari Ibnu Umar) : “Janganlah kamu berpuasa (Ramadhan) sehingga melihat tanggal (satu Ramadhan) dan janganlah berbuka (mengakhiri puasa Ramadhan) sehingga melihat tanggal (satu Syawwal). Jika dihalangi oleh awan/mendung maka kira-kirakanlah”.
  • (Bukhari Muslim dari Abu Hurairah) : “Berpuasalah (Ramadhan) karena melihat tanggal (satu Ramadhan). Dan berbukalah (mengakhiri puasa Ramadhan) karena melihat tanggal (satu Syawwal). Apabila kamu terhalangi, sehingga tidak dapat melihatnya maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban tiga puluh hari”.
  • (H.R. Bukhari dari Irbadh bin Sariyah) : “Wajib bagi kalian untuk taat (kepada pemimpin), meskipun yang memimpin kalian itu seorang hamba sahaya Habsyi”.
3. Qa’idah fiqh: “Keputusan pemerintah itu mengikat (wajib dipatuhi) dan menghilangkan silang pendapat”.

MEMPERHATIKAN:
  1. Pendapat para ulama ahli fiqh; antara lain pendapat Imam al-Syarwani dalam Hasyiyah al-Syarwani.
  2. Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah, tanggal 22 Syawwal 1424/16 Desember 2003.
  3. Keputusan Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 05 Dzulhijjah 1424/24 Januari 2004.
Dengan memohon ridha Allah SWT
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : FATWA TENTANG PENETAPAN AWAL RAMADHAN, SYAWAL, DAN DZULHIJJAH
Pertama : Fatwa
  1. Penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode ru’yah dan hisab oleh Pemerintah RI cq Menteri Agama dan berlaku secara nasional.
  2. Seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
  3. Dalam menetapkan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Menteri Agama wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam dan Instansi terkait.
  4. Hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirukyat walaupun di luar wilayah Indonesia yang mathla’nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama RI.

Kedua : Rekomendasi

Agar Majelis Ulama Indonesia mengusahakan adanya kriteria penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah untuk dijadikan pedoman oleh Menteri Agama dengan membahasnya bersama ormas-ormas Islam dan para ahli terkait.

Ditetapkan di : Jakarta, 05 Dzulhijjah 1424 H / 24 Januari 2004 M
MAJELIS ULAMA INDONESIA,
KOMISI FATWA,

Ketua: KH. Ma’ruf Amin Sekretaris: Hasanudin
Sumber: Fatwa Majelis Ulama Indonesia


Diarsipkan: www.faisalchoir.blogspot.com


http://faisalchoir.blogspot.com/2012/07/inilah-alasan-mengapa-harus-memulai.html

Membongkar Paham-paham Menyimpang Dari Islam


(disampaikan dalam kajian bulanan di Masjid Jami’ al-Sofwa Lenteng Agung Barat Jakarta, Ahad 12 Jakarta 2011)


الحمد لله و الصلاة و السلام على رسول الله و بعد :
(( افترقت اليهود على إحدى أو اثنتين وسبعين فرقة ، وتفرقت النصارى على إحدى أو اثنتين وسبعين فرقة ، وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة كلها في النار إلا واحدة))
رواه أبو داود (4596) عن أبي هريرة ، وصححه شيخنا الألباني في صحيح أبي داود(3842 .
rوصح عنه تعيين هذه الطائفة تعييناً لا يدع مجالاً للبس ، بقوله لما سئل عنها : (( هي ما أنا عليه وأصحابي )) [أخرجه الطبراني في المعجم الصغير (724)عن أنس بن مالك ، وصححه لغيره شيخنا الألباني في الصحيحة (204)] .
وقال العلامة الألباني:( فقد تبين بوضوح أن الحديث ثابت لا شك فيه, و لذلك تتابع العلماء خلفا عن سلف على الاحتجاج به حتى قال الحاكم في أول كتابه ” المستدرك ” : ” إنه حديث كبير في الأصول ” و لا أعلم أحدا قد طعن فيه، إلا بعض من لا يعتد بتفرده و شذوذه،أمثال الكوثري

Kajian ini bisa juga diberi judul Membongkar Faham Dan Aliran-Aliran Sesat Di Indonesia. Saat ini aliran-aliran serta paham-paham sesat dan menyimpang sedang tumbuh subur dan berkembang di Indonesia. Belum selesai masalah satu aliran sudah aliran yang baru. Dalam tempo singkat, dari tahun 2001 hingga 2007 telah tercatat ada 250 aliran sesat, dan yang 50 muncul di Jawa Barat, menurut KH Hasyim Muzadi, Ketua Umum NU (Nahdlatul Ulama, waktu itu) (info dari Acara Mata Rantai di ANTV pada pekan awal November 2007, pukul 23.00 WIB, seperti dikutip Majalah Qiblati, edisi 03 tahun III, Desember 2007/ Dzulqa’dah 1428H halaman 11).

A. Bahaya Aliran Sesat
Selain merusak akidah, memecah belah Agama, dan mengundang murka Allah di dunia dan akhirat, aliran-aliran ini merusak tatanan sosial, merusak hubungan keluarga, merusak persatuan umat, merusak cara berpikir masyarakat dan prilaku masyarakat. Bahkan ada yang membahayakan Negara.
Para ulama umumnya dan MUI khususnya telah banyak menghabiskan tenaga, waktu, pikiran, dan bahkan dana untuk meluruskan dan mengatasi masalah ini. Sehubungan dengan mudarat yang ditimbulkan aliran dan paham sesat ini, pemerintah umumnya, dan Presiden SBY khususnya telah menyatakan dukungannya terhadap fatwa-fatwa MUI dan menyatakan bahwa fatwa Agama hanya bisa dikeluarkan oleh MUI[1]. Karena itu, tanggung jawab MUI khususnya dan tanggung jawab para ulama dan dai umumnya semakin besar dalam masalah ini. Jika selama ini, MUI dan para ulama mengurusi dan mengeluarkan fatwa terhadap berbagai aliran sesat berdasarkan tanggung jawab sebagai ulama memelihara dan menjaga kesucian agama serta memelihara akidah umat, maka ke depan, MUI dan para ulama mengurusi aliran dan paham sesat juga menjadi tanggung jawab membangun bangsa dan menindaklanjuti harapan pemerintah.

Kepedulian pemerintah terhadap masalah Agama ini –yang memang sudah menjadi tanggung jawabnya du dunia dan akhirat- harus disambut dengan sungguh-sungguh karena menyangkut pemeliharaan Agama. Diharapkan Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) di Kejaksaan yang sudah lama kurang aktif dapat diberdayakan bekerja sama dengan MUI dan Kepolisian. Dalam upaya meredam, membendung, dan mengantisipasi muncul dan berkembangnya aliran dan paham sesat, masyarakat perlu dibekali dengan pengetahuan tentang kriterianya, indikasi awal yang mencurigakan dan langkah-langkah membendungnya.

B. Akar Aliran Sesat

Syekh Shaleh al-Fauzan menjelaskan[2] akar aliran sesat secara berurutan adalah

1. Qadariyyah (nufat)
  • Ingkat taqdir rukun iman ke-6 (berhadapan dengan Jabariyyah: hamba itu majbur dalam perbuatannya tanpa ada ikhtiyar)
  • Qadariyyah pecah menjadi banyak
2. Khawarij
  • Khuruj ‘ala ulil amri adalah agama
  • Takfir sahabat
  • Takfir pelaku dosa besar
  • Pelaku dosa besar kekal di neraka
  • Khawarij pecah menjadi banyak (Haruriyyah, Azariqah, Ibadhiyyah, Najdat, Shafaroyyah dll)
3. Syiah
  • Ali washi dan khalifah Rasulillah
  • Khulafa` rasyidin zhalim mengghashab khilafah
  • Ghuluw dalam imam ahlul bait hingga diberi hak tasyri’ dan menasakh hukum
  • Membangun kuburan imam dan melakukan thawaf serta nadzar dan istighatsah kepada yang dikubur disana
  • Meyakini mushhaf Usman ini qur`ab yang muharraf
  • Pecah menjadi banyak (Zaidiyyah, Rafidhah, Ismailiyyah, Fathimiyyash, qaramithah dll)
فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ.

4. Jahmiyyah[3]
  • Jahm ibn Shafwan, dari Ja’d, dari, Thaluth, dari Labid Ibn al-a’sham al-Yahudi)
  • Mengingkari nama dan sifat Allah, karena jika menetapkan maka itu syirik, berarti tuhan itu banyak (tajahhum dalam asma sifat).
فلا يلزم من تعدد الأسماء والصفات تعدد الآلهة ، ولهذا لما قال المشركون من قبل لما سمعوا النبي – صلى الله عليه وسلم – يقول : ( يا رحمن ، يا رحيم ) . قالوا : هذا يزعم أنه يعبد إلهًا واحدًا ، وهو يدعو آلهةً متعددةً ، فأنزل الله – سبحانه وتعالى – قوله : ( قُلِ ادْعُوا اللهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى ) . [ الإسراء : 110 .

  • Jabr dalam takdir
  • Irja` dalam iman
  • Ditambah: Khalqul qur`an
قال ابن القيم : ( جِيْمٌ وجِيْمٌ ثُمَّ جِيْمٌ مَعْهُمَا ... مَقْرُونَةً مَعْ أَحْرُفٍ بِوِزَانِ ... جَبْرٌ وإِرْجَاءٌ وَجِيْمُ تَجَهُّمٍ ... فَتَأَمَّلِ المجمُوعَ في الْمِيْزَانِ ... فَاحْكُمْ بِطالِعِها لِمَنْ حَصُلَتْ ... بخلاصِـهِ مِنْ رِبْقَةِ الإيمانِ.

- Maka Syekh Fauzan berkata:
يعني : جمعوا بين " جبر " و " تجهُّم " و " إِرجاءٍ " ، ثلاث جيمات ، والجيم الرابعة جيم جهنم .


  • Kemudian muncul dari padanya Mu'tazilah, lalu Asy'ariyyah dan Maturidiyyah.


5. Mu'tazilah
  • Menetapkan nama Allah mengingkari sifat Allah
  • Pelaku dosa besar tidak mukmin tidak kafir
يا سبحان الله ! هل يعقل أن الإنسان لا يكون مؤمنًا ولا كافرًا !؟
والله - تعالى - يقول : ( هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ فَمِنْكُمْ كَافِرٌ وَمِنْكُمْ مُؤْمِنٌ ) . ما قال : ومنكم من هو بالمنزلة بين المنزلتين . لكن هل هؤلاء يفقهون !؟


  • Pelaku dosa besar kekal di neraka

6. Asya'irah
  • Nisbat kepada imam Abul Hasan al-Asy'ari yang tadinya mu'tazilah, kemudian taubat mengikuti kepada sunnah mengikuti jejak Abdullah ibn Said ibn Kullab (Kullabiyah) yaitu menetapkan 7 sifat saja dan menolak yang lain karena akal tidak menunjukkan kepadanya:
"العلم"، و "القدرة"، و "الإرادة"، و"الحياة"، و"السمع"، و"البصر"،و"الكلام -
  • Kemudian Imam abul Hasan dikaruniai hidayah oleh Allah untuk mengikuti Imam Ahmad Radhiallahu ‘Anhu (madzhab ahli hadits). Dia berkata (dalam al-Ibanah 'an Ushul al-Diyanah dan Maqalat al-Islamiyyin wakhtilaf al-Mushallin) bahwa dia mengikuti Imam Ahmad dan ahli hadits meskipun masih ada sisa mukhalafat[4]. Dia berkata:
( أنا أقول بما يقول به إمام أهلِ السنة والجماعة أحمد بن حنبل : إن الله استوى على العرش ، وإن له يدًا ، وإن له وجهًا )
  • Akan tetapi banyak pengikutnya masih mengikuti madzhab Kullabiyyah; madzhab awal imam Asy’ari yang sangat terkenal. Adapun setelah rujuknya imam Asy’ari ke ahlussunnah ahli hadits maka menisbatkan madzhab ini ke beliau adalah satu kezhaliman.
    Oleh karena itu saya menulis buku: abul Hasan al-Asy’ari imam yang terzhalimi.



هذه – تقريبًا – أصول الفرق على الترتيب :
أولاً :”القدرية ثم :”الشيعةثم:”الخوارجثم : “الجهمية .
هذه أصول الفرق . وتفرقت بعدها فرق كثيرة لا يحصيها إلا الله ، وصنفت في هذا كتب ، منها :
كتاب : ” الفَرْق بين الفِرَق ” للبغدادي .
كتاب : ” المِلل والنِّحَل ” لمحمد بن عبد الكريم الشهرستاني .
كتاب : ” الفِصَل في المِلل والنِّحَل ” لابن حزم .
كتاب : ” مقالات الإسلاميين واختلاف المصلين ” لأبي الحسن الأشعري .


C. Kriteria Sesat
Dalam rangka upaya menangkal dan menghentikan aliran sesat serta menyadarkan para pengikutnya agar kembali ke jalan yang benar, maka para ulama menetapkan kriteria kapan seseorang atau faham atau kelompok disebut sesat keluar dari Firqah Najiyah menjadi Firqah Nariyyah. Antara lain:
Imam Syathibi[5]:

-إما أن تفارق أهل السنة في أصل كبير، كالقدر أو الإيمان أو الإمامة أو غيرها من الأصول الكبرى[6].
- أو تفارقهم في فروع كثيرة، بحيث تعد خارجة عن جادة السلف في تلك الفروع[7]


Imam Ibn Taimiyyah[8]:
- من وقع في إحدى البدع الكبرى الخمس فهو خارج عن دائرة أهل السنة والجماعة،
- من خالف الكتاب المستبين والسنة المستفيضة أو ما أجمع عليه سلف الأمة خلافا لا يعذر فيه فهذا يعامل بما يعامل به أهل البدع
- وكذلك من وقع في خطأ صغير لكنه والى وعادى عليه ( أي تحزب عليه ) فهذا أيضا يخرج عن دائرة أهل السنة والجماعة .



Majelis Ulama Indonesia
Adapun MUI Pusat maka menetapkan dan mengumumkan Pedoman Identifikasi Aliran Sesat pada tanggal 6 Nopember 2007.


Dalam pedoman ini dinyatakan: Suatu faham atau aliran dinyatakan sesat apabila memenuhi salah satu dan kriteria berikut[9]:
  1. Mengingkari salah satu rukun iman yang 6 (enam) yakni beriman kepada Allah, kepada Malaikat-Nya kepada kitab-kitab-Nya, kepada Rasul-Rasul-Nya, kepada hari Akhirat, kepada Qadla dan Qadar, dan rukun Islam yang 5 (lima) yakni mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, menunaikan ibadah haji.
  2. Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syar’i (Al-Qur`an dan as-Sunnah),
  3. Meyakini turunnya wahyu setelah Al-Quran,
  4. Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Al-Quran,
  5. Melakukan penafsiran Al-Quran yang tidak berdasarkan kaedah-kaedah tafsir,
  6. Mengingkari kedudukan Hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam,
  7. Menghina, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul,
  8. Mengingkari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai Nabi dan Rasul terakhir,
  9. Mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariat, seperti haji tidak ke Baitullah, shalat fardu tidak lima waktu,
  10. Mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar’i, seperti mengakafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya[10].
Begitu jelasnya kriteria ini, namun masih ada saja yang berusaha memanfaatkan kebodohan masyarakat dengan mengaburkannya dan mengganti kriteria ini dengan kriteria yang justru malah sesat. Misalnya ada yang mengatakan kepada masyarakat bahkan di forum ilmiah bahwa kriteria faham dan aliran sesat atau sempalan adalah faham atau aliran yang menyimpang dari ordo-ordo keagamaan yang ada di masyarakat. Jika MUI menjadikan Islam (al-Qur`an dan Sunnah Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) sebagai mainstream dan yang menyimpang disebut sesat, maka orang ini menjadikan tradisi keagamaan masyarakat sebagai ukuran sesat dan tidaknya. Oleh karena itu harus waspada dari orang yang jahil atau yang ingin merusak.

Di antara kriteria sesat yang sempat menggegerkan adalah pengakuan menjadi nabi, menerima wahyu, dan kedatangan Malaikat Jibril. Lia Eden di Jakarta, Ahmad Mushaddeq di Bogor, Jawa Barat, dan seorang oknum kepala SD di Kabupaten Bungo, Jambi semuanya mengaku nabi. Bahkan di awal September 2007, Madiun digegerkan dengan munculnya seorang “nabi” baru, Rusmiyati binti Sawabi Sastrawiharja (51), yang mengaku sebagai nabi, ratu adil, juru selamat dan wanita yang mendapat petunjuk dari langit.

Ahmad Moshaddeq dari Betawi (Jakarta) yang mengaku dirinya nabi dan mengganti Syahadat Rasul menjadi “wa asyhadu anna al-Masih al-maw’ud rasulullah”, dan aku bersaksi bahwa al-Masih yang dijanjikan adalah Rasul Allah. Pengikut nabi palsu itu diklaim sebanyak 41.000 orang di berbagai kota, terutama mahasiswa dan anak-anak muda. Padahal aliran itu baru mulai sejak 1999, dan mengaku nabi itu baru sejak 2006, secara sembunyi-sembunyi, kemudian pertengahan tahun 2007 secara terang-terangan.

Nabi palsu ini tidak mewajibkan shalat 5 waktu[11], hanya menyuruh shalat malam saja. Alasannya karena masih periode Makkah, jadi belum wajib shalat 5 waktu. Karuan saja orang yang tadinya ogah-ogahan shalat merasa mendapatkan tempat, bagai pucuk dicinta ulam tiba. Maka tak mengherankan, ketika Sang Nabi Palsu itu menyatakan taubat 9 November 2007, justru sebagian pengikutnya menyatakan tetap tidak mau bertaubat.

D. Pembela Faham Dan Aliran Sesat
Sudah menjadi sunnatullah, dan bagian dari fitnah, setiap ada kesesatan ada saja yang mengikuti dan membela. Dalam islam pembela kesesatan dosanya dengan pelaku kesesatan. Di Indonesia pendukung aliran-aliran sesat itu selalu ditengarahi sebagai orang yang berfaham liberalis dan pluralis[12].

Namun ada yang aneh, tidak semua aliran sesat mereka bela, yaitu aliran yang masih dianggap membawa semangat Islam atau yang mereka sebut kaum radikal seperti Khawarij dan NII. Akan tetapi jika aliran sesat itu tidak mengusung semangat islam seperti Ahmadiyyah, kaum sekularis dan Nabi Palsu Ahmad Mushadiq maka mereka membelanya. Dan lebih aneh lagi para pendukung (bukan pengikut) nabi palsu itu masih saja mendukung nabi palsu, untuk meneruskan “perjuangannya” sebagai nabi palsu walau Sang Nabi Palsu sendiri telah bertaubat.

Menurut Ustadz Hartono Ahmad Jaiz, Keanehan itu sampai kadang tak masuk akal. Misalnya, Abdul Moqsith Ghazali, dari UIN (Universitas Islam Negeri) Jakarta yang dikenal sebagai tokoh JIL (Jaringan Islam Liberal) ketika berdialog dengan Ketua Komisi Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) Dr Anwar Ibrahim di Metro TV 29 November 2007 malam, Moqsith bilang mengakui Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam nabi terakhir. Tetapi Moqsith menolak bila Ahmad Moshaddeq yang mengaku sebagai nabi baru lagi itu difatwakan oleh MUI sebagai sesat. Dan Moqsith menolak pula ketika hari itu Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta mengeluarkan keputusan pelarangan terhadap Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang dipimpin oleh Ahmad Moshaddeq untuk wilayah DKI Jakarta. Sikap Moqsith Ghazali ini sangat tak masuk akal yang waras. Kecuali kalau memang dia tidak percaya bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam nabi terakhir; maka penolakannya terhadap Fatwa MUI dan keputusan pelarangan oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta itu baru masuk akal, karena untuk membela keyakinan batilnya yang jelas-jelas melawan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang telah menegaskan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam penutup para nabi (QS. Al-Ahzab [33] : 40), tidak ada sama sekali nabi sesudahnya.

E. Indikasi Awal Aliran Sesat
Sebagai indikasi awal yang selayaknya menimbulkan kecurigaan terhadap satu paham atau pengajian bisa melalui tanda-tanda berikut :
  • Pengajian dilaksanakan secara rahasia-rahasia, tertutup kepada selain jamaahnya. Sebagiannya melakukan pengajian tengah malam sampai subuh dan tempatnya pun sangat terisolir.
قال عمر بن عبد العزيز ( إذا رأيت قوما يتناجون في دينهم بشيء دون العامة فاعلم أنهم على تأسيس ضلالة )
  • Gurunya tidak dikenal sebagai ahli Agama, tidak pernah menekuni ilmu agama, dan tidak dikenal sebagai orang yang rajin beribadah, tetapi tiba-tiba menjadi pengajar Agama.
  • Adanya bai’at atau mitsaq untuk taat pada guru atau pimpinan pengajian. Bahkan, ada janji yang harus ditandatangani oleh anggota pengajian tersebut.
  • Cara ibadah yang diajarkan aneh dan tidak lazim.
  • Adanya tebusan dosa dengan sejumlah uang yang diserahkan kepada guru atau pimpinan jamaah. Kadang-kadang, pengajian sesat ini mengharuskan adanya sedekah lebih dahulu sebelum berkonsukltasi dengannya.
  • Adanya penyerahan sejumlah uang, seperti Rp 300.000, dan orang yang menyerahkannya pasti masuk sorga. Adanya sumbangan yang tidak lazim sebagaimana layaknya sumbangan sebuah pengajian. Misalnya, 10% atau 5% dari penghasilan harus diserahkan kepada guru atau pimpinan pengajian.
  • Pengajiannya tidak mempunyai rujukan yang jelas, hanya penafsiran-penafsiran gurunya saja.
  • Pengajiannya tidak memakai Hadis Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sumber ajaran hanya Al-Quran dengan penafsiran dan pemahaman guru yang ditetapkan oleh pengajian dan tidak boleh belajar kepada ustadz lain.

F. Faktor-faktor Menjadi Sesat dan menyuburkan faham dan aliran sesat
  • Kelainan jiwa atau stress merupakan salah satu faktor yang membawa seseorang mengaku berhubungan dengan Jibril, Tuhan, makhluk dan alam gaib. Faktor materi telah membuat banyak orang sesat. Dengan berpura-pura bermaksud untuk memperbaiki keadaan serta memolesnya dengan bahasa Agama, seperti menawarkan pentingnya jihad dan pengorbanan material untuk merealisasikan cita-cita ideal, atau menawarkan kesembuhan, kesaktian, kekayaan dan keselamatan seorang bisa mendapat simpati dan dukungan dari orang yang memang merindukannya.
    Semakin banyak yang tertarik dan mendukungnya, ia pun terus mengembangkan konsep-konsepnya. Setelah pendukungnya sampai mengkultuskannya, ia pun menklaim macam-macam, termasuk klaim mendapat wahyu dan bahkan klaim diangkat Tuhan menjadi nabi. Kelangkaan ulama panutan dan berwibawa yang benar-benar ahli Agama, pengamal Agama, dan pembela Agama merupakan faktor lain menyebabkan pikiran orang yang lemah iman menjadi liar.
  • Intervensi dari luar pun tidak mustahil untuk untuk tujuan mendangkalkan akidah umat, mengaburkan ajaran Agama, dan memecah belah umat Islam. Seperti komunis tetap merupakan bahaya laten yang pada saat tertentu menyusup ke dalam masyarakat dengan baju agama. Demikian juga pihak-pihak yang tidak menginginkan Islam dan bangsa ini bersatu dan kuat.
  • Kebodohan terhadap ajaran Islam adalah faktor dominan membuat orang bisa masuk dan mengikuti aliran sesat.
  • Dari sisi lain, faktor ekonomi juga telah berhasil membuat orang berpindah agama, apalagi sekadar mengikuti paham yang menyimpang.
  • Di antara yang menambah kesuburan tanah nusantara bagi pertumbuhan aliran sesat –menurut Ustadz Hartono Ahmad Jaiz- adalah kondusifnya keadaan negeri ini bagi aliran sesat[13], terutama adalah karena sikap para pemimpin sudah diketahui secara umum bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak konsisten, tidak istiqomah, atau bahasa kasarnya plintat-plintut . Mari kita ambil contoh:
1. Para pemimpin di pemerintahan tampak tidak konsisten dalam menangani aliran sesat. Kenyataannya, aliran sesat Islam Jama’ah telah dilarang oleh Kejaksaan Agung tahun 1971, dan disebut, Islam Jama’ah dan dengan nama apapun yang serupa, dilarang di seluruh wilayah Indonesia. Namun kenyataannya, menurut penelitian Badan Litbang (Penelitian dan Pengembangan) Departemen Agama, bahwa Islam Jama’ah itu kemudian berganti nama menjadi Lemkari, kemudian ganti nama lagi menjadi LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia), namun justru berkembang dan dibiarkan saja oleh pemerintah. (Lihat Buku Bahaya Islam Jama’ah, Lemkari, LDII, terbitan LPPI Jaklarta). Pelarangan Islam Jama’ah dengan nama apapun dari Jaksa Agung tahun 1971: Surat Keputusan Jaksa Agung RI No: Kep-089/D.A./10/1971 tentang: Pelarangan terhadap Aliran- Aliran Darul Hadits, Djama’ah jang bersifat/beradjaran serupa. Menetapkan:
  • Pertama: Melarang aliran Darul Hadits, Djama’ah Qur’an Hadits, Islam Djama’ah, Jajasan Pendidikan Islam Djama’ah (JPID), Jajasan Pondok Peantren Nasional ( JAPPENAS), dan aliran-aliran lainnya yang mempunyai sifat dan mempunjai adjaran jang serupa itu di seluruh wilajah Indonesia.
  • Kedua: Melarang semua adjaran aliran- aliran tersebut pada bab pertama dalam keputusan ini jang bertentangan dengan / menodai adjaran-adjaran Agama. Ketiga: Surat Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan: Djakarta pada tanggal: 29 Oktober 1971, Djaksa Agung R.I. tjap. Ttd (Soegih Arto).
2. Pembiaran itu bukan hanya terhadap aliran sesat yang sudah pernah dilarang. Aliran sesat yang sudah difatwakan sesatnya oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) bahkan fatwanya sudah sampai dua kali, seperti Ahmadiyah (difatwakan sesat menyesatkan oleh MUI sampai dua kali yaitu tahun 1980 dan tahun 2005), namun pihak pemerintah masih diam saja. Tidak ada larangan secara nasional, walau kasus bentrokan antara umat Islam dengan orang Ahmadiyah sudah terjadi berkali-kali dan di mana-mana. Sikap pemerintah yang diam saja[14] seperti ini mengakibatkan aneka keresahan bagi umat Islam, tetapi sebaliknya, merupakan angin baik bagi aliran-aliran sesat ataupun orang-orang yang ingin memunculkan aliran sesat.

Lambannya pemerintah dalam menangani aliran sesat itu, berakibat buruk lagi ketika justru berbalik mempersoalkan dampak. Misalnya, ketika sejumlah umat Islam mempersoalkan tempat-tempat ibadah orang Ahmadiyah di Kuningan Jawa Barat yang sudah disegel Pemda setempat kemudian ternyata tetap dipakai oleh orang Ahmadiyah, maka umat Islam beraksi, diantaranya mengakibatkan sebagian kaca bangunan dan sebagainya rusak. Bentrokan itu terjadi Selasa (18/12 2007) antara seribuan massa Gabungan Umat Islam Indonesia (GUII) dengan warga Ahmadiyah di Desa Manis Lor, Jalaksana, Kuningan, Jawa Barat. Kampung Manis Lor memang merupakan basis pengikut aliran Ahmadiyah di kawasan Kuningan Jawa Barat. Jumlah mereka sampai ribuan orang.[15] Buru-buru orang-orang yang tak bertanggung jawab secara agama malah mempersoalkan keras tentang tindakan umat Islam yang hanya merupakan dampak kecil dari semangat mempertahankan Islam yang sudah diacak-acak oleh Ahmadiyah dengan nabi palsu mereka.[16]

Namun di sini (Indonesia), justru yang hanya merusak kaca dan hanya sebagai akibat mempertahankan Islam dari perusakan yang jelas dilakukan Ahmadiyah, malah yang bereaksi itu yang dipermasalahkan. Gus Dur –waktu masih hidup dulu- dengan anak buahnya pun mengerahkan pembelaan terhadap Ahmadiyah pengacak-acak Islam itu. Ini aneh. Dia dikenal sebagai tokoh Ormas Islam namun lebih rela mengerahkan wadyabala untuk menegakkan kekafiran dan melawan Islam.
Maka MUI (Majelis Ulama Indonesia) pun bertandang ke Kejaksaan Agung, Jum’at (28/12 2007), dengan membawa fatwa tentang sesatnya Ahmadiyah dan bukti-buktinya, bahkan bukti secara internasional.

Sementara itu pihak Kejaksaan Agung berjanji akan menentukan sikap tentang status Ahmadiyah pada Januari 2008, setelah sebelumnya Al-Qiyadah Al-Islamiyah pimpinan Nabi Palsu Ahmad Moshaddeq dilarang secara nasional di seluruh Indonesia oleh Pakem (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) Kejaksaan Agung 11 November 2007. Pelarangan itu menyusul keputusan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dan DIY (Yogyakarta) yang sebelumnya juga telah mengeluarkan pelarangan. Al-Qiyadah resmi dinyatakan sesat karena mengaku Islam tapi tidak mengakui Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasul terakhir. (Republika, Ahad 30 Desember 2007, halaman B12/ B1).

Pelarangan itu di antaranya setelah keluarnya Fatwa MUI 3 Oktober 2007 tentang sesatnya Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang dipimpin Ahmad Moshaddeq yang mengaku dirinya nabi. Dalam jangka sebulan setelah keluarnya fatwa MUI, ternyata sudah ada larangan-larangan secara local maupun kemudian secara nasional terhadap Al-Qiyadah. Ini membuktikan, sebenarnya penguasa itu bisa dan mampu melarang aliran sesat yang sudah difatwakan oleh MUI.

Namun anehnya, sejumlah aliran yang telah difatwakan sesat oleh MUI, bahkan fatwanya itu bukan hanya oleh MUI Pusat secara dalam acara Munasnya atau bahkan Musyawarah Ulama Nasional, atau bahkan seperti Ahmadiyah itu difatwakan sesatnya oleh MUI sudah dua kali, tahun 1980 dan 2005, namun pihak pemerintah ataupun penguasa masih mendenges saja dalam arti belum juga mengeluarkan larangan. Bahkan ada yang lebih ironis lagi, aliran sesat yang sudah dilarang yaitu Islam Jama’ah kemudian dipelihara dan dipersilakan ganti-ganti baju atau ganti nama. Maka keluar pula rekomendasi MUI. MUI dalam Musyawarah Nasional VII di Jakarta, 21-29 Juli 2005, merekomendasikan bahwa aliran sesat seperti LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) dan Ahmadiyah agar ditindak tegas dan dibubarkan oleh pemerintah karena sangat meresahkan masyarakat.

3. “Hal-hal yang dipelihara” itu bukan hanya aliran sesat, tetapi ada juga yang lain-lain. Di antaranya perjudian, pelacuran, pornografi dan semacamnya. Sebenarnya pemerintah atau penguasa kalau mau memberantasnya, hal-hal itu, sampai aliran-aliran sesat pun bisa diberantas. Sedangkan PKI yang jelas-jelas merupakan partai yang besar, termasuk 4 besar dalam pemilu pertama 1955 pun bisa diberantas sejak 1966, apalagi yang hanya aliran sesat, perjudian, pelacuran, pornografi dan sebagainya. Tetapi masalahnya, kalau itu semua diberantas, lantas apa yang jadi bahan “mendiamkan” umat Islam bila ada gesekan antara penguasa ataupun pemerintah dengan umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk ini?

Ketika aliran sesat, pelacuran, perjudian, dan pornografi itu dipelihara, kan nantinya ketika mau merayu umat Islam, apalagi kalau ada gesekan, untuk dijinakkannya umat Islam ini kan sangat mudah bila dengan pura-pura menggebug aliran sesat, menggebug perjudian, pelacuran, pornografi dan semacamnya. Umat Islam secara serempak mendukung pemerintah atau penguasa, dan tercapailah apa yang dimaksud oleh penguasa dan pemerintah, tanpa menghabiskan energi, bagai memberi permen kepada anak kecil sudah cukup.

4. Sebagian tokoh Islam justru memberi peluang kepada kesesatan. Kadang bahkan dukungan terhadap kesesatan itu secara organisatoris, sedang organisasinya cukup besar. Di saat Ahmadiyah difatwakan oleh MUI bahwa sesat menyesatkan, di luar Islam, dan pengikutnya itu murtad; maka sejumlah orang yang mengaku dirinya Muslim, bahkan tokoh, ternyata bangkit untuk membela Ahmadiyah, LDII, Sepilis (Sekulerisme, Pluralisme Agama, dan Liberalisme) dengan cara membantah fatwa MUI.

G. Daftar aliran sesat / sempalan di indonesia.
Berikut ini aliran sesat, 14 yang pertama adalah putusan Mui sejak 1971 hingga 2007, kemudian kita lengkapi dengan tulisan bapak Amin Djamaluddin ketua LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam) yang juga anggota Komisi Pengkajian dan Pengembangan di MUI (Majelis Ulama Indonesia) hingga no. 25, selebihnya adalah dari sumber lain..
  1. Syiah
    Majelis Ulama Indonesia dalam Rapat Kerja Nasional bulan Jumadil Akhir 1404 H./Maret 1984 merekomendasikan tentang faham Syi’ ah
    sebagai berikut :
    Faham Syi’ah sebagai salah satu faham yang terdapat dalam dunia Islam mempunyai perbedaan-perbedaan pokok dengan mazhab Sunni (Ahlus Sunnah Wal Jamm’ah) yang dianut oleh Umat Islam Indonesia. Perbedaan itu diantaranya:
    • Syi’ah menolak hadis yang tidak diriwayatkan oleh Ahlu Bait, sedangkan ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak membeda-bedakan asalkan hadits itu memenuhi syarat ilmu mustalah hadis.
    • Syi’ah memandang “Imam” itu ma ‘sum (orang suci), sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah memandangnya sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kekhilafan (kesalahan).
    • Syi’ah tidak mengakui Ijma’ tanpa adanya “Imam”, sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ ah mengakui Ijma’ tanpa mensyaratkan ikut sertanya “Imam”.
    • Syi’ah memandang bahwa menegakkan kepemimpinan/pemerintahan (imamah) adalah termasuk rukun agama, sedangkan Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) memandang dari segi kemaslahatan umum dengan tujuan keimamahan adalah untuk menjamin dan melindungi da’wah dan kepentingan ummat.
    • Syi’ah pada umumnya tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar as-Siddiq, Umar Ibnul Khatab, dan Usman bin Affan, sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengakui keempat Khulafa’ Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bin Abi Thalib).
    • Mengingat perbedaan-perbedaan pokok antara Syi’ah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah seperti tersebut di atas, terutama mengenai perbedaan tentang “Imamah” (Pemerintahan)”, Majelis Ulama Indonesia menghimbau kepada ummat Islam Indonesia yang berfaham Ahlus Sunnah wal Jama’ah agar meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya faham yang didasarkan atas ajaran Syi’ah.[17]
     
  2. Ahmadiyyah Qadyaniyyah
    • Pendiri : Mirza Ghulam Ahmad
    • Aktif : Sejak 1889 di Pakistan, masuk Indonesia 1924.
    • Menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi.
    • Ditetapkan sebagai Jama’ah di luar Islam dalam Munas II 1980, Munas VII 2005
     
  3. Islam Jamaah
    • Pendiri : Nur Hasan Ubaidah
    • Aktif : 1970-an
    • Dilarang pemerintah pada 1971
    • Aliran ini berubah nama menjadi Lemkari dan Lembaga Dakwah Islamiyah Indonesia (LDII) pada 1991
    • Menganggap musyrik umat di luar Islam Jamaah
    • Pakaian dan tubuh yang tersentuh umat lain harus disucikan.
    • Tidak mau shalat bersama umat di luar kelompok
     
  4. Darul Arqam
    Fatwa MUI tahun 1994 mendukung sepenuhnya Keputusan MUI Daerah Istimewa Aceh, MUI tingkat I Sumsel, MUI tingkat I Riau diperkuat dalam silaturrahim Nasional di Pekan Baru 1994 yang intinya Darul Arqam adalah ajaran yang menyimpang dari aqidah Islam.
  5. Aliran Yang Menolak Sunnah / Hadits Rasul
    Fatwa tahun 1983 menyatakan aliran ini adalah sesat dan menyesatkan dan berada di luar Agama Islam.
  6. Jama’ah Khalifah Dan Baiat
    Fatwa 1987 menyatakan bahwa di kalangan umat Islam ada keyakinan dan pemahaman agak menyimpang, seperti wajib hukumnya baiat kepada Imam Jamaah Muslimin Hizbullah.
  7. Pendangkalan Agama Dan Penyalahguanaan Dalil
    Fatwa tahun 1980, setiap usaha pendangkalan agama dan penyalahgunaan dalil-dalil adalah merusak kemurnian dan kemantapan hidup beragama. Oleh akrena itu MUI bertekad menanganinya secara serius dan terus menerus.
  8. Malaikat Jibril Mendampingi Manusia
    Fatwa tahun 1997 : MEMUTUSKAN
    Memfatwakan :

    Doa Keyakinan atau akidah tentang malaikat, termasuk malaikat Jibril, baik mengenai sifat dan tugasnya harus didasarkan pada BIDANG AQIDAH DAN ALIRAN KEAGAMAAN HIMPUNAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA 75 keterangan atau penjelasan dari wahyu (Al-Qur’an dan Hadis). Tidak ada satupun ayat maupun hadis yang menyatakan bahwa malaikat Jibril masih diberi tugas oleh Allah untuk menurunkan ajaran kepada umat manusia, baik ajaran baru atau ajaran yang bersifat penjelasan terhadap ajaran agama yang telah ada. Hal ini karena ajaran Allah telah sempurna. Pengakuan seseorang bahwa dirinya didampingi dan mendapat ajaran keagamaan dari malaiakt Jibril bertentangan dengan Al-Qur’an. Oleh karena itu, pengakuan itu dipandang sesat dan menyesatkan.
    Menghimbau kepada :
    1. Ibu Lia Aminudin (dan jama’ahnya), dan orang lain yang memiliki keyakinan serupa, yakni keyakinan bahwa dirinya mendapat ajaran agama dari malaikat Jibril, agar kembali dan mendalami ajaran Islam, terutama dalam bidang akidah, dengan memahami dan mempelajari al-Qur’an dan hadis kepada ulama, dan menurut kaidah-kaidah yang telah dirumuskan dan diakui kebenarannya oleh para ulama sebagai pedoman dalam mempelajari Al-Qur’an dan hadis.
    2. Masyarakat umat Islam agar berhati-hati dan tidak mengikuti akidah yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits.
    3. Majelis Ulama Indonesia bersedia memberikan bimbingan dan pengarahan kepada Ibu Lia Aminudin dan jama’ahnya, serta orang lain yang memiliki keyakinan serupa.
    4. Surat keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan bila di kemudian hari terdapat kekeliruan dalam keputusan ini akan diadakan pembetulan sebagaimana mestinya[18].
  9. Al-Qiyadah Al-Islamiyah
    • Pemimpin : Ahmad Mushaddeq
    • Aktif: Sejak 2001
    • Fatwa sesat MUI: 2007
    • Tidak menjalankan rukun Islam: salat sekali sehari hanya malam hari, tidak wajib puasa, zakat, haji
    • Menganggap musyrik orang di luar Al-Qiyadah
    • Punya rasul baru : Ahmad Mushaddeq bergelar Almasih Almaw’ud
    • Syahadat baru : Ashadu ala Illa Ha Ilallah, Wa asyhadu anna Almasih Almaw’ud Rasulullah
  10. Shalawat Wahidiyyah
    Fatwa MUI Kab. Tasikmalaya, Jabar 2007 menyatakan bahwa paham yang mengkultuskan secara bewrlebihan pendiri shalawat Wahidiyyah sehingga merusak aqidah[19]. “Hasil pembahasan serta kajian yang dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI
    Kab. Tasikmalaya, menyatakan aliran atau paham Wahidiyah, adalah sesat
    serta menyesatkan,” kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI Kab. Tasikmalaya,
    K.H. Dudung Abd. Salam, kepada pers, Rabu (30/5), di kantor MUI
    Tasikmalaya.
  11. Tarekat Babur Ridha
    Fatwa MUI Sumut 2007 menfatwakan sesatnya tarekat Babur Ridho pimpinan Hirzi Nuzlan yang mengaku menerima bisikan Jibril.
  12. Lembaga a Soul Training
    Fatwa MUI Sumut 2007 menilai sesat paham LST karena hanya menerima Al-Qur`an dan mencaci maki ulama sebagai penyebab kerusakan umat.
  13. Tarekat Tajul Khalwatiyyah Wassamaniyyah
    Fatwa MUI Manggarai NTT 2007 menilai tarekat ini sesat menyesatkan karena menyimpang dari Al-Quran dan sunnah seperti umur bisa dipanjangkan oleh tuan guru, yang tidak ikut kelompok mereka kafir dan teman setan, malaikat tidak mampu mencabut nyawa mereka.
  14. Pengajian Al-Haq
    Fatwa MUI Pematang Siantar mengelompkkan pengajian ini ke dalam golongan inkar sunnah Rasul.
  15. Ajaran Teguh Esa
  16. Aliran Pembaru Isa Bugis
  17. Gerakan Lembaga Kerasulan
  18. Tarekat Naqsyabandiyyah Prof Kadirun Yahya
  19. Salamullah (Komunitas Lia Eden)
    • Pemimpin : Lia Aminudin
    • Aktif: Sejak 1995
    • Fatwa sesat MUI: 1997
    • Lia mengaku bertemu Jibril, kemudian sebagai Bunda Maria, dan akhirnya sebagai Jibril
    • Mengangkat anaknya, Ahmad Mukti, sebagai Nabi Isa
    • Mempunyai kitab suci sendiri
  20. NII Ma’had Zaetun
  21. Ajaran Bijak Bestari
  22. Ajaran Faham Bahai
  23. Agama Millah ibrahim
  24. Tarekat Naqsyabandi Haqqani
  25. Sekularisme Pluralisme Dan Liberalisme
  26. Jemaah Ngaji Lelaku
    • Pemimpin : Yusman Roy
    • Aktif: Sejak 2005
    • Fatwa sesat MUI: 2005
    • Shalat dalam dua bahasa
  27. Negara Islam Indonesia
    • Fatwa sesat MUI: 2003
    • Mengganti shalat wajib dengan mencari anggota baru
    • Menghalalkan segala cara untuk bisa berinfak ke organisasi
    • Mengancam anggota yang mundur
  28. Al-Quran Suci
    • Fatwa sesat MUI: belum ada
    • Tidak mengakui Hadis
    • Tidak melakukan kewajiban dalam rukun Islam
    • Memisahkan jemaah dari keluarganya
  29. Ahmad Sayuti Sang Nabi Baru asal Bandung
  30. Ahmad Mushaddeq
  31. Jamaah An Nadzir
  32. Islam-Sejati

Maraji’:
Mengawal Aqidah Umat, Fatwa MUI Tentang Aliran-Aliran Sesat di Indonesia, Oleh MUI, terbitan Sekretaris MUI Jkt.
Majalah Mimbar Ulama, edisi 341 R. Awal 1429.
Bunga Rampai Kajian Islam, KH. Abdusshomad buchori (Ketua MUI Jatim), MUI Jatim, I/2009.
Kriteria Aliran Sesat dan Antisipasinya, Oleh DR.H. Ramli Abdul Wahid, MA (Ketua Komisi Dikbud dan Anggota Komisi Fatwa MUI Tk. I Sumut.)
Makalah Suburnya Aliran Sesat di Indonesia, Hartono Ahmad Jaiz
Nabi-Nabi Palsu dan Para Penyesat Umat, Hartono Ahmad Jaiz, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta 2008).
Capita Selekta; Aliran-aliran sempalan di Indonesia (1980-2010), M. Amin JDjamaluddin, LPPI, cet. 3. 2010.
The Wahid Institut, Edisi III/Thn. I/Oktober 2007.
http://www.mui.or.id
Dll.

Daftar Aliran Sesat yang Dilarang di Aceh

Banda Aceh : Inilah daftar sementara Aliran/Ajaran Sesat yang Dilarang di Aceh yang ditetapkan oleh Muspida Aceh bersama Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Rabu (6/4) :

1. Ajaran Milata Abraham (Lokasi di Bireuen)
2. Darul Arqam (Banda Aceh)
3. Ajaran Kebatinan Abidin (Sabang)
4. Aliran Syiah (Aceh)
5. Ajaran Muhammad Ilyas bin M Yusuf (Aceh)
6. Tarikat Haji Ibrahim Bonjol (Aceh Tengah)
7. Kelompok Jamaah Qur’an Hadist (Aceh Utara)
8. Ajaran Ahmadyah Qadiyan (Aceh)
9. Pengajian Abdul Majid Abdullah (Aceh Timur)
10. Ajaran Ilman Lubis (Suak Lamatan, Kecamatan Teupah Sel, Simeulue
11. Tarikat Mufarridiyah (Aceh)
12. Ajaran Ahmad Arifin (Aceh Tenggara)
13. Ajaran Makrifatullah (Banda Aceh)
14. Pengajian Al’Quran dan Hadist (Kecamatan Simpang Ulim dan Madat, Aceh Timur)

Aliran Ajaran yang Diduga Sesat/Sempalan
1. Ajaran Salik Budha (Kecamatan Tangan-Tangan dan Kuala Bataee, Abdya
2. Ajaran Sukardi (Gampong Teungoh, Kecamatan Lhoknga, Aceh Besar)
3. Mukmin Mubalik (Banda Aceh dan Aceh Besar)
4. Dugaan Pendangkalan Aqidah (Kecamatan Simeulue Timur, Simeulue)

Sumber: Pemerintah Aceh dan Polda Aceh, aceh.tribunnews.com

Selain aliran yang bergerak di level nasional, lanjut Ihwan, masih banyak yang bergerak di tingkat lokal.

(http://majalah.tempointeraktif.com/)

[2] Dalam risalah Lamhah ‘Anil Firaq al-Dhallah.
[3] الوا لاقدرة للعبد أصلا، لامؤثرة ولا كاسبة، بل هو بمنزلة الجمادات. والجنة والنار تفنيان بعد دخول أهلهما، حتى لا يبقى موجود سوى الله.
[4] Seperti ucapannya
: ( إنه المعنى النفسي القائم بالذات، والقرآن حكاية – أو عبارة – عن كلام الله، لا أنه كلام الله)
[6] قال: المسألة الخامسة : وذلك أن هذه الفرق إنما تصير فرقاً بخلافها للفرقة الناجية في معنىً كلي في الدين وقاعدة من قواعد الشريعة لا في جزئي من الجزئيات إذ الجزئي والفرع الشاذ لا ينشأ عنه مخالفة يقع بسببها التفرق شيعاً و إنما ينشأ التفرق عند وقوع المخالفة في الأمور الكلية لأن الكليات تقتضي عدداً من الجزئيات غير قليل و شأنها في الغالب أن لا يختص بمحل دون محل ولا باب دون باب ” انتهى
[7] ويجرى مجرى القاعدة الكلية كثرة الجزئيات فإن المبتدع إذا أكثر من إنشاء الفروع المخترعة عاد ذلك على كثير من الشريعة بالمعارضة كما تصير القاعدة الكلية معارضة ايضا
وقال الشيخ الألباني رحمه الله (.. المبتدع هو الذي من عادته الابتداع في الدين وليس الذي يَبتدع بدعة ولو كان هو فعلاً ليس عن اجتهاد وإنما عن هوى مع هذا لا يسمى مبتدعاً … فيشترط إذن في المبتدع شرطان : (1) أن لا يكون مجتهداً وإنما يكون متبعاً للهوى . (2) يكون ذلك من عادته ومن ديدنه) . سلسلة الهدى والنور رقم (785) الوجه الثاني .
[9] Dimuat di majlah Mimbar Ulama, no. 341 R. Awal 1429, hal. 8.; buku Mengawal Aqidah Umat: Fatwa MUI tentang Aliran-Aliran Sesat di Indonesia, penerbit, Sekretariat MUI, Jkt, hal. 7-8.
[10] MPU Aceh merincinya menjadi 13 Kriteria: yaitu Mengingkari salah satu rukun Islam disendirikan dan ditambah dengan 2 kriteria lain yaitu:.
  1. Melakukan pensyarahan terhadap hadis tidak berdasarkan kaidah ilmu mushthalah hadist.
  2. Menghina dan melecehkan para sahabat nabi Muhammad saw.

[11] Kelompok NII (Negara Islam Indonesia) juga mendoktrin tidak adanya kewajiban shalat 5 waktu karena dianggap masih periode Makkah, belum periode Madinah, kata M Amin Djamaluddin.
[12] Baca misalnya makalah Telaah Kriti Kondisi Umat Islam Indonesia saat ini dalam buku Bunga Rampai Kajian Islam, KH. Abdusshomad Buchori, tepatnya hal. 75-77. Makalah itu disampaikan bersama saya dalam acara Rapat Kerja Wilayah (RAKERWIL) DMI se-Jatim 27 Agustus 2005 di Hotel Surya Indah Batu Malang; Monthly Report on Religious Issues yang dikeluarkkan oleh The Wahid Institut, Edisi III/Thn. I/Oktober 2007.

[13] Bisa jadi mereka memanfaatkan Jaminan hukum dan undang-undang : Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 (hasil amandemen) yang menyebutkan bahwa: 1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali;” 2) “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Hal ini masih diperkuat lagi oleh Pasal 29 yang berbunyi: 1) “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;” 2) “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.”
[14] Akhirnya ada 4 Pemerintah Propinsi yang berani dengan tegas melarang aktifitas Ahmadiyyah di wilayah masing-masing: Jatim (H Soekarwo), Jabar (Ahmad Heryawan), Banten (Ratu Atut Chosiyah) dan Sumatera Barat (Irwan Prayitno).

Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur No. 188/94 KPTS/13/2011 tentang pelarangan aktivitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) mencantumkan empat butir pelarangan, yakni:
  1. Dilarang menyebarkan ajaran Ahmadiyah baik secara lisan, tulisan maupun melalui media elektronik;
  2. Dilarang memasang papan nama organisasi Ahmadiyah di tempat umum;
  3. Dilarang memasang papan nama di masjid, musala, lembaga pendidikan dengan identitas JAI; dan
  4. Dilarang menggunakan atribut Jemaat Ahmadiyah Indonesia dengan segala bentuknya.
[15] Sabili, No 13, Th XV, 3 Muharram 1429H/ 10 Januari 2008M, halaman 22
[16] Mestinya hukuman bagi pengikut nabi palsu itu adalah diserang, bila disuruh taubat tidak mau, maka harus dibunuh. Itu jelas, dengan bukti Khalifah Abu Bakar Shiddiq mengerahkan 10.000 Muslimin untuk menyerang nabi palsu Musailamah Al-Kadzdzab dan pengikutnya. Hingga 10.000 pengikut nabi palsu itu mati dibunuh dalam keadaan murtad (dari jumlah 40 000 pengikut nabi palsu).
[17] Sumber :mui.or.id, Ditetapkan : Jakarta, 7 Maret 1984 M
[18] www.mui.or.id/index.php?option=com_docman&task=doc…28
[19] www.wahidinstitute.org/files/_docs/03.MonthlyReport-III.pdf

Sumber: http://qiblati.com/membongkar-paham-paham-menyimpang-dari-islam.htmlhttp://faisalchoir.blogspot.com/2012/04/membongkar-paham-paham-menyimpang-dari.html